Berusaha Kuat

1446 Kata
Suasana ruang tengah villa malam itu cukup temaram, hanya ditemani cahaya lampu gantung yang lembut dan aroma lilin aromaterapi dari sudut meja. Angel duduk di sofa panjang mengenakan gaun tidur tipis berbahan satin, senyumnya mengembang ketika Reinaldi mendekat sambil membawa dua gelas wine. Mereka berbincang ringan, tertawa kecil, hingga perlahan suasana menjadi lebih intim. Angel menggoda dengan menyentuhkan jemarinya ke d**a Reinaldi. Tanpa banyak bicara, Reinaldi yang sudah terbawa suasana pun menunduk dan mencium bibir Angel. Ciuman mereka semakin dalam, penuh gairah yang tertahan. Namun tiba-tiba... "BRUK." Terdengar suara buku jatuh dari arah lorong. Reinaldi membuka sedikit matanya di tengah ciuman—dan seketika tubuhnya kaku saat melihat sosok Faiza berdiri terpaku di ujung lorong, tepat di depan mereka. Mata Faiza membulat, bibirnya sedikit terbuka, tapi tak berkata apa-apa. Hanya sorot kecewa yang begitu jelas terpancar dari wajahnya. Ia berdiri dengan piyama panjang dan cardigan tipis, membawa buku dan bantal kecil—mungkin hendak mencari udara segar di ruang tengah atau sekadar ingin membaca. Angel baru menyadari keberadaan Faiza saat Reinaldi tiba-tiba menghentikan ciuman dan menjauh darinya. "Ada apa?" tanyanya pelan, masih setengah terbawa suasana. Reinaldi hanya menatap ke arah Faiza yang kini berbalik dan berjalan cepat kembali ke kamar. Jantungnya berdebar keras. Ia ingin mengejar, ingin menjelaskan, tapi tubuhnya tak bergerak. Rasa malu dan bersalah membuatnya membeku. Angel memutar tubuhnya melihat ke arah lorong dan mendesah pelan. "Dia melihatnya, ya?" Reinaldi mengangguk perlahan, kemudian meletakkan gelas wine-nya di meja dan berdiri. Wajahnya terlihat bingung, penuh rasa bersalah. “Aku harus bicara dengannya…” Angel diam, menatap Reinaldi yang mulai melangkah ke arah kamar Faiza. Meski hatinya mencelos, ia tahu… Reinaldi masih belum benar-benar bisa melepaskan bayang-bayang Faiza. Reinaldi terdiam sejenak di depan pintu kamar Faiza. Tangan kanannya hampir terangkat untuk mengetuk… namun ia mengurungkan niat itu. "Ngapain juga gue ngerasa bersalah?" gumamnya pelan, senyum sinis melintas di bibirnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatap langit-langit villa yang tenang, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. "Pernikahan ini cuma kontrak. Enam bulan. Dua miliar. Tidak boleh jatuh cinta. Dia yang bikin aturan itu juga." Ia menghela napas, mencibir dalam hati atas sikap Faiza barusan. "Sok kecewa. Sok tersinggung. Padahal semua ini cuma bisnis, kan?" Reinaldi lalu berjalan kembali ke ruang tengah, di mana Angel masih duduk menatap kosong, sedikit tidak nyaman dengan situasi barusan. "Lo nggak apa-apa?" tanya Angel, mengamati Reinaldi yang tampak tenang tapi matanya menyimpan sesuatu. Reinaldi tersenyum datar. “Nggak ada yang perlu dikhawatirin. Dia cuma istri kontrak gue. Nggak lebih.” Angel mengangguk kecil, meski ada sedikit rasa tak enak di dadanya. Ia tahu, meski Reinaldi bersikap santai dan menganggap ini hal biasa… tatapan lelaki itu saat melihat Faiza barusan bukan tatapan biasa. Ada resah yang coba dia sembunyikan. Ada rasa yang mulai tak bisa dikendalikan. Namun Reinaldi sendiri menolak untuk mengakuinya. Keesokan harinya, matahari Bali menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Faiza. Gadis itu perlahan membuka mata, tubuhnya masih terasa lemas usai minum obat semalam. Namun, bunyi notifikasi ponsel membuatnya terjaga penuh. David: “Pagi, Faiza. Aku lagi di café dekat pantai. Mau sarapan bareng? Udara pagi ini indah banget.” Faiza tersenyum kecil. Kehangatan perhatian David sedikit mengobati luka hatinya. Ia pun membalas singkat, “Tunggu 10 menit, aku siap-siap.” Beberapa saat kemudian, Faiza keluar dari kamar dengan pakaian kasual—blus putih, celana kulot coklat s**u, dan kerudung segi empat warna nude. Wajahnya terlihat segar meski semalam menangis dalam diam. Ia berjalan menuruni tangga resort, dan langkahnya terhenti sejenak saat melihat Reinaldi dan Angel sedang duduk di ruang tengah. Angel langsung melirik ke arah Faiza dengan senyum mengejek. “Pagi istri kontrak,” katanya pelan namun cukup untuk terdengar. Faiza hanya tersenyum tipis dan melirik Reinaldi sekilas. Ia tidak ingin drama. Namun Reinaldi berdiri spontan dari sofa, tanpa sadar memperhatikan penampilan Faiza dari ujung kepala hingga kaki. “Faiza, kamu… mau ke mana pagi-pagi?” tanyanya, mencoba terdengar netral. “David ngajak sarapan di café,” jawab Faiza datar. Reinaldi mengepalkan tangan, namun menahan diri. “David lagi?” Angel mengangkat alis, pura-pura tak peduli padahal matanya mengawasi reaksi Reinaldi. “Kenapa? Kontrak kita kan nggak melarang aku berteman dengan siapa pun,” ucap Faiza, sebelum melangkah keluar. Begitu pintu menutup, Angel menatap Reinaldi dengan pandangan geli. “Kamu... cemburu?” Reinaldi tertawa pelan. “Ngaco. Buat apa cemburu sama istri yang cuma kontrak? Justru lebih baik kalau dia beneran jadian sama David. Kan gue bisa bebas.” Namun, senyum Angel memudar. Ia bisa melihat tatapan kosong Reinaldi yang terus mengarah ke pintu. Tatapan yang tak bisa ia bantah... menyimpan rasa yang belum disadari. Di sebuah kafe pinggir pantai, Faiza dan David duduk berhadapan di meja kayu kecil. Semilir angin laut menyapu rambut Faiza yang tertutup rapi oleh hijabnya. Mereka sudah memesan sarapan, roti lapis, buah segar, dan dua cangkir kopi hangat. David menatap Faiza dengan senyum teduh. "Aku senang kamu mau keluar pagi ini. Kamu kelihatan jauh lebih baik dibanding semalam," ucap David dengan suara lembut. Faiza tersenyum tipis. “Terima kasih udah datang malam itu. Jujur... aku kaget kamu sampai bawa cokelat segala.” David mengangkat bahu. “Siapa tahu manjur, kan? Obat terbaik buat cewek katanya cokelat dan perhatian.” Faiza tertawa pelan, dan untuk pertama kalinya, tawa itu terdengar tulus. Sementara itu, dari kejauhan—di dalam mobil hitam yang terparkir di tepi jalan arah pantai—Reinaldi duduk diam menatap ke arah kafe. Tangan kirinya memegang rokok yang belum sempat dinyalakan, sementara rahangnya mengeras melihat Faiza tersenyum begitu lepas di hadapan David. “Gue ngapain sih di sini?” gumamnya sendiri, mengacak rambutnya frustasi. “Dia bukan siapa-siapa. Ini semua cuma kontrak.” Tapi ada perasaan aneh yang menghantui dadanya. Rasa tak nyaman, seperti kehilangan sesuatu yang tak pernah benar-benar ia miliki. Ia ingin berpaling, ingin pergi... namun matanya tetap terpaku pada sosok Faiza. Kembali di meja kafe, David menyeruput kopinya. “Faiza... aku tahu kamu dan Reinaldi... hubungan kalian rumit. Tapi aku cuma mau bilang satu hal.” Faiza menatapnya penuh tanya. “Aku nggak akan paksa kamu. Tapi kalau suatu hari kamu butuh bahu untuk bersandar… atau hati untuk disinggahi, aku di sini,” ujar David pelan. Faiza terdiam. Kata-kata itu menusuk. Karena ia tahu, hatinya mulai goyah... mulai membuka celah. Dan dari kejauhan, Reinaldi memukul setir mobilnya pelan. “b******k. Dia serius.” Di tengah suasana santai dan hangat di kafe pinggir pantai itu, Faiza dan David sedang asyik berbincang. Tawa mereka beberapa kali pecah ringan, membuat suasana pagi itu terasa menyenangkan—hingga suara langkah dan aroma parfum mahal mengacaukan semuanya. "Eh, kebetulan banget ketemu kalian di sini," suara Angel terdengar manis tapi tajam. Dia menggandeng erat lengan Reinaldi, yang tampil santai dengan kemeja putih tergulung di lengan dan celana linen abu-abu. Faiza refleks menegakkan posisi duduknya, sementara David sedikit menyipitkan mata memandang Reinaldi. Reinaldi menyunggingkan senyum sinis. "Wah, Faiza... ternyata pagi-pagi udah kencan, ya? Gue kira kamu masih istirahat." Faiza tak menjawab. David hanya menoleh pelan ke arah Reinaldi, tak menyukai nada bicara pria itu. “Kami hanya sarapan,” ucap David singkat, tetap menjaga sopan santun meskipun nadanya menegang. Angel duduk di kursi sebelah Faiza, tanpa diundang. Reinaldi ikut duduk di sebelah David dan menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, lalu menatap Faiza dengan senyum menggoda. “Enak ya bisa ketawa lepas gitu. Gue jadi penasaran... hubungan kalian sejauh apa sih? Soalnya Faiza ini... biasanya pendiam banget di rumah.” Mata Faiza langsung menajam. Ia menatap Reinaldi tajam, menyadari maksud tersembunyi di balik ucapannya. David ikut menatap Reinaldi, tak suka dengan arah pembicaraan. “Kalau kamu punya sesuatu untuk disampaikan, lebih baik langsung saja, daripada menyindir seperti anak SMA,” ucap David datar. Angel menepuk tangan Reinaldi manja. “Sayang, jangan ganggu mereka dong. Mereka manis banget kok.” Reinaldi tertawa kecil, tapi jelas itu tawa meremehkan. “Santai, gue cuma kagum. Gimana ya, biasanya cewek gue... eh maksudnya, istri kontrak gue, susah banget buat tersenyum. Tapi sekarang... karena lo, dia bisa ketawa. Hebat juga lo, Dav.” Ucapan itu seperti cambuk bagi Faiza. Matanya berkaca-kaca, tapi dia bangkit berdiri dengan anggun. “Terima kasih, David, untuk sarapannya. Aku ke kamar dulu.” David menoleh cepat. “Faiza...” Namun Faiza mengangkat tangannya pelan, menahan. “Aku butuh waktu sendiri.” Ia melangkah cepat, meninggalkan meja itu. Reinaldi sempat berdiri tapi kemudian hanya menatap punggung Faiza yang menjauh, tak menyangka ucapannya malah membuat Faiza pergi. David beranjak juga, ingin menyusul, namun Angel menahan lengannya. “Biarin aja. Dia butuh waktu,” ucap Angel, meskipun tatapan David padanya penuh ketegasan. Reinaldi menarik nafas dalam-dalam dan kembali duduk. Tapi dalam hatinya, rasa bersalah mulai menyelinap. Ia tahu... dia cemburu. Tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN