BAB 12 TERKEJUT
Begitu mengetahui nomor Talisa sudah kembali aktif, sebuah pesan dari Daren juga kembali masuk.
[Aku ingin bertemu denganmu, segera!]
"Masa bodoh!" Talisa mengabaikan.
Karena tahu tidak bakal dibalas, Daren malah langsung menelpon. Talisa tetap tidak perduli, dia justru menyelipkan ponsel mahalnya ke bawah bantal.
Ternyata Daren juga pantang menyerah, terus menelpon dan mengirim pesan.
[Aku akan datang ke rumahmu jika kau tidak juga membalas!]
"Pria b******k!" Talisa mengumpat dulu sebelum menjawab panggilan telepon.
"Apa maumu?" tegas Talisa.
"Aku ingin bertemu, hanya berdua!"
"Jangan bermimpi!"
"Ini perintah!"
"Kau bukan bosku!"
"Akan kubayar lebih tinggi dari yang diberikan Calvin!"
"Coba katakan itu di depan Calvin jika kau berani!" tantang Talisa.
Karena Daren tiba-tiba diam, Talisa langsung menutup sambungan teleponnya.
"Pengecut!"
Setelah itu Daren sudah tidak menelpon atau mengirim pesan lagi. Sebenarnya Talisa juga bingung kenapa sepertinya dia terus cenderung ingin membela Calvin. Daren memang pernah menghinanya berulang kali dan suka mencari ribut, tapi dia bukan pembunuh.
Malam itu Talisa tidak terlalu bisa tidur, sebagian dia masih ingat bagaimana cara Calvin menghujamkan ujung linggis tajam ke tubuh tikus, dan sebagian lagi Talisa ingat kebaikannya yang masih perduli membawa pergi ke UGD.
Sementara itu di tempat lain Calvin Alexander juga masih belum bergerak dari depan cermin meja wastafel. Calvin baru menguraikan gulungan lengan kemejanya yang tadi sore terkena percikan darah, pria itu terlihat menghirup aroma darah di lengannya, menghirup dalam-dalam sampai matanya ikut terpejam dengan geraman kaku.
Setiap kali memori itu berputar maka tidak ada lagi yang dapat tersisa selain nyawa dalam sebongkah tubuh tanpa sel hati. Calvin Alexander segera melepas sisa pakaiannya, kemudian berjalan telanjang menuju bilik shower untuk meredakan gumpalan tegang dari otot-otot keras di sekujur tubuhnya yang ingin meledak.
******
Keesokan harinya Talisa kembali datang untuk bekerja karena kakinya juga sudah tidak sakit lagi. Kondisi rumah sedang kosong, nampaknya Calvin belum pulang. Seperti biasa Talisa memulai pekerjaan dengan membuka tirai.
Ketika membuka tirai jendela yang menghadap ke halaman belakang di lantai tiga, Talisa terkejut melihat Calvin sedang berdiri diam di dekat pagar tanaman rambat, tempat pria itu pernah menguburkan tubuh wanita dalam kantong plastik. Tidak tahu kenapa tengkuk Talisa tiba-tiba merinding dan dadanya bergelepar tidak enak.
Talisa tidak tahu apa Calvin melihatnya, karena setelah itu tiba-tiba Calvin menoleh ke arah jendela tempat Talisa berdiri. Talisa segera bersembunyi dengan jantung berdegup kencang.
"Oh, Tuhan!" Talisa belum pernah merasa setakut itu hanya dengan di tatap oleh seorang pria dari jarak hampir tiga puluh meter.
Rasanya Talisa ingin kabur sejauh mungkin, berhenti dari semua pekerjaan yang berpotensi membuat jantungnya semakin tidak aman. Talisa buru-buru menuruni tangga, dari lantai tiga sampai lantai dasar. Kondisinya masih agak gelap di tambah Talisa tergesa-gesa hingga langkahnya kembali ceroboh. Belum sampai mengapai pintu samping Talisa menabrak d**a tebal pria yang langsung menangkapnya.
"Oh, maaf!" Talisa gugup gemetar.
Calvin menangkap pinggang Talisa dengan lengan agar tidak terpental jatuh. Tapi Talisa masih sangat tegang, takut pria itu bakal marah.
"Maaf aku tidak melihat Anda."
"Bagaimana dengan kakimu?"
Ternyata Calvin malah menanyakan kaki Talisa.
"Kakiku sudah tidak sakit."
Calvin memang mengira Talisa tidak akan datang hari ini karena kakinya yang terkilir, seharian itu Calvin juga tidak keluar dari rumah. 
"Kau tidak harus bekerja jika masih sakit."
"Sungguh kakiku memang sudah tidak sakit lagi."
Kali ini Calvin ikut memperhatikan kaki Talisa dan sepertinya pria itu cuma heran bukan marah.
"Aku ingin bicara denganmu!"
Setiap kalimat yang keluar dari mulut Calvin Alexander adalah perintah. Talisa langsung berjalan mengekor di belakangnya tanpa mengulur waktu.
Mereka naik ke lantai dua. Diam-diam Talisa terus memperhatikan punggung pria di depannya sambil berpikir. Kadang pria itu membuatnya sangat takut, kadang juga tiba-tiba sangat baik meski sikapnya masih terlalu dingin seperti bongkahan batu es yang tersimpan rapat di dalam freezer di kutub utara.
Calvin duduk di sofa tapi Talisa tetap berdiri menunggu perintah.
"Carilah pengasuh utuk ibumu!"
Talisa diberitahu agar membayar orang untuk menjaga ibunya. Calvin tetap belum tahu jika Talisa sudah banyak berbohong mengenai keluarganya.
"Aku yang akan membayar mereka!"
"Maaf tapi aku tetap tidak bisa." Talisa buru-bru membuat alasan. "Ibuku benar-benar rewel, dia tidak bisa diurus oleh sembarangan orang. Aku juga yakin tidak akan ada yang mau mengurusnya!"
"Apa seratus juta tidak cukup untuk mencari orang yang mau mengurus ibumu selama satu minggu?" Calvin Alexander benar-benar rela membayar mahal.
Talisa masih terkejut, tapi Calvin sudah kembali memberi perintah.
"Kau akan ikut bersamaku untuk beberapa hari!"
"Aku pergi dengan Anda beberapa hari?" Talisa memastikan keterkejutannya.
Talisa masih belum tahu akan dibawa ke mana sampai beberapa hari, tapi yang jelas mereka akan menginap bersama. Seharusnya Talisa memang waspada jika dia masih waras.
"Ingat kau sedang menjadi istriku!"
Talisa sudah terikat perjanjian dan dibayar, dia tidak bisa berkelit atau protes karena memang itu perannya 'sebagai istri Calvin Alexander!'
******
Talisa sudah berkemas untuk perjalanan selama satu minggu, tapi sampai detik pesawat mereka lepas landas, Talisa masih belum tahu Calvin akan membawanya ke mana. Setelah penerbangan hampir enam belas jam, Calvin baru memberi tahu jika mereka akan segera tiba dan kembali mempertegas beberapa peraturan yang harus Talisa patuhi. Intinya Talisa harus bisa tampil sempurna sebagai wanita terhormat.
Ternyata nenek Calvin tinggal di Jerman sekaligus untuk perawatan jantung dan kali ini dia sedang berulang tahun. Talisa akan dibawa ke pesta yang juga dihadiri oleh keluarga besar Calvin, karena itu dia harus tampil layaknya wanita terhormat.
Talisa memakai gaun berwarna merah dengan potongan simpel tapi elegan dan mahal. Selebihnya Talisa sudah cantik tanpa perlu banyak usaha, dia juga cuma menjepit sedikit rambutnya menyamping dan membiarkan sisanya masih tergerai alami.
"Jangan pakai hak terlalu tinggi!"
Talisa langsung menoleh pada Calvin yang baru mengomentari sepatunya. Pria itu sudah berdiri di ambang pintu, tampan sempurna dengan setelan jas rapi.
"Ingat kakimu baru terkilir!"
Talisa tidak menyanggka jika Calvin akan langsung berjalan menghampirinya dan berjongkok. Talisa gugup melihat Calvin Alexander benar-benar melepas tali sepatunya, Calvin juga menggantinya dengan yang lebih pendek. Talisa sama sekali tidak berani bergerak sampai kemudian pria itu berdiri.
"Ayo, kita sudah terlambat!"
Talisa langsung ikut tanpa bertanya. Kira-kira dua puluh menit mereka sudah sampai di sebuah mansion mewah yang sudah ramai dengan tamu. Talisa tidak sempat mengagumi kemewahan rumah besar tersebut karena tangannya yang sedang digenggam oleh Calvin Alexander lebih membuat merinding.
"Ingat jangan membuatku malu!" Calvin berbisik sekali lagi.
Talisa mengangguk pelan cuma di antara mereka berdua. Calvin baru membawa Talisa melalui pintu ketika seorang wanita menghadang mereka.
"Jadi benar kau sudah menikah lagi?"
Kata 'lagi'yang baru diucapkan wanita itu juga membaut Talisa terkejut, tapi Calvin belum menjawab sampai kemudian Talisa yang diperhatikan.
"Jadi wanita ini yang kau pungut dari tempat hiburan malam?"
Sepetinya Calvin juga terkejut namun tidak menyangkal.
"Ya!"
Saat itu juga nenek Calvin langsung jatuh pingsan.
******