Four Hearts

3045 Kata
Abinaya membolak-balik halaman proposal penelitian mahasiswi bimbingannya yang bernama Thalita. Segaris senyum melengkung di bibirnya. “Baru kali ini saya nemu judul anti mainstream gini.” Abinaya tertawa geli membaca huruf demi huruf yang berjejer, Pengaruh Putus Cinta terhadap Tingkat Stres Mahasiswa Tingkat Akhir. Sang mahasiswi terseyum dengan tampang innocentnya. “Ganti judul ya, cari yang lebih berbobot.” Abinaya meletakkan proposal itu di meja, di hadapan sang mahasiswi. “Baik deh Pak.” Thalita mengerucutkan bibirnya. “Kok kayak terpaksa gitu? Mukamu langsung cemberut.” Abinaya masih saja ingin tertawa dengan judul yang diajukan mahasiswi tersebut. Mungkin menarik sih. Tapi rasa-rasanya judul penelitian ini terlalu baper. Putus cinta adalah suatu kenangan yang tak ingin diingat-ingat Abinaya. “Dosen pembimbing yang satunya nggak masalah, makanya langsung saya bikin saja proposalnya. Soalnya saya sudah yakin banget dengan judul ini. Sudah siap karena narasumbernya banyak hehe. Termasuk saya sendiri Pak. Tapi kalau Bapak minta saya ganti judul ya nggak apa-apa.” “Oh kamu baru putus cinta?” Abinaya memicingkan matanya. Sang mahasiswi menyeringai, “Hehehe, iya Pak.” “Kalau lagi putus cinta, makan saja makanan favoritmu. Main sama teman-temanmu. Nonton film kek, baca buku favorit, atau apa saja. Jangan ngurung di kamar, nanti tambah sedih.” Thalita tersenyum mendengar petuah sang dosen ganteng. “Pinginnya sih jalan sama teman Pak. Tapi teman-teman pada sibuk sendiri. kasihan banget saya Pak, nggak ada yang ngajak jalan.” Thalita berharap sang dosen sedikit peka. Jauh di dalam hati, sesekali dia ingin jalan-jalan bersama Abinaya meski ia tahu, hal tersebut sangat tidak masuk akal dan khayalan tingkat Indonesia Raya. “Kalau nggak ada teman yang bisa diajak, ya ajak saja tetangga, temannya teman, temannya mantan, temannya kakak atau adik, temannya tetangga, teman dari temannya teman.” Abinaya menanggapi sekenanya. “Ih Bapak mah ngasih solusi yang nggak menyelesaikan.” Abinaya tertawa kecil, “Ya udah sana kamu balik ke rumah terus langsung kerjain proposal lagi. Saya tunggu secepatnya.” Thalita beringsut dan bibirnya mengerucut. Dia masih belum puas memandangai wajah tampan sang idola.Tapi dia harus menuruti instruksinya. “Ya udah kalau gitu. Saya permisi dulu Pak. Terima kasih banyak.” “Silakan.” Thalita keluar dengan sumpah serapah bergema di hatinya, Gue sumpahin Bapak jadi jodoh gue dan jatuh cinta sama gue. Sesaat smartphonenya berbunyi. Satu pesan WA dari Zahira. Mas saya mau mengembalikan buku. Saya tunggu di kantin. Abinaya segera beranjak dan bergegas menuju kantin kampus. Setiba di sana, Abinaya melihat zahira tengah duduk sembari mengaduk-aduk segelas jus. Abinaya melangkah mendekat ke arahnya. “Assalamu’alaikum.” Zahira mendongakkan wajahnya sejenak lalu kembali terfokus pada jus di hadapannya. “Wa’alaikumussalam.” Abinaya menarik mundur kursi di hadapan Zahira lalu duduk. Zahira mengeluarkan buku dari tas punggungnya. “Ini Mas bukunya. Makasih banyak Mas.” Abinaya meraih buku itu. Dia melirik Zahira yang terlihat datar. Sejak perjodohan mereka bermasalah, sikap Zahira berubah terhadapnya, tak lagi ramah. Bahkan senyum pun jarang sekali terulas darinya. “Kamu mau makan? Saya pesankan ya.” Abinaya bersiap memanggil pelayan, tapi Zahira buru-buru mencegahnya. “Nggak usah Mas, aku nggak lama kok,” ucap Zahira. “Ya udah kalau gitu saya pesan jus saja.” Abinaya memanggil seorang pelayan dan memintanya membuatkan jus jambu. “Aku pulang dulu ya Mas.” Zahira siap-siap beranjak. Abinaya buru-buru menyela. “Kamu nggak ingin ngobrol bentar Za? Zahira terbelalak, “Ngobrolin apa Mas? Aku datang ke sini cuma ingin ngembaliin buku.” “Aku ingin tahu saja apa pendapatmu tentang buku ini? Apa kamu sudah bisa menilai diri kamu sendiri?” Zahira terdiam sejenak. Seharusnya ia bisa menghindar dan langsung pulang. Namun ia tak bisa mengabaikan pertanyaan Abinaya begitu saja. Akan tidak sopan jika dia berlalu begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Abinaya. “Mas ingin tahu pendapatku tentang diriku sendiri? Aku rasa Mas Abinaya sudah punya penilaian sendiri tentang aku. Mas Abi pernah bilang kalau aku sombong. Okay mungkin aku memang sombong meski terkadang aku perlu membatasi diri dengan sikap ini. Contoh kecil saat ketemu sama orang yang nggak dikenal dan dia mengajak kita ngobrol, nanya segala macem, kita perlu sombong juga untuk tidak terlalu melayaninya. Satu hal yang paling aku pahami tentang diri aku sendiri adalah, aku orang yang ambisius, perfeksionis dan selalu ingin menjadi yang terbaik. Aku tidak suka dikalahkan. Dari kecil segala kebutuhanku dipenuhi. Aku tak terbiasa dengan penolakan. Aku tahu mungkin semua ini menjadi kelemahanku, tapi di sisi lain juga bisa menjadi kelebihanku.” Kata-kata Zahira meluncur tegas. Abinaya mengakui Zahira ini sosok yang begitu percaya diri. Abinaya menghela napas, “Aku rasa kamu sudah pintar menilai diri kamu sendiri Za. Banyak yang tidak memahami dirinya sendiri hingga dia sulit mengambil keputusan atau menentukan kemana arah dia harus berjalan. Kalau kamu sudah mengenal diri kamu sendiri, kamu tahu apa yang kamu mau. Ini memudahkanmu untuk menentukan arah hidupmu.” Zahira tersenyum. Senyum pertama yang Abinaya lihat, tapi bukan senyum ramah apalagi tulus. Senyum yang masih saja terlihat kurang bersahabat. “Ya aku tahu apa yang aku mau. Aku tipikal orang yang tidak mau sakit kedua kali. Jadi jika aku pernah merasakan sakit hati karena sesuatu, maka sebisa mungkin aku akan menjauh atau menghindari hal yang membuatku sakit. Terkadang kita harus memaksa diri untuk tegas pada diri sendiri terutama pada hati kita. Aku yakin Mas Abi tahu maksud omonganku. Mas udah biasa mengkaji psikis manusia.” Abinaya menelan ludah. Kata-kata Zahira terdengar begitu menghujam meski disampaikan tanpa embel-embel marah, tapi kata-kata itu benar-benar membuatnya berpikir, apa ia telah melukai gadis itu? Apa ia benar-benar telah menyakiti perasaan Zahira? “Jadi ini penyebab kamu begitu ketus sama aku? Okay kalau memang kamu ingin menghindar silakan. Meski aku nggak mau sebenarnya hubungan pertemanan kita jadi buruk, itu kalau kamu masih mau nganggep aku teman. Kalau nggak, ya nggak apa-apa. Aku cuma mencoba untuk memperbaiki hubungan, itu saja.” Abinaya bicara lebih tenang. “Mas pingin aku nganggep Mas teman? Pingin aku bersikap lembut? Ramah? Maaf aku nggak bisa Mas. Aku bukan tipikal yang mudah beramah-ramah sama cowok apalagi menye-menye nggak jelas. Namanya cewek kalau manja haha hihi nggak jelas, centil nggak ketulungan, pada akhirnya hanya akan dilecehkan, disakiti, diambil keuntungannya.” Abinaya terbelalak, “Aku nggak minta kamu buat menye-menye atau manja atau apalah. Kamu memang punya hak untuk bersikap seperti apa. Namanya ramah itu kan sudah sifatnya orang Indonesia. Aku cuma nggak ngerti aja kamu jadi ketus banget, aku rasa kamu sudah mulai bangun kebencian di hati kamu. Setiap bicara sama aku, kamu kayak lagi bicara sama monster.” “Mas mau bilang aku bukan orang Indonesia karena aku nggak bersikap ramah? Aku bersikap ramah sesuai kondisi saja dan disesuaikan dengan siapa aku berhadapan. Aku memang nggak mau saja bersikap ramah sama cowok apalagi sama cowok yang pernah mau dijodohin tapi batal. Buat apa?” Abinaya terpekur. Di balik sikap Zahira yang terlihat cuek, dia tahu ini hanya cara Zahira untuk meminimalisir rasa sakit dan ia ingin melindungi hatinya. Mungkin ini salah satu caranya untuk menjadi kuat. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapapun seolah dia tidak membutuhkan siapapun. “Berarti benar kan kamu belum bisa menerima batalnya perjodohan kita dan kamu masih sakit hati?” Pertanyaan Abinaya membuatnya terhenyak. “Mas bisa menyimpulkan sendiri. Yang jelas aku juga punya harga diri Mas. Bukan perempuan yang seharusnya ngejar cinta tapi laki-laki yang harus memperjuangkan. Buang waktu saja kalau aku ngejar-ngejar cinta apalagi meratapi perjodohan kita yang gagal. Nggak banget dan nggak penting. Aku yakin Allah akan memberiku jodoh yang terbaik, lebih baik dari Mas Abi. Aku masih punya urusan yang lebih penting. Saat ini aku mau fokus di pendidikan dan pekerjaan. Kalau tidak ada kepentingan mengembalikan buku, aku juga males sebenarnya, ketemu sama Mas Abi.” Abinaya tak menyangka Zahira bisa berkata pedas seperti ini. Tapi dia juga tak bisa menyalahkan Zahira sepenuhnya. Dia hanya sedang berusaha melindungi hatinya. “Aku pamit dulu Mas. Terima kasih sebelumnya. Assalamu’alaikum.” Zahira beranjak dan berlalu dari hadapan Abinaya. “Wa’alaikumussalam.” Abinaya menatap langkah Zahira yang kian menjauh. Entah kenapa dia penasaran juga akan sosok Zahira yang entah kenapa terlihat menarik dengan keras kepalanya dan arogansinya. Seketika Abinaya memejamkan mata dan beristighfar. Hatinya telah ia berikan pada Fara. Tidak seharusnya ia memikirkan perempuan lain. Bagaimanapun juga dia tak mau menjadi laki-laki yang kurang bertanggungjawab dengan meninggalkan seseorang yang sudah lebih dulu hadir, yang bahkan sudah melewati malam romantis bersamanya. Tentu Abinaya tak akan lupa pada kekhilafannya yang pernah mencuri ciuman Fara di saat Fara dalam keadaan tak sadar. ****** Abinaya duduk bersebelahan dengan Fara, sedang Dendra, ayah Fara duduk di hadapan mereka dengan terbentang satu meja yang dia atasnya tersaji makanan khas sunda. Ada nasi tutug oncom, soto Bandung, ayam goreng dan lalapannya serta minuman tradisional bajigur dan jus buah. Ini adalah pertemuan pertama Abinaya dengan ayah Fara. Atmosfer terasa sedikit canggung, tapi Abinaya berusaha untuk bersikap tenang. Di mata Abinaya, Dendra ini sosok yang tegas dan bahkan dari raut wajahnya yang terlihat gahar, nyali seakan menciut kala berhadapan dengannya. “Jadi Mas Abi, sebagai orangtua dari Fara, saya nggak menginginkan anak saya dipacari lama-lama. Saya akan lebih tenang kalau hubungan kalian lebih jelas mau diarahkan kemana. Saya nggak menuntut untuk grasa-grusu juga. Cuma melihat keseriusan kalian, Fara yang juga sebentar lagi wisuda dan Mas Abi juga sudah matang baik fisik maupun mental, saya berharap ada pembicaraan yang lebih serius antar keluarga.” Abinaya mengangguk. Dia sangat mengerti dan memahami maksud perkataan Dendra. Bukan hanya Dendra yang menginginkan hubungan ini melaju menuju jenjang yang lebih serius, dirinya pun berharap demikian. Apa dikata restu dari orangtua khususnya ibunya belum juga ia dapatkan meski setiap kali menelepon orangtuanya, Abinaya selalu berusaha meyakinkan ibunya. Namun hingga detik ini hati ibunya masih tetap pada pendiriannya. “Kira-kira yang menjadi kendala apa Mas Abi? Sebelumnya saya ingin tanya. Bagaimana pendapat orangtua Mas Abi tentang Fara? Dulu Fara merengek minta ditransfer buat beli rok panjang katanya mau ketemu sama orangtua Mas Abi. Kalau orangtua Mas Abi setuju kan kita bisa bertemu secepatnya untuk membicarakan pernikahan kalian.” Kepala Abinaya mendadak pening, bergelut dengan pikirannya sendiri tentang kata apa yang tepat untuk menceritakan semuanya. “Jujur Om, orangtua saya terutama ibu saya belum sepenuhnya menyetujui hubungan saya dengan Fara. Sampai detik ini, saya masih berusaha mengambil hati ibu saya. Kalau bapak saya insya Allah bisa lebih bijak menanggapi.” Dendra cukup terkejut juga. Dia pikir tak ada kendala berarti dari keluarga Abinaya. “Apa yang membuat ibu kamu tidak menyetujui hubunganmu dan Fara?” Dendra mengernyitkan dahi. “Sebelumnya ibu menjodohkan saya dengan anak sahabatnya. Perjodohan itu batal karena memang tidak ada perasaan dan kecocokan.” “Apa ada hubungannya dengan perbedaan agama saya? Saya bisa berjiwa besar menerima keputusan Fara menjadi muallaf meski awalnya saya tidak menerima. Saya berharap orangtua kamu juga bisa menerima perbedaan di keluarga kami.” “Orangtua nggak mempermasalahkan soal itu Om. Mungkin ini hanya naluri ibu saja yang punya calon sendiri. Tapi saya akan terus berjuang untuk meluluhkan hati ibu saya.” Dendra menatap Abinaya tajam, “Sampai kapan? Soalnya ada yang nanya Fara ke saya dan saya belum mengenalkan Fara pada orang itu. Kalau jalan untuk menuju pernikahan kok berbelit gini dan harus menunggu restu ibumu ya saya ingin Fara mengenal orang lain juga.” Pernyataan Dendra ini seperti sebuah ultimatum untuk Abinaya agar segera mengambil keputusan. Sepertinya dia harus secepatnya kembali ke Purwokerto dan membujuk ibunya untuk segera memberikan restu. “Saya akan mengusahakan secepatnya Om. Saya mohon Om, jangan menikahkan Fara dengan orang lain. Saya akan berusaha meyakinkan ibu saya.” Dendra melihat kesungguhan di mata Abinaya. Ia melirik Fara yang juga terlihat begitu berharap. “Iya tolong kasih Mas Abi kesempatan Pa. Fara kan juga masih muda, nggak masalah menunggu Mas Abi.” Binar mata Fara memancarkan harapan yang besar bahwa ayahnya akan memberikan Abinaya kesempatan. “Baiklah. Tapi tolong jangan kelamaan menggantung status anak saya. Dan satu hal yang kamu perlu tahu. Mungkin kamu sudah tahu dari Fara. Mama Fara dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Kalau orangtuamu bisa menerima keadaan keluarga kami, itu akan sangat baik. Saya ingin Fara bisa diterima dengan baik di keluargamu.” Abinaya mengangguk, “Iya saya sudah tahu soal mama Fara. Saya menerima Fara apapun kondisinya. Insya Allah saya akan menceritakan semuanya pada orangtua saya.” ****** Zahira memikirkan pembicaraannya dengan Abinaya kemarin. Ada rasa menyesakkan setiap kali bertemu dengan Abinaya. Dia memilih untuk bersikap ketus pada laki-laki yang mengenalkan arti jatuh cinta itu karena dia tak mau berlarut dalam kesedihan. Patah hati memang sangat menyakitkan. Namun dia tak mau menunjukkan kesakitannya. Dia tak mau terlihat cengeng. Tangis ataupun rasa kalut perempuan hanya akan dianggap sebagai kelemahan di mata laki-laki. Zahira merasa ia perlu membentengi diri untuk tidak kembali jatuh. “Za..” Panggilan Bulik Marta, istri dari Paklik Sadewa, adik kandung ayahnya membuyarkan lamunan Zahira. Dia segera keluar kamar dan menemui Buliknya di dapur. “Ya Bulik ada apa?” “Zahira mau nggak mengantar bekal ini untuk Paklik di kantornya? Zahira kan sudah beberapa kali ke sana, sudah hafal jalan ke sana dan sudah akrab juga dengan suasana kantornya. Maryam sudah berangkat kerja jadi tidak bisa menitip.” “Oh tentu Bulik saya bersedia. Menunggu sore juga membosankan, sementara jadwal kuliah baru mulai minggu depan. Jadi lebih baik saya ke kantor Paklik saja. Kadang saya suka kepo nanya-nanya kerjaan di sana, termasuk pedekate sama sekretaris Paklik yang terampil banget padahal anaknya sudah tiga. Zahira senang saja tambah pengalaman.” Marta tersenyum lebar, “Dari kecil rasa penasaranmu itu tinggi. Barangkali nanti Zahira kerja di perusahaan properti kan sudah ada sedikit gambaran.” Marta menyerahkan kantong berisi bekal itu pada Zahira. “Paklik masih suka dibawain bekal gini ya Bulik??” Zahira mengamati dua kotak bekal di dalamnya. “Iya. Paklik nggak suka makan di kantin atau di luar. Sukanya masakan rumahan.” Zahira tersenyum, “Wajar sih kalau Paklik senengnya masakan rumahan. Masakan Bulik kan emang enak banget.” “Zahira bisa aja mujinya,” Marta tersenyum lebar. Masakannya memang terkenal enak, tak heran jika ada acara tertentu, tetangga atau kerabat kerap minta bantuannya untuk ikut memasak. “Ya udah Zahira berangkat dulu ya. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” ****** Zahira memasuki lobi perusahaan. Security yang berjaga di depan pintu menganggukkan kepala begitu melihat gadis berhijab itu datang. Tak ada balasan senyum hanya anggukan kepala yang diberikan Zahira untuk menyapanya. Sang security sedikit trauma berhadapan dengan sang ponakan bos yang dikenal galaknya naudzubillah. Dia pernah tanpa sengaja memegang tangan Zahira yang tersandung dan hampir jatuh. Gadis itu marah-marah karena disentuh olehnya. Meski laki-laki itu sudah meminta maaf dan mengatakan bahwa ia tak sengaja, tapi tetap saja gadis itu selalu ketus setiap berhadapan dengannya. Zahira memasuki lift, di saat yang sama ada seorang laki-laki yang masuk juga ke dalam. Pintu lift tertutup. Zahira waswas juga berada di dalam lift, hanya berdua dengan laki-laki. Sejenak ia melirik sang pria. Alangkah terkejutnya, ia mengenali pria itu. Laki-laki yang menyenggol tangannya di coffee shop. Di saat yang sama sang laki-laki melirik Zahira. Ia sama terkejutnya. Tentu ia masih ingat raut wajah gadis berhijab yang marah-marah padanya karena mengira dia sengaja menyenggol tangannya. Gadis manis berperawakan mungil tapi galak dan suka marah-marah. Melihat penampilannya yang mengenakan sneakers dan tas punggung, sang laki-laki mengira dia mungkin anak yang baru masuk kuliah atau malah sebenarnya masih SMA, jadi wajar jika pengendalian emosinya masih kurang. “Tolong jangan lihatin saya seperti itu.” Zahira menatap laki-laki tersebut tajam. “Saya nggak bermaksud menatap Mba. Saya cuma ingat kalau Mba pernah marah-marah sama saya di coffee shop.” Zahira terdiam dan kembali menatap ke arah depan. “Kamu pasti bolos kuliah atau sekolah terus main ke sini ya?” Pertanyaan laki-laki tersebut membuat Zahira terbelalak. Selama main ke kantor Pakliknya, Zahira belum pernah bertemu dengan sosok laki-laki ini. Mungkin dia karyawan baru. “Iya saya bolos kenapa?” tanya Zahira sedikit ketus. “Mba mau magang di sini ya? Atau mau penelitian?” tanya laki-laki itu datar. “Kepo amat jadi orang. Bukan urusanmu. Heran orang Indonesia mah kepo-kepo.” “Oh Mbaknya bukan orang Indo?” Zahira terperangah dan menaikkan sebelah sudut bibirnya, “Saya orang Indonesia cuma saya lama di luar negeri.” Laki-laki tersebut hanya mengangguk. Pintu lift terbuka. Saat Zahira hendak melangkah keluar, sang laki-laki juga melangkahkan kaki keluar, akibatnya mereka bersinggungan. Zahira melotot padanya. Persoalan barusan tak selesai begitu saja. Di luar lift, Zahira tak membiarkan sang pria lolos begitu saja. “Anda ini senengnya nyenggol-nyenggol orang ya? Anda sengaja menyentuh saya?” Nada bicara Zahira begitu tak mengenakkan untuk didengar. “Saya nggak sengaja. Saya tahu hukumnya menyentuh perempuan. Mana mungkin saya sengaja menyentuh?” Laki-laki itu merasa kesal juga. Zahira berlalu begitu saja. Laki-laki itu menguntit di belakangnya. Dia menoleh pada sang laki-laki. “Anda mengikuti saya?” Zahira mendelik. “Tujuan saya memang ke ruangan Pak direktur.” Zahira berbalik dan dengan sewot berjalan mendahului laki-laki tersebut. Begitu tiba di ruangan Sadewa, direktur utama perusahaan tersebut menyambut kedatangan ponakannya dengan ramah. Kini laki-laki itu baru tahu bahwa antara gadis galak dan bosnya ada hubungan keluarga. “Paklik ini Zahira bawakan bekal.” “Makasih banyak ya Nduk.” Tatapan mata Sadewa beralih melirik laki-laki di belakang ponakannya. “Laporannya sudah Mas? Selama Pak Fahmi masih cuti, kamu langsung saja nyerahin laporan ke saya ya.” Laki-laki tersebut mengangguk, “Iya sudah Pak.” “Ya sudah ditaruh di meja dulu ya. Nanti saya periksa. Sebentar lagi saya rapat.” Sang laki-laki mengangguk. Ia meletakkan sebuah map lalu undur diri. “Dia karyawan baru ya Paklik?” Sadewa mengangguk, “Terhitung masih baru lah. Tapi karena dia sudah berpengalaman sebelumnya, pernah menjadi direktur divisi keuangan di perusahaan sebelumnya dan kinerjanya juga bagus, dia langsung diangkat untuk menempati posisi manager keuangan. Zahira mengangguk, “Sudah menjadi direktur divisi keuangan di perusahaan sebelumnya kok mau ya pindah kerja ke perusahaan lain dan menempati posisi yang lebih rendah dari jabatan sebelumnya.” “Perusahaan sebelumnya bangkrut. Dia orangnya ulet. Paklik suka. Namanya Wisnu Adhiaksa. Paklik berencana menganalkan dia ke Maryam.” Zahira terdiam. Wisnu Adhiaksa.. terihat masih muda dan tampan...Zahira mengerjap. Tidak penting untuknya siapa itu Wisnu Adhiaksa. Belum ada yang bisa menghapus jejak Abinaya di hatinya. ****** Cinta bersegi-segi kayaknya nih haha....Pak dosen sudah mulai galau juga nih...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN