Suasana Bali sore itu tenang. Langit menggantung jingga keemasan, berpadu indah dengan laut biru yang luas tak berujung. Faiza melangkah pelan di tepi pantai, mengenakan sandal jepit dan dress panjang berbahan linen berwarna krem.
Rambutnya diikat seadanya. Wajahnya tanpa riasan.
Tak ada kamera. Tak ada Angel. Tak ada Reinaldi.
Hanya dia dan suara ombak.
Di tangan kirinya, segelas kelapa muda yang baru dibelinya dari kafe kecil di pinggir resort. Faiza duduk di salah satu ayunan kayu yang menghadap langsung ke laut, membiarkan angin membelai pipinya.
“Honeymoon sendirian,” gumamnya sambil tersenyum hambar. “Lucu juga, ya.”
Dari kejauhan, langkah kaki berat terdengar mendekat. Awalnya Faiza tak menoleh. Tapi suara khas itu, serak dan tenang, membuatnya menegakkan punggung.
“Lagi ngelamun?” suara Reinaldi.
Faiza menoleh perlahan. Reinaldi berdiri hanya berjarak beberapa meter, memakai kaus putih tipis dan celana pendek selutut. Rambutnya agak berantakan, terlihat seperti baru saja keluar dari air. Tangan kirinya memegang sepasang sandal, dan
Langkah Faiza yang baru saja meninggalkan Reinaldi di pantai terhenti ketika suara keras bernada tinggi menyentak udara sore itu.
“Luar biasa ya, caramu memikat pria beristri!”
Suara Angel, lantang, tajam, dan penuh amarah, membelah ketenangan pantai.
Faiza menoleh. Angel berdiri di belakangnya, mengenakan dress pantai tipis yang memamerkan tubuhnya, rambut digerai, dan kacamata hitam kini tersingkap di atas kepala. Wajahnya merah karena emosi. Beberapa turis yang tengah bersantai di kursi pantai mulai menoleh, penasaran dengan kegaduhan itu.
“Apa maksudmu?” Faiza bertanya tenang, meski hatinya mulai bergetar.
Angel melangkah maju dengan gaya dramatis, menunjuk Faiza di depan semua orang.
“Jangan pura-pura polos! Aku lihat sendiri kau menggoda Reinaldi! Duduk berdua, tersenyum manis, pura-pura tak tahu malu! Kau pikir semua itu tidak terlihat dari jauh?”
Beberapa turis mulai berbisik-bisik. Tatapan mereka berubah menjadi menyudutkan dan penuh selidik. Beberapa pria yang duduk di bawah payung mulai menatap Faiza dengan nakal, tergoda oleh tuduhan yang dilempar Angel.
Wajah Faiza memucat. Ia mencoba bicara, tapi suara Angel terus menggema.
“Kau pikir dengan tampang lugu dan pakaian sopan itu bisa menutupi niat busukmu? Semua wanita sepertimu sama! Mencari uang dan status dengan cara murah!”
“Cukup, Angel.”
Suara Reinaldi terdengar lantang dan tegas.
Ia sudah berdiri di belakang Angel, wajahnya muram dan tajam. Seketika suasana hening.
Angel membalikkan badan, wajahnya terkejut. “Rei… aku hanya—”
Ia sudah berdiri di belakang Angel, wajahnya muram dan tajam. Seketika suasana hening.
Angel membalikkan badan, wajahnya terkejut. “Rei… aku hanya—”
“Aku bilang cukup,” potong Reinaldi dingin. “Kau mempermalukan istriku di depan umum. Di hadapan orang asing. Di tempat yang bahkan bukan milikmu. Ini sudah keterlaluan.”
Wajah Angel mulai berubah. Dari percaya diri menjadi panik.
Reinaldi berjalan mendekati Angel dan berbisik, "Ayolah Angel, tenang...Kita selesaikan di villa saja."
Faiza menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah, bukan karena sedih, tapi karena Reinaldi untuk pertama kalinya… berdiri di pihaknya. Meski tidak membela secara langsung. Setidaknya meredam keadaan.
Tatapan para turis pada Faiza nampak memicing, seolah meremehkan. Karena hanya Faiza yang saat itu berpakaian tertutup.
“Angel, please...jangan buat keributan di sini” ucap Reinaldi pelan namun tajam.
Angel menggigit bibirnya, menahan malu, lalu berbalik dan pergi dengan langkah cepat.Sementara itu, Faiza masih berdiri membeku.
“Maaf... kamu harus menghadapi ini,” ujar Reinaldi perlahan.
Faiza hanya menjawab dengan lirih, “Aku tidak apa-apa. Aku sudah biasa jadi yang disalahkan.”
Faiza pun berjalan menuju resort, ingin rasanya dia memesan kamar ditempat terpisah, namun apa daya, semua harga penginapan sangat mahal di sana. Faiza tak memiliki uang yang cukup.
"Faiza... perlu aku antar?"Suara Reinaldi terdengar, menghentikan langkah Faiza.
"Tidak perlu mengantar ke kamar, sebaiknya bapak urus saja pacar bapak, biar dia enggak playing victim, dan memfitnah orang sembarangan!" Faiza pergi berlalu dengan wajah merah dan tatapan tajamnnya.
"Dasar cewek munafik, sok alim!" Angel menggerutu pelan, "sayaang, ayo ... kita makan, aku sudah lapar, biarkan saja dia."
"Iya, ayo." Reinaldi menarik napas pelan.
Di tengah sinar matahari Bali yang memantul di permukaan air laut yang biru jernih, Faiza yang sedang menikmati hembusan angin pantai sendirian, mendadak menjadi pusat perhatian. Angel, yang merasa terusik oleh kebersamaan singkat antara Faiza dan Reinaldi sebelumnya, meluapkan amarahnya dengan cara yang kejam. Ia menghampiri Faiza di hadapan para turis, lalu dengan nada tinggi dan wajah penuh emosi, menuduh Faiza sebagai w*************a, wanita pengacau yang merebut suami orang lain.
"Dengar semuanya, wanita ini ...sudah merebut suamiku, dia... tidak seperti penampilannya." Angel menggunakan bahasa Inggris.
Suasana yang tadinya tenang berubah menjadi canggung. Beberapa turis yang melihat mulai berbisik-bisik dan menatap Faiza dengan pandangan tak nyaman. Beberapa pria asing bahkan mulai memperhatikan Faiza dengan pandangan yang tidak sopan. Faiza hanya bisa diam, wajahnya pucat dan matanya memerah menahan malu dan ketakutan. Angel tersenyum miring puas sebelum kembali ke sisi Reinaldi, seolah tak terjadi apa-apa.
Namun yang lebih mengerikan terjadi, seorang pria asing, turis bertubuh besar dan berbicara dengan aksen asing, menghampiri Faiza yang masih berdiri terpaku. Dengan sok ramah, pria itu menawarkan tisu dan pura-pura bersimpati, sebelum akhirnya menarik tangan Faiza dengan paksa menuju arah tepi pantai yang lebih sepi.
Faiza terkejut dan memberontak, namun tenaganya tak cukup. Pria itu terus menariknya sambil tersenyum sinis. “Jangan takut, aku hanya ingin bicara,” katanya, namun sorot matanya penuh niat buruk.
Sementara itu, di tempat lain, Reinaldi tengah duduk bersama Angel di cafe resort, sama sekali tidak menyadari apa yang sedang terjadi pada wanita yang kini secara hukum adalah istrinya. Ia hanya sesekali melirik ponselnya, tidak ada pesan dari Faiza. Tapi entah kenapa, hatinya mulai terasa tidak tenang.
Turis asing itu semakin menunjukkan niat buruknya. Sorot matanya berubah menjadi liar saat ia menyentuh lengan Faiza tanpa izin, memperhatikan hijab yang menutupi kepala Faiza dengan tatapan merendahkan.
“Wanita seperti kamu... berpura-pura suci, tapi kenyataannya—kamu juga senang diperhatikan, kan?” gumamnya sambil mendekat, suaranya penuh pelecehan.
Faiza langsung mundur satu langkah, dadanya berdegup kencang. Rasa takut dan marah bergumul dalam dirinya. Dengan spontan, ia mengangkat tangan dan menampar pria itu keras di pipi.
“Jangan sentuh saya!” bentaknya dengan suara gemetar namun tegas.
Tamparan itu membuat pria tersebut tersentak, namun bukannya mundur, ia justru menjadi semakin agresif. Dengan kasar, ia mencengkeram pergelangan tangan Faiza, lalu dalam sekejap, ia mengangkat tubuh Faiza, menyeretnya menuju jalur setapak resort yang mengarah ke kamar vila pribadinya.
Faiza meronta sekuat tenaga. "Tolong! Lepaskan aku!" teriaknya panik, namun suara musik dan deburan ombak di sekitar membuat jeritannya nyaris tenggelam.
Namun, tepat sebelum pria itu mencapai kamarnya, terdengar suara lantang:
“Lepaskan dia sekarang juga!”
Seseorang muncul dari arah berlawanan. Seorang pria muda bertubuh tegap, berkulit eksotis khas Asia-Amerika, mengenakan kaus putih dan celana pendek. Matanya tajam dan penuh amarah. Namanya David, seorang wisatawan yang juga sedang berlibur di sana, dan melihat insiden tersebut saat sedang berjalan kembali ke villanya.
“Dia bilang ‘tidak’ dan kau tidak berhak menyentuhnya!” serunya lagi.
Pria asing itu menoleh tajam ke arah David, masih memegang tubuh Faiza. “Ini bukan urusanmu!”
“Tapi dia manusia, dan aku tak akan diam melihat wanita diganggu b******k sepertimu,” ujar David mantap, lalu melayangkan pukulan tepat ke rahang pria itu.
Pria asing itu jatuh terduduk, dan Faiza segera berlari ke arah David yang dengan sigap menyambut dan melindunginya di balik punggungnya.
Turis itu mengumpat kesakitan, namun beberapa staf resort yang melihat keributan mulai berlari menghampiri. David memberikan isyarat agar Faiza tetap di belakangnya.
"Tenang. Kamu aman sekarang," ucap David dengan suara tenang namun tegas.
Faiza hanya bisa tertawa pahit dalam hati saat mendengar Reinaldi memperkenalkan dirinya kepada David sebagai "teman." Teman? Laki-laki yang semalam menandatangani buku nikah bersamanya, yang kini terikat dalam status suami istri, malah menyebutnya sekadar teman di hadapan orang lain.
Namun Faiza tidak bisa menyalahkan siapa pun. Ia sadar sejak awal, pernikahan ini hanyalah kontrak. Ia hanya pemeran pengganti, seseorang yang dipilih karena Angel tak direstui oleh keluarga Reinaldi. Hatinya memang sempat hangat ketika Reinaldi memperhatikannya saat sarapan, tapi itu mungkin cuma fatamorgana. Ia terlalu cepat berharap, dan kini ia mulai menuai luka.
David menatap Faiza, seolah bisa merasakan guncangan emosi di balik senyumnya yang dipaksakan. Ia lalu berkata, "Aku ikut prihatin dengan yang tadi terjadi. Tapi kamu gadis yang kuat, aku salut."
Faiza hanya mengangguk kecil. “Terima kasih, David.”
Sementara itu, Reinaldi tampak risih. Ia tak menyukai cara David memandang Faiza. Namun karena Angel di sampingnya, ia memilih diam. Padahal di dalam dirinya, ada gejolak aneh, perasaan tak nyaman melihat Faiza bicara dekat dengan pria lain. Ia tak paham, kenapa bisa merasa seperti itu, padahal mereka hanya terikat kontrak.
Angel yang peka, langsung menggenggam lengan Reinaldi. “Sayang, kita harus kembali ke vila. Aku mau berenang," katanya manja.
Reinaldi mengangguk pelan, tapi matanya masih melirik Faiza dari kejauhan. Ada sesuatu yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang tak ia sadari mulai sejak hari pertama ia melihat Faiza tanpa hijab itu, sederhana namun memikat.
Reinaldi mulai bertanya-tanya… apakah "Faiza benar-benar hanya sekadar istri kontrak baginya?"
Faiza pun mulai menarik diri. Ia berjalan menyusuri bibir pantai, membiarkan ombak menyapu jejak langkahnya. Hatinya perlahan-lahan memupuk tekad, jika ini hanya sandiwara, ia akan memainkan peran sebaik mungkin, tanpa lagi berharap lebih. Namun, takdir kadang justru mempermainkan hati saat manusia mulai pasrah.