BAB 9 KEBOHONGAN
Seorang pria terlihat berbisik pada pelayan yang bertugas mengedarkan minuman. Tatapan pria itu masih tertuju pada sosok wanita cantik yang sedang berada di sisi Calvin Alexander.
Talisa juga masih belum sadar jika sejak tadi dirinya sedang diperhatikan. Pikiran Talisa masih terlalu fokus pada pria di sampingnya yang terus membuat jantung berdegup kencang, tampan tapi galak.
"Ingat, jangan membuatku malu!" Calvin berbisik di telinga Talisa dengan gestur seperti baru mengecup sisi keningnya.
"Sepertinya hak sepatuku terlalu tinggi." Talisa mengeluhkan berdirinya yang tidak nyaman.
Jemari tangan Talisa langsung digenggam kencang, rasanya hangat tapi Talisa gemetar, Talisa bakal sangat malu bila sampai ketahuan. Talisa terus berusaha menepis segala pikiran konyolnya, karena maksud Calvin cuma membantu Talisa agar berdiri tegak. Tapi Calvin Alexander memang mahluk yang sulit untuk diabaikan. Tampan luar biasa, berkarisma dengan pembawan tegas penuh wibawa.
Seorang pria berkacamata menghampiri mereka untuk mengucapkan selamat.
"Selamat atas pernikahan Anda, Mr. Alexander."
Calvin menerima ucapan selamat tersebut dengan jabat tangan mantap. "Terimakasih untuk kehadiran Anda, Mr. Manohan."
"Istri Anda sangat cantik." Sebuah pujian dari istri Mr. Manohan.
Meski pernikahan mereka hanya pura-pura, tapi baru kali ini Talisa merasa ikut dihargai. Mr. Manohan adalah salah satu rekan bisnis keluarga. Mereka sudah bekerja sama sejak kedua orang tua Calvin masih hidup. Mereka tinggal di Singapore tapi sengaja datang untuk acara tersebut.
"Aku ikut bangga menyaksikan kesuksesan perusahan Anda."
Calvin masih melanjutkan obrolan dengan Mr. Manohan ketika tiba-tiba punggung Talisa ditabrak oleh seorang pelayan yang sedang membawa nampan minuman.
"Ao!" Talisa terkejut melihat bahu gaunnya terkena tumpahan wine.
"Oh, maaf ..." Pelayan itu buru-buru minta maaf dengan wajah ketakutan karena Calvin langsung melotot.
"Tidak apa-apa." Talisa merasa kasihan pada pelayan tersebut. "Hanya air, bisa kubersihkan."
Talisa juga langsung buru-buru permisi ke toilet, dia masih tidak sadar jika pergerakannya sedang terus diawasi. Begitu Talisa masuk ke dalam toilet, seorang pria ikut menyusul masuk. Suara 'klik' membuat Talisa berpaling terkejut. Gumpalan tisu yang baru Talisa tarik dari kotak di meja toilet langsung berhambur jatuh dari gengamannya. Pria itu mengunci pintu di belakangnya dan mereka cuma berdua.
"Berapa Calvin membayarmu?"
Talisa langsung ditodong pertanyaan.
"Aku sama sekali tidak lupa dengan wajah sombongmu, meskipun Calvin telah membungkus tubuhmu dengan pakaian mahal!"
Talisa benar-benar syok melihat pria yang mendatanginya. Pria yang juga pernah mendatanginya di tempat karaoke.
"Apa mau, Anda?" Talisa beringsut mundur dengan sikap waspada.
"Kau tidak perlu takut."
Seringai pria itu jelas sedang mengejek remeh tapi kali ini Talisa yakin dia tidak sedang mabuk.
"Aku tidak takut!" tegas Talisa kembali melangkah maju.
Seringai yang Talisa lihat selanjutnya benar-benar membuat jijik.
"Aku hanya ingin tahu berapa Calvin membayarmu untuk dia tiduri?"
Dengan reflek Talisa langsung mengayunkan tangan untuk menampar keras sampai wajah pria di hadapannya ikut berpaling terkejut.
"Tidak ada yang bisa membeli tubuhku!" Talisa menjentikkan jari tanpa gentar.
Pria itu melotot murka dengan kelancangan tangan serta mulut Talisa.
"Pela*cur munafik!"
Talisa nyaris didorong ke dinding, tapi Talisa lebih cekatan. Dengan gerakan tidak terduga Talisa menginjak kaki lawannya yang baru melangkah maju kemudian menendang tepat ke bawah pusarnya.
"Oh! wanita terkutuk!"
Talisa segera kabur keluar selagi pria itu masih meringis nyeri. Pengalaman bekerja di tempat hiburan malam telah membuat Talisa terlatih menghadapi pria b******k. Talisa juga telah mempelajari tehnik beladiri dasar untuk wanita dalam situasi terdesak. Intinya, Talisa sudah biasa hidup tanpa mengandalkan orang lain kecuali dirinya sendiri.
Talisa buru-buru kembali menghampiri Calvin. Calvin langsung menoleh pada Talisa, dia nampak tidak suka dengan sesuatu yang tidak bersih dan rapi.
"Bahu gaunmu masih basah!" Tatapan Calvin fokus dan sangat jeli.
"Sudah coba aku keringkan dengan tisu." Talisa terpaksa berbohong.
Talisa cuma berharap Calvin tidak curiga, dia sama sekali tidak menduga jika kemudian Calvin malah melepas jas mahalnya untuk dia berikan.
"Ini tidak perlu." Talisa gugup melihat Calvin Alexander menumpangkan jas ke bahunya.
"Pakai saja!"
Meski sentuhannya lembut, tapi intonasi suaranya tetap kaku seperti tukang perintah.
"Terimakasih ..." Talisa berterima kasih namun Calvin sudah berpaling tidak menjawab.
Tiba-tiba Talisa sangat takut, dia segera mengelilingkan pandangannya dengan waspada.
'Oh,sial!' Talisa mengumpat dalam hati.
Talisa melihat pria yang baru dia tendang di toilet telah keluar dan kali ini sedang berjalan ke arahnya. Talisa panik, karena takut pernikahan pura-puranya bersama Calvin Alexander bakal terbongkar di hadapan semua orang. Talisa bersumpah akan membuat perhitungan setimpal bila dia masih berani menghinanya. Talisa balas menatap tanpa berpaling untuk menunjukkan jika ia tidak takut meski jantungnya sedang berdentam kencang. Pria kaya b******k itu benar-benar berani menghampirinya.
"Selamat untuk kesuksesanmu, sepupu!"
Ucapan itu membuat Talisa tercengang. Tiba-tiba Calvin juga langsung menarik tangan Talisa untuk dia genggam erat.
"Selamat juga untuk pernikahan kalian."
"Perkenalkan sepupuku." Calvin menoleh Talisa.
Kondisi Talisa masih belum pulih dari syok karena mengetahui Calvin memiliki sepupu b******k.
"Daren!" Kali ini dia berani tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk disambut.
"Lisa!"
Meski sudah berulang kali ribut tapi memang baru kali ini mereka tahu nama masing-masing.
Daren menatap Calvin. "Dimana kalian bertemu?"
"Lisa bekerja di salah satu yayasan milikku." Calvin menjawab dengan sangat tenang.
"Kau sangat beruntung!" Kali ini Daren beralih menatap Talisa. "Istrimu cantik."
Talisa sudah nyaris tersedak dengan kebohongan yang dibuat Calvin, sekarang dia tambah mulas karena senyum terkutuk dari sepupunya yang sepeti penjilat licik. Calvin sama sekali tidak sadar jika Daren telah mengetahui kebohongannya.
"Simpan nomor teleponku, Lisa." Daren terus tersenyum.
"Lisa tidak membawa ponsel!"
Talisa sudah gugup tapi untung Calvin segera menyela.
"Nanti aku minta pada, Alex." Talisa juga buru-buru menutupi kegugupannya.
"Alex!" Daren malah mengutip sebutan Talisa pada sepupunya. "Aku baru mendengar seseorang menyebutmu dengan nama itu."
"Calvin sama dengan nama adikku." Talisa berbohong. "Aku yang ingin memangilnya Alex!"
Sebenarnya saat itu justru Calvin yang sedang terkejut dengan kecekatan Talisa menghentikan sepupunya.
"Sepertinya kau punya banyak saudara?" Daren kembali menatap Talisa.
"Aku juga baru tahu Alex memiliki sepupu!" Talisa terus menjawab dengan cerdik.
Persetan, dengan semua kebohongan yang harus terus Talisa ciptakan, asal dia bisa terus menjegal lawan bicaranya.
Diam-diam Talisa juga terus memperhatikan kedua pria di hadapannya untuk dia bandingkan. Daren dan Calvin terlihat masih seumuran. Nampaknya Talisa juga baru sadar jika ternyata mereka mirip dari bentuk tulang rahang serta hidung. Calvin cuma terlihat beberapa centi lebih tinggi dan alisnya lebih tebal, mungkin itu yang membuat tatapannya terlihat lebih dingin dan kaku dari pada sepupunya.
Daren lebih pandai tersenyum, tapi Talisa sama sekali tidak mau tertipu. Walaupun malam itu Daren juga tidak membahas apa-apa mengenai pertemuan mereka di tempat karaoke tapi Talisa tetap sangat waspada.
Akhirnya Talisa selamat sampai Calvin membawanya pulang.
"Aku tidak tahu kau juga punya adik laki-laki?" Calvin baru bertanya.
"Aku berbohong."
Kali ini Talisa bicara jujur tapi sepertinya Calvin malah marah.
"Kau tidak boleh berbohong jika aku tidak menyuruhmu!" Suaranya lantang dan tegas.
"Aku tidak melihat itu ada di peraturan." Talisa mengingatkan.
"Sekarang kutambahkan peraturannya!"
Calvin sudah tidak bicara lagi, sikapnya kembali dingin dan kaku tidak menyenangkan.