Obat Tidur

1513 Kata
Angel melangkah keluar dari kamar mandi dengan penuh percaya diri. Gaun tidur tipis berwarna merah menyala melekat sempurna di tubuh semampainya. Lingerie itu transparan di beberapa bagian, menggoda siapa pun yang memandang. Rambutnya masih setengah basah, menjuntai lembut di bahunya, memberikan kesan sensual yang sangat disengaja. Reinaldi yang semula berdiri di balkon dengan wajah gusar, berbalik ketika mendengar suara pintu terbuka. Angel menyeringai kecil, matanya menyapu tubuh Reinaldi dari ujung kepala hingga kaki. Ia mendekat perlahan, langkahnya menggoda dan penuh keyakinan. "Sayang..." bisik Angel, suaranya berat dan lembut, "Kita berdua di tempat seindah ini. Apa kau masih ingin berdiri di luar dan termenung soal wanita yang tak bisa memberimu kebebasan?" Reinaldi menelan ludah. Pikirannya sempat melayang pada Faiza, wajah polos itu, mata teduh yang selalu tampak tenang meski hatinya dilanda badai. Tapi tubuh Angel begitu dekat kini. Wangi parfumnya menyergap, jemarinya menyentuh d**a Reinaldi, menariknya mendekat. Dan akhirnya, Reinaldi pun runtuh dalam godaan. Dia menarik Angel dalam pelukannya, dan malam itu pun menjadi malam yang bergelora, bukan karena cinta, tapi karena pelampiasan, kesenangan sesaat, dan mungkin, pelarian. Di kamar lain, Faiza terlelap dalam tidur berat yang dipaksa obat. Mimpi buruk atau mimpi kosong, tak ada yang bisa memastikan. Tapi yang pasti, hatinya perlahan retak semakin dalam, tanpa dia sadari... saat pria yang sah menjadi suaminya justru memilih memeluk wanita lain. Pagi menjelang dengan langit yang mulai berwarna jingga lembut. Ombak bergulung tenang di bibir pantai, angin membawa aroma laut yang segar. Reinaldi bangun lebih dulu, duduk di tepi ranjang sambil mengenakan kausnya. Angel masih tertidur, dengan rambut kusut dan selimut yang melorot hingga sebatas pinggang. Entah mengapa, setelah semua yang terjadi malam tadi, pikirannya justru kembali pada Faiza. Tatapan matanya, ketenangannya, dan cara Faiza menjaga dirinya meski dalam keadaan terikat kontrak. Ada rasa bersalah yang merayap di hatinya. Reinaldi segera keluar dari kamar dan melangkah menuju kamar sebelah. Ia mengetuk pelan. Tok… tok… "Faiza?" panggilnya dengan suara pelan. Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi. "Faiza, ini aku. Boleh aku bicara sebentar?" Masih sunyi. Tidak ada jawaban. Reinaldi menghela napas, lalu mencoba memutar kenop pintu. Tidak dikunci. Ia masuk perlahan. Faiza masih berbaring di tempat tidur, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil halus meski tertutup selimut. Di meja ada sisa obat dan segelas air yang tinggal setengah. Reinaldi mendekat dan duduk di sisi ranjang, menatap wajah Faiza yang tampak lelah. "Faiza…" bisiknya. "Apa kamu sakit?" Pelan-pelan Faiza membuka matanya. Tatapannya buram dan kosong, seperti enggan memfokuskan pandangannya pada pria di hadapannya. "Aku hanya… butuh tidur," gumamnya pelan. "Kau bisa kembali ke kamarmu, Pak Reinaldi. Aku tak apa-apa." Nada suaranya dingin dan datar. Berbeda dari biasanya. "Jangan seperti ini. Aku enggak mau tar aku repot kalau sampe kamu kenapa-kenapa. Kamu tidak biasanya begini…" Faiza mengalihkan wajahnya, memunggungi Reinaldi. "Aku hanya pemeran pengganti, kan? Seharusnya kamu tidak perlu khawatir tentang aku." Ucapan itu menusuk d**a Reinaldi. Ia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Untuk pertama kalinya, dia menyadari bahwa hatinya mulai peduli… dan mungkin sudah terlalu dalam. "Faiza… maafkan aku." Faiza hanya diam, menahan air mata yang mulai membasahi bantalnya. Permintaan maaf itu terasa hampa. Karena luka yang dia rasakan… tak akan sembuh hanya dengan kata-kata. Reinaldi masih duduk di tepi ranjang, menatap punggung Faiza yang masih memunggunginya. Ia merasa bingung, antara rasa bersalah, dan ketidakmampuannya memahami isi hati Faiza. Tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Tok… tok… Reinaldi berdiri dan membukakan pintu. Tampak seorang pria berdiri dengan tangan penuh bawaan—sebuah kotak makanan hangat, dan sekotak coklat premium. "David?" ucap Reinaldi, sedikit terkejut. David tersenyum tipis. "Aku dengar Faiza kurang enak badan. Aku bawa makanan favoritnya, dan… coklat. Biasa, buat nenangin hati." Reinaldi sedikit bergeser, memberi jalan meskipun ada nada keberatan dalam hatinya. David melangkah masuk dan langsung menuju sisi ranjang Faiza. Ia menunduk, memperhatikan wajah pucat perempuan itu dengan tatapan lembut. "Faiza," panggilnya pelan. "Aku bawain sup kaldu hangat, dan coklat favorit kamu. Katanya, kamu lagi butuh yang manis-manis biar tenang." Faiza membuka matanya perlahan, lalu menatap David. Untuk pertama kalinya sejak malam yang menyakitkan itu, wajahnya melunak. "David… kenapa repot-repot?" "Bukan repot. Aku khawatir," ucap David tulus. "Kamu nggak sendiri, Faiza. Aku di sini kalau kamu butuh seseorang yang benar-benar peduli." Reinaldi berdiri tak jauh, menyaksikan interaksi mereka dengan rahang sedikit mengeras. Ia menyadari betapa tulusnya David memperhatikan Faiza. Perhatian itu bukan karena kontrak, bukan karena rasa bersalah, tapi karena rasa… yang mungkin telah tumbuh sejak lama. Tatapan Reinaldi menyipit ketika Faiza tersenyum kecil pada David, mengucapkan terima kasih lirih. Ada rasa aneh di hatinya—bukan hanya cemburu, tapi takut kehilangan. Perempuan yang selama ini ia anggap hanya “istri kontrak”… ternyata perlahan mengisi ruang yang tak ia sadari sebelumnya. David menoleh ke Reinaldi, lalu berkata datar, “Kamu nggak keberatan aku di sini, kan?” Reinaldi menahan diri sejenak, lalu menjawab dengan suara rendah namun tegas, “Dia istriku.” David mengangguk, bibirnya tersenyum samar. “Iya, secara hukum. Tapi kamu yakin… kamu benar-benar memperlakukannya sebagai istri, Reinaldi?” Ucapan itu seperti tamparan. Dan untuk pertama kalinya, Reinaldi tidak bisa menjawab. Angel bersandar santai di kursi balkon kamar resort dengan secangkir teh hangat di tangan, angin malam yang sejuk membuat rambut panjangnya sedikit berantakan. Ia tampak puas dan tersenyum senang saat melihat David keluar dari kamar Faiza dengan wajah lega. “Baguslah,” gumam Angel lirih sambil menyesap tehnya. “Akhirnya Faiza punya seseorang juga yang peduli dan bisa mengalihkan pikirannya dari Reinaldi.” Ia benar-benar mengira kalau kedatangan David membawa perubahan besar. Dalam hati kecilnya, Angel bahkan merasa sedikit lega—kalau Faiza sudah ada yang memperhatikan, maka ia tak perlu lagi merasa bersalah atas hubungannya dengan Reinaldi. Namun, di sisi lain kamar, Faiza justru berbaring sambil memeluk bantal, menatap plafon dengan pikiran penuh tanda tanya. Ia teringat bagaimana David memperlakukannya dengan begitu manis dan lembut, namun… "Aku dan David? Nggak mungkin... dia cuma teman," batinnya. Faiza menghela napas panjang. David memang baik. Terlalu baik, bahkan. Tapi tidak ada getaran di hatinya saat pria itu menyentuh tangannya atau membawakan makanan. Hatinya masih terlalu penuh oleh luka, dan sayangnya, masih mengandung bayangan Reinaldi. Faiza bangkit perlahan dari ranjang, mengambil coklat yang diberikan David. Ia tersenyum kecil, namun lebih kepada rasa bersyukur karena punya teman baik. Di kamar sebelah, Angel mengirim pesan singkat pada Faiza. Angel: Akhirnya kamu punya tempat sandaran juga, ya. David cocok buat kamu. Tolong jaga dia baik-baik. Faiza membaca pesan itu sambil mengerutkan alis. Ia membalas cepat. Faiza: Angel… aku dan David cuma teman. Aku belum mikir ke arah sana. Dan tanpa menunggu lama, Angel langsung membalas: Angel, Kadang perasaan itu tumbuh dari perhatian. Jangan tolak orang yang tulus hanya karena kamu masih menyimpan luka dari orang yang nggak pernah benar-benar milikmu. Faiza diam. Pesan itu menyentuh, tapi juga menyakitkan. Apakah ia masih menaruh harapan pada Reinaldi? Atau hanya takut membuka hati untuk orang lain? Sementara itu, Reinaldi melihat ke arah balkon kamar Faiza dari kejauhan. Ia melihat bayangan Faiza berdiri memandangi langit, tampak sendu. Jantungnya berdebar. Ia tahu, jika ia terus diam, maka David bisa saja menggantikan tempatnya. Dan kali ini, ia mungkin benar-benar akan kehilangan Faiza. Angel bersandar santai di kursi balkon kamar resort dengan secangkir teh hangat di tangan, angin malam yang sejuk membuat rambut panjangnya sedikit berantakan. Ia tampak puas dan tersenyum senang saat melihat David keluar dari kamar Faiza dengan wajah lega. “Baguslah,” gumam Angel lirih sambil menyesap tehnya. “Akhirnya Faiza punya seseorang juga yang peduli dan bisa mengalihkan pikirannya dari Reinaldi.” Ia benar-benar mengira kalau kedatangan David membawa perubahan besar. Dalam hati kecilnya, Angel bahkan merasa sedikit lega, kalau Faiza sudah ada yang memperhatikan, maka ia tak perlu lagi merasa bersalah atas hubungannya dengan Reinaldi. Namun, di sisi lain kamar, Faiza justru berbaring sambil memeluk bantal, menatap plafon dengan pikiran penuh tanda tanya. Ia teringat bagaimana David memperlakukannya dengan begitu manis dan lembut, namun… "Aku dan David? Nggak mungkin... dia cuma teman," batinnya. Faiza menghela napas panjang. David memang baik. Terlalu baik, bahkan. Tapi tidak ada getaran di hatinya saat pria itu menyentuh tangannya atau membawakan makanan. Hatinya masih terlalu penuh oleh luka, dan sayangnya, masih mengandung bayangan Reinaldi. Faiza bangkit perlahan dari ranjang, mengambil coklat yang diberikan David. Ia tersenyum kecil, namun lebih kepada rasa bersyukur karena punya teman baik. Di kamar sebelah, Angel mengirim pesan singkat pada Faiza. Angel: Akhirnya kamu punya tempat sandaran juga, ya. David cocok buat kamu. Tolong jaga dia baik-baik. Faiza membaca pesan itu sambil mengerutkan alis. Ia membalas cepat. Faiza, Angel… aku dan David cuma teman. Aku belum mikir ke arah sana. Dan tanpa menunggu lama, Angel langsung membalas: Angel: Kadang perasaan itu tumbuh dari perhatian. Jangan tolak orang yang tulus hanya karena kamu masih menyimpan luka dari orang yang nggak pernah benar-benar milikmu. Faiza diam. Pesan itu menyentuh, tapi juga menyakitkan. Apakah ia masih menaruh harapan pada Reinaldi, bukankah dia sadar dan tahu bahhwa pernikahan ini hanyalah perjanjian. Sementara itu, Reinaldi melihat ke arah balkon kamar Faiza dari kejauhan. Ia melihat bayangan Faiza berdiri memandangi langit, tampak sendu. Jantungnya berdebar. Ia tahu, jika ia terus diam, maka David bisa saja menggantikan tempatnya. Dan kali ini, ia mungkin benar-benar akan kehilangan Faiza.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN