Karena Calvin masih terlihat marah, Talisa jadi tidak berani bersuara sampai mereka benar-benar berhenti di dalam garasi.
"Apa aku bisa langsung pulang?" Talisa memberanikan diri untuk bertanya dengan hati-hati.
"Sudah larut malam, pulang saja besok!"
"Aku sudah biasa pergi malam, pulang pagi juga tidak masalah." Talisa menjelaskan.
"Aku menyuruhmu menginap!"
Calvin bicara tanpa menoleh Talisa lagi, dia juga langsung keluar lebih dulu kemudian pergi naik ke lantai tiga. Benar-benar baru kali ini Talisa bertemu mahluk seperti itu, dingin, kaku, dan pemarah.
Walaupun sambil menggerutu, Talisa ikut pergi ke kamarnya sendiri di lantai dua. Talisa segera melepas semua pakaian serta aksesoris, terutama cincin berlian di jari manisnya. Memakai cincin berlian seharga ratusan juta mungkin membuat Talisa takut. Buru-buru Talisa memasukkan benda itu ke dalam laci, berharap hatinya akan segera tenang, tapi ternyata juga tidak.
Malam itu, Talisa kesulitan untuk memejamkan mata. Kamar Talisa cukup luas dan nyaman, tapi hati Talisa yang ternyata sedang tidak tenang. Talisa tidak berani bercerita pada Calvin, jika dia sudah pernah bertemu dengan sepupunya di tempat karaoke.
******
Walaupun kurang tidur, Talisa tetap bangun pagi-pagi karena ingat pekerjaannya. Talisa bergegas keluar, tapi ternyata Calvin sudah bangun lebih pagi daripada Talisa, kamarnya kosong, pria itu sudah pergi. Buru-buru Talisa memulai pekerjaannya karena masih harus berangkat kuliah pagi.
Seperti biasa Talisa mengawali pekerjaannya dengan membuka tirai semua jendela. Ketika Talisa membuka tirai jendela yang menghadap halaman belakang tiba-tiba dia ingat mayat wanita yang malam itu diseret oleh Calvin. Talisa kembali merinding tapi juga penasaran. Mungkin lain kali Talisa akan coba mencari tahu, sekarang Talisa sedang terburu-buru.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya Talisa mengirim pesan.
[Aku sudah membersihkan rumah, merapikan kamar, dan membuka tirai jendela selama dua jam. Besok sore aku akan kembali]
Talisa melihat pesannya langsung dibaca, tapi tidak dibalas. Bibir Talisa cuma sedikit cemberut miring kemudian bergegas pergi. Talisa punya banyak rencana untuk hari ini, salah satunya pergi ke tempat karaoke untuk mengundurkan diri.
Baru dua langka, Talisa masuk pintu rumah, Agung langsung menyambutnya dengan suara lantang.
"Kau tidak pulang lagi!"
"Aku bekerja, Bang!"
Sebelum dicaci maki dengan kata-kata hinaan, Talisa sudah antisipasi dengan beberapa lembar uang ratusan ribu.
"Kau benar-benar dapat pria kaya?" Wajah Agung langsung berubah cerah.
Talisa sudah tidak perlu menjawab, karena uang jauh lebih efektif untuk mengatasi abangnya.
"Aku istirahat dulu, Bang."
Agung membiarkan Talisa pergi ke kamarnya tanpa banyak drama. Satu masalah teratasi, Talisa masih punya waktu satu jam untuk beristirahat sebelum harus bersiap pergi lagi ke kampus.
*****
Siang itu Talisa benar-benar sibuk. Selepas jam kuliah Talisa dihampiri salah seorang rekanya.
"Apa kau sudah mau pulang?"
"Ya!" Talisa menyeringai silau pada terik matahari yang sedang menyengat.
"Masuklah, biar kuantar."
Panji sudah sering memberi Talisa tumpangan pulang. Talisa juga langsung menyelinap masuk ke dalam mobil tanpa sungkan.
"Bisa antar ke rumah temanku?" 
"Tidak masalah."
Pemuda itu sama sekali tidak keberatan mengantar Talisa ke manapun. Talisa berencana mampir ke rumah Nana, sambil menunggu sore untuk pergi ke tempat karaoke yang memang baru buka jam tujuh malam.
"Itu cowok lo?" Nana menanyakan pemuda yang baru saja mengantar Talisa.
"Cuma teman kampus."
"Ah, lo sengaja pura-pura gak ngerasa sedang diharapkan!"
"Aku masih harus fokus kerja untuk kuliah, buat apa ngurusin cowok!"
"Bagaimana pekerjaanmu di rumah Mr. Alexander?" Tiba-tiba Nana jadi ingat untuk bertanya.
"Aku masih bekerja di sana."
Talisa cuma bercerita jika dia masih betah bekerja di rumah seram itu, dia tidak bercerita yang sebenarnya.
"Serius, lo gak pernah bertemu hantu bergelayutan di jendela?"
"Mungkin aku lebih seram dari hantunya!"
"Semoga kau bisa dapat bonus karena bisa ngusir setan!"
Talisa juga tidak mungkin bercerita jika Calvin Alexander jauh lebih menyeramkan dari setan-setan penghuni rumahnya. Kadang Talisa juga penasaran, hal macam apa yang telah menjadikanya pria dingin seperti itu.
*****
Keesokan harinya Talisa kembali datang sore untuk membersihkan rumah. Sebuah pekerjaan yang seharusnya tidak perlu Talisa kerjakan lagi seandainya kemarin dia tidak banyak bertanya di saat Calvin sedang kesal. Dari situ bisa dipelajari, jika ‘mood’ Calvin bisa sangat mempengaruhi garis hidup Talisa. 
Sore itu kondisi rumah sedang sepi karena baru pukul setengah tiga. Tiba-tiba Talisa ingat utuk pergi ke halaman belakang. Talisa masih penasaran apa Calvin benar-benar mengubur tubuh wanita dalam kantong plastik di halaman rumahnya.
Suasana halaman belakang rumah besar itu juga sunyi. Layaknya tempat yang jarang di injak kaki manusia, atmosfernya tidak nyaman. Untuk ukuran Talisa yang paling jarang takut setan saja tiba-tiba tengkuknya merinding. Talisa jadi kembali berpikir, mungkin memang sudah banyak tubuh manusia yang terkubur di sana. Jika masih waras seharusnya Talisa kabur sejauh mungkin dari pria psikopat yang dapat mencekik dan mengubur tubuhnya di bawah pagar tanaman.
Barusaja Talisa berpikir mengenai pagar tanaman, tiba-tiba dia melihat tanah bekas galian di samping pagar tanaman rambat. Jantung Talisa seketika berdegup kencang, antara takut tapi penasaran. Talisa mendekat untuk lebih memastikan. Tanahnya masih merah dan basah, ukuranya juga masuk akal untuk menimbun tubuh wanita dewasa.
'Ternyata benar, Calvin mengubur tubuh wanita itu di sana!'
Talisa seperti kembali di ingatkan jika dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat Calvin Alexander menyeret mayat wanita dalam kantong plastik hitam ke halaman belakang, pria itu adalah psikopat berdarah dingin. Talisa buru-buru masuk ke dalam rumah karena takut dianggap lancang. Padahal, dibiarkan hidup saja sebenarnya Talisa sudah sangat beruntung.
Talisa masih merinding ngeri ketika kembali dibuat terkejut. Calvin sudah pulang, padahal baru pukul tiga. Calvin Alexander terlihat sedang duduk di sofa ruang tengah yang sekeliling tirai jendelanya belum di buka. Lingkungannya agak temaram, Talisa jadi tidak terlalu jelas untuk melihat ekspresi wajahnya. Tiba-tiba Talisa juga takut, bagaiman jika ternyata Calvin sudah tahu ketika dia berkeliaran di halaman belakang.
"Maaf, aku tidak tahu Anda sudah pulang?" Talisa berusaha keras menyembunyikan kegugupannya.
"Kemarilah!"
Talisa masih ketakutan, tapi malah di suruh mendekat.
"Cepat kemari!"
Panggilan ke dua adalah perintah tidak dapat ditolak. Talisa mendekat pelan-pelan sambil gencar berdoa.
"Apa bangkai itu yang kau cari?"
Talisa luar biasa terkejut, Calvin Alexander meletakkan serpihan ponsel milik Talisa yang sudah tidak berwujud ke atas meja.
"Ya!"
Talisa masih sangat terkejut tapi tetap segera memungut bangkai ponselnya.
"Terimakasih ..." Talisa berterima kasih karena melihat kartunya masih menempel.
Karena banyak pikiran, kemarin malam sepulang dari pesta, Talisa jadi lupa untuk kembali mencari kartunya. Ternyata Calvin sudah mengambilnya dari bawah kolong lemari baja, padahal benda itu sangat berat untuk digeser.
"Terimakasih." Talisa mengucapkannya sekali lagi.
Dari hal sepele itu, Talisa mulai bisa menilai jika sebenarnya Calvin Alexander orang yang baik. 'Tapi untuk apa dia sampai membunuh?' pertanyaan itu makin menjadi misteri di kepala Talisa.
***