“Kamu itu licik, Mas. Kamu itu baji*ngan!” desisku. “Kamu tinggal pilih. Mau mengorbankan pesantren beserta isi dan santrinya, juga adikmu yang mendekam di penjara demi keras kepalamu itu, atau kamu balik pulang ikut aku dan semuanya akan aman terkendali lagi.” “Aku minta pisah. Satu hal itu saja. Aku mempersilakanmu bahagia bersama Asti. Apa itu sulit? Kurasa enggak? Tapi masalahnya malah melebar ke mana-mana.” “Dan aku sudah bilang puluhan atau bahkan ratusan kali kalau aku tidak akan menceraikanmu. Apa kamu kurang paham juga atas satu hal itu?” Aku sungguh tidak habis pikir dengan pria ini. “Mas, jangan egois. Aku berhak bahagia, dan kamu juga bebas bahagia bersama Asti. Dan bahagiaku adalah pisah darimu.” “Niha, pilihan hanya dua. Kembali sama aku, atau pesantren dan semua penghun

