Talisa tidak menyangka dirinya masih dibiarkan hidup setelah melihat mayat di garasi. Bahkan sekarang Talisa malah diberi pekerjaan. Pekerjaan sebagai istri bayaran seorang billionaire psikopat. Pekerjaannya seperti kurang enak didengar telinga, tapi jumlah seratus juta sepertinya akan sepadan.
Dengan uang seratus juta, Talisa tidak perlu lagi bekerja di tempat karaoke, dia juga masih bisa menyelesaikan kuliah. Masa bodoh dengan kejahatan yang telah dilakukan oleh Calvin Alexander. Talisa tidak akan ikut campur, pria itu sangat kaya, bisa saja dia bebas dari hukum.
Akhirnya Talisa dapat kembali menjalani hidup normal. Pagi ini Talisa berangkat ke kampus dengan langkah ringan karena mengingat seratus juta dalam rekeningnya. Talisa tidak perlu pusing memikirkan beban pengeluaran bulanan serta uang semester. Masalah Talisa cuma tinggal perkara kontak nomor teleponnya yang raib semua, ternyata hal sepele itu jadi merepotkan dan sekarang layar ponsel barunya juga hancur.
Sepulang dari kampus biasanya Talisa akan langsung pergi ke rumah Mr. Alexander untuk bekerja. Sebenarnya Talisa tidak tahu apa dia masih harus membersihkan rumah besar itu. Tapi hari ini Talisa berencana utuk pergi membenahi layar ponselnya yang pecah terlebih dahulu. Talisa juga masih belum tahu jika tadi malam Calvin Alexander sudah menelponnya lebih dari tujuh kali, sekarang pria itu sedang sangat murka karena menunggu Talisa yang belum mucul. Calvin mengira Talisa telah berkhianat, dia kabur.
Talisa sedang berjalan santai di trotoar dan tiba-tiba sebuah sedan mewah berkaca gelap menukik tajam tepat di hadapannya. Suara decitan ban belakangnya sampai membuat telinga Talisa sakit.
"Masuk!"
Talisa terkejut melihat Calvin Alexander sudah merentangkan pintu di hadapannya. Meski masih syok Talisa tetap langsung masuk ke dalam mobil tanpa banyak bertanya. Talisa hanya tidak menduga jika saat itu juga tangannya ditarik kasar mengunakan cengkeraman kencang.
"Ao!" Talisa meringis nyeri.
"Beraninya kau tidak menjawab telpon!"
"Oh, maaf ..." Suara Talisa terdengar gugup karena jarak wajah mereka yang terlalu dekat sebagai pria dan wanita. "Ponselku jatuh."
Talisa buru-buru menunjukkan layar ponselnya yang hancur, benda itu benar-benar rusak parah.
"Kakakku membantingnya saat mengamuk."
Talisa tidak sepenuhnya berbohong meskipun juga tidak murni jujur, Talisa cuma harus berbohong untuk menyelamatkan nyawa. Talisa menunggu beberapa saat, menunggu pria dingin yang masih menatapnya dengan marah.
"Aku tidak akan kabur dari Anda. Aku hanya pergi untuk membenahi layar ponselku terlebih dahulu."
Calvin sudah tidak bicara, tapi Talisa telah dia lepaskan. Talisa juga tidak berani bertanya saat kemudian dibawa melesat kencang. Pria itu sangat mengerikan meski tanpa harus banyak bicara. Sepanjang jalan Talisa terus berdoa dengan gencar, seolah nyawanya ikut menipis habis setiap kali dibawa menikung dan menyelip tajam di antara kendaraan yang sedang saling meluncur kencang.
"Keluar!"
Talisa Makin terkejut karena dibawa berhenti di depan gedung pusat perbelanjaan mewah. Ternyata Talisa kembali dibelikan ponsel serupa dengan warna merah muda yang juga sama persis.
"Buang saja yang itu!"
"Oh!" Talisa terus dibuat terkejut karena disuruh membuang ponselnya yang pecah. "Sepertinya masih bisa aku benahi."
"Buang saja!"
'Sayang sekali ...' batin Talisa, tapi dia tidak berani membantah. Talisa benar-benar memasukkan ponsel seharga hampir empat puluh juta itu ke dalam tempat sampah.
"Maaf Mr. Alexander. Apa saya juga masih harus membersihkan rumah Anda?"
"Ya!"
Sebenarnya jika Talisa tidak repot bertanya seharusnya dia tidak perlu melakukan pekerjaan itu.
"Malam ini kau akan ikut bersamaku!"
Selain ponsel baru Talisa juga dibelikan gaun, sepatu, tas, dan segala keperluan wanita yang semua harganya masih mengunakan mata uang dolar.
"Apa ini tidak terlalu banyak?" Talisa menghitung jumlah gaunnya.
"Kau akan memerlukannya!"
"Terima kasih Mr. Alexander."
"Kau tidak perlu berterimakasih, itu semua untuk kau gunakan bekerja padaku!"
Talisa memeriksa semua harga pakaiannya sekali lagi, sambil menghitung-hitung dalam kurs rupiah.
"Aku juga bisa membayar profesional untuk membantumu?"
Maksudnya penata fashion dan makeup.
"Tidak perlu," Talisa buru-buru menggeleng. "Aku bisa sendiri."
"Aku tidak mau kau tampil memalukan untuk berjalan di sampingku!"
"Sungguh aku bisa sendiri!" Talisa bersikeras tidak mau dibantu. "Tapi aku tidak bisa membawa semua barang ini pulang ke rumah."
Talisa tidak mau ribut dengan abangnya.
"Kau akan pulang bersamaku!"
Lengan Talisa dicengkeram kasar untuk ditarik keluar sampai Talisa tersandung-sandung oleh ujung kakinya sendiri.
"Bagaimana dengan belanjaannya?"
"Mereka akan mengantar ke rumah!"
Talisa langsung di bawa pulang tanpa berani protes, pria di sampingnya juga tidak ada bicara sampai mereka sampai di dalam rumah.
"Pilih kamar mana saja yang ingin kau tempati!"
Talisa di tinggal pergi begitu saja.
"Pria kaya aneh!" gumam Talisa setelah Calvin Alexander menjauh.
Walaupun tidak ramah, dingin, dan kaku tapi sisi positifnya Talisa tidak perlu khawatir bakal dilecehkan. Talisa benar-benar diberi kebebasan untuk memilih kamarnya sendiri.
Tidak lama kemudian semua belanjaan yang tadi Talisa pilih datang diantar. Ponsel baru Talisa juga bergetar.
[Kau harus sudah siap sebelum jam delapan]
Talisa membaca pesan dari Calvin Alexander kemudian kembali melihat semua barang belanjaannya. Seumur hidup Talisa tidak pernah berpikir akan belanja sebanyak itu. Sekarang Talisa harus berdandan, tapi masih tidak tahu akan dibawa ke mana.
Calvin memang sama sekali tidak mengatakan mereka akan pergi ke mana. Talisa memilih gaun berwarna biru gelap agar netral dengan acara malam, dia juga memilih sepatu, tas dan kontur makeup senada. Untungnya Talisa pandai berdandan. Dengan bujet pas-pasan pun Talisa bisa tampil memukau apalagi dengan semua barang mahal.
Tepat pukul delapan kurang sepuluh menit Talisa keluar dari kamarnya di lantai dua. Talisa tidak tahu jika ternyata sudah ditunggu. Calvin sudah berpakaian sangat rapi dan langsung bangkit berdiri begitu melihat Talisa. Mata pria normal manapun pasti akan mengakui jika Talisa sangat cantik.
"Maaf, Mr. Alexander ... apa aku sudah membuat Anda menunggu?"
"Jangan pernah memanggilku seperti itu di depan banyak orang, panggil aku Alex!"
Talisa mengangguk paham karena mereka akan berpura-pura sebagai suami istri. Talisa cuma merasa agak aneh karena tidak diminta memanggil Calvin. Tapi masa bodoh, Talisa tidak mau menghabiskan energi untuk memikirkannya.
Tanpa perlu diperintah Talisa langsung berjalan mengikuti tuannya pergi ke garasi. Talisa memakai sepatu louboutin ber hak tinggi yang membuat betisnya nampak makin jenjang, gaun biru channel yang Talisa pilih juga cuma berayun sedikit di atas lutut. Perpaduan sempurna dari kata cantik, seksi, dan mahal. Sepertinya Calvin Alexander juga tidak bodoh untuk menilai potensi wanita, Talisa terlihat mahal berkelas utuk berjalan di sampingnya.
"Apa yang kau lakukan?"
Calvin tercengang melihat Talisa mengintip ke bawah kolong mobil sambil menyalakan senter dari ponselnya.
"Aku mencari ponselku!"
Kemarin ponsel Talisa dibanting sampai hancur di tempat itu. Talisa ingin kembali mencarinya.
"Aku sudah menggantinya dengan yang baru."
"Ya, tapi banyak kontak penting yang tersimpan di sana."
"Sudah, ayo kita harus pergi!"
"Tunggu sebentar aku melihatnya di sana!"
Talisa malah menempelkan pipinya ke lantai untuk meraih serpihan ponselnya yang terjepit di bawah lemari besi.
"Apa yang kau lakukan!"
Kali ini Talisa langsung Calvin tarik sampai tersentak.
"Aku ingin mengambilnya ...!"
"Kau akan pergi bersamaku!" Calvin melotot. "Aku tidak mau membawa wanita koror!"
"Oh!" Talisa baru sadar jika tuanya sangat bersih, rapi, sempurna, dan sangat tampan.
"Maaf, nanti saja kuambil?" Talisa buru-buru membenahi ujung gaunnya untuk masuk ke dalam mobil.
*****
Ternyata malam itu Talisa dibawa ke pesta peresmian perusahan. Calvin Alexander kembali mendirikan perusahan baru mengunakan namanya sendiri setelah dia juga mengakuisisi tujuh puluh persen saham perusahaan keluarganya.
Kehadiran Talisa ikut menarik perhatian apa lagi kemudian Calvin menyebutnya sebagai istri.
"Gelas pertama untuk istriku!"
Talisa menerima secangkir wine dari Calvin Alexander tanpa dia cicipi. Punggung tangan Talisa juga dikecup dan jantungnya hampir terlontar lepas meski sadar semua itu cuma sandiwara.
Talisa benar-benar sedang menjadi pusat perhatian karena telah dinikahi oleh seorang Calvin Alexander, pemilik Alexander Corporate yang menaungi dua puluh induk perusahan besar di Asia tenggara dan Eropa.
Semua ikut bertepuk tangan memberi selamat. Di tengah keramaian itu Talisa tidak sadar jika sedang ada sepasang mata yang terus memperhatikan.
"Beraninya dia membawa wanita kotor murahan untuk dia sebut istri!"