Pagi Yang Penuh Intrik

1734 Kata
Malam itu, Reinaldi menghabiskan waktu bersama Angel. Dalam kamar yang terhubung diam-diam, sementara Faiza tetap tertidur sendiri dalam sunyi. Ia tak tahu bahwa hanya beberapa langkah dari tempatnya berbaring, suaminya tengah memeluk wanita lain. Langit malam Jaka*** tampak kelam di luar jendela. Dan di balik dinding kamar hotel yang mewah itu, pernikahan yang baru saja dimulai telah ternoda. Mungkin tak ada yang benar-benar bersih dalam hubungan yang diawali dengan perjanjian. Namun pengkhianatan, tetaplah pengkhianatan... meski dibungkus dalih "pernikahan kontrak." Malam itu seharusnya menjadi malam pengantin, malam pertama yang seharusnya menjadi awal dari kehidupan pernikahan yang hangat. Namun, bagi Faiza, itu hanyalah formalitas yang penuh luka. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui tirai tipis yang menggantung di balkon. Faiza terbangun di sofa dekat balkon, tubuhnya masih dibalut selimut tebal yang hangat. Sekilas, ia terkejut, tak ingat siapa yang menyelimutinya tadi malam. Tapi begitu ia menoleh ke arah ranjang besar di kamar utama yang tertutup rapat, kesadaran itu kembali menampar. Reinaldi masih bersama Angel. Di kamar itu. Malam pernikahan mereka benar-benar tidak pernah menjadi miliknya. Perut Faiza berbunyi pelan. Ia lapar. Belum makan apa pun sejak malam sebelumnya, terlalu lelah dan tertekan untuk menelan hidangan pesta. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju pintu keluar kamar hotel suite. Namun saat ia mencoba membukanya, ia hanya menemukan kenyataan lain: Pintunya tak bisa dibuka. Kartu akses, alat satu-satunya untuk keluar, berada di tangan Reinaldi. Faiza mencarinya di meja, tasnya sendiri, bahkan di dalam jaket yang ia gantung semalam, tapi nihil. Tidak ada akses, tidak ada harapan untuk memesan makanan dari luar. Dengan napas berat, ia terduduk lagi di sofa, menatap jam dinding yang menunjuk pukul 07.10 pagi. Sekuat mungkin ia menahan air mata, tapi rasa terkurung dan diabaikan mulai mencubit dadanya lebih keras. Setengah jam kemudian, suara dari dalam kamar terdengar. Samar-samar… tawa Angel yang menggema. Pintu belum terbuka. Dan Faiza hanya bisa menatap kosong ke arah pintu itu, menanti entah untuk apa. Beberapa menit kemudian, suara pintu kamar terdengar klik... dan Angel keluar dengan pakaian tidur tipis dan raut puas di wajahnya. Ia menghampiri meja kecil dan mengambil botol air mineral, lalu melirik Faiza sejenak dengan senyum mengejek. "Kamu masih di sini?" tanyanya sinis. “Kukira kamu sudah kabur.” Faiza menunduk. “Aku tidak bisa keluar. Kartu aksesnya dibawa Reinaldi.” Angel mendecak pelan, lalu meneguk air. “Itu berarti kamu cuma tamu. Bahkan bukan tamu kehormatan.” Ia meletakkan botol dengan keras, lalu menambahkan, "Saran dariku, kalau kamu nggak tahan, mundur aja. Toh kamu cuma... figuran dalam hidupnya." Tanpa menunggu balasan, Angel kembali masuk ke kamar. Faiza menggenggam tangannya kuat-kuat, menahan rasa sakit di d**a yang terasa makin menyesakkan. Tapi di balik matanya yang berkaca-kaca, ada api kecil yang mulai menyala. Jika selama ini ia hanya figuran, maka suatu hari nanti, ia akan menulis ulang naskahnya sendiri. Ia bukan boneka yang bisa diabaikan. Ia bukan istri yang bisa dibuang setelah peran selesai. Dan Reinaldi... cepat atau lambat, akan menyadari bahwa yang dia butuhkan bukanlah Angel yang mencolok, tapi Faiza yang bertahan dalam diam. --- Suara pintu kamar utama terbuka pelan. Reinaldi keluar dengan wajah tenang, rambutnya masih sedikit berantakan dan kaus abu-abu yang ia kenakan tampak santai, jauh dari kesan CEO dingin yang biasa dilihat orang. Tatapannya langsung tertuju pada sosok Faiza yang masih duduk diam di sofa dekat balkon. Namun kali ini, matanya terhenti sejenak. Faiza sedang membelakangi jendela, cahaya matahari memantul di rambut hitam panjangnya yang dibiarkan terurai. Tanpa hijab seperti biasanya. Ia mengenakan kaus lengan panjang sederhana dan celana kain longgar—masih sopan, namun tanpa lapisan yang biasa menutupi seluruh tubuhnya. Untuk sesaat, Reinaldi terpaku. Bukan hanya karena penampilan Faiza yang belum pernah ia lihat sebelumnya, tapi karena ada sesuatu yang lembut dari sosok gadis itu di bawah cahaya pagi, ketulusan yang tak dibuat-buat, kepolosan yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan. " Cantik banget..." Reinaldi dalam batinnya. Faiza menyadari kehadiran Reinaldi. Ia langsung refleks berdiri dan membetulkan letak kerudung kecil yang sebelumnya tergelincir dari kepalanya. “Maaf… aku tidak bermaksud.... aku tadi hanya... tidur tanpa sadar...” ucap Faiza buru-buru, wajahnya memerah. “Sudah makan?” potong Reinaldi datar, meski nada suaranya tak setajam biasanya. Faiza menggeleng. “Belum. Aku… tidak bisa keluar kamar, dan...” Tanpa banyak bicara, Reinaldi mengambil ponsel dan memesan sarapan hotel untuk dua orang. Ia lalu berjalan ke sofa seberang dan duduk, masih melirik Faiza dari sudut matanya. "Halo... " "Ya pak dengan layanan kamar, ada yang bisa dibantu?" " Saya pesan makanan untuk sarapan, paket eksklusif ya, untuk 2 orang."Reinal di dengan suara bariton nya memesan makanan. "Baik pak, mohon ditunggu." Panggilan telpon pun terputus. Beberapa menit kemudian, makanan datang. Hidangan khas hotel berbintang, omelet, roti panggang, buah segar, dan teh hangat. Mereka makan dalam diam, duduk berhadapan di meja kecil. Tak ada kata-kata hangat, tapi untuk pertama kalinya… tak ada cemoohan, tak ada Angel. "Udah... makan, kamu lapar kan? Entar sakit lagi, bisa repot nanti." Reinaldi dengan dingin sambil menyantap hidangan. " Iya pak, terimakasih. " Reinaldi sesekali melirik Faiza, diam-diam, tanpa ia sadari, ada pertanyaan di dalam kepalanya sendiri. "Kenapa aku baru memperhatikan bahwa dia… tidak seburuk yang kubayangkan?" Sementara Faiza berusaha tetap tenang, menunduk setiap kali Reinaldi menatapnya terlalu lama. Ia tidak tahu, tatapan itu bukan tatapan kosong. Ada sesuatu yang berubah. Perlahan. Pelan. Tapi nyata. Mungkin, untuk pertama kalinya… Reinaldi melihat Faiza bukan sebagai kontrak, tapi sebagai perempuan yang nyata, yang ada dan hadir dalam hidupnya. Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, Angel berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan. Bibirnya mengatup rapat, matanya tajam menatap ke arah meja makan tempat Reinaldi dan Faiza duduk berhadapan. Bukan soal sarapan bersama yang membuatnya kesal. Bukan juga soal Reinaldi bersikap sedikit ramah. Tapi tatapan itu, tatapan yang baru saja ia lihat di mata pria yang selama ini mengklaim mencintainya. Tatapan Reinaldi ke Faiza berbeda. Bukan benci. Bukan acuh. Tapi… penasaran. Bahkan nyaris tertarik. Angel mengepalkan tangannya. Ia tahu persis seperti apa tatapan Reinaldi saat ia sedang menganalisis lawan bisnisnya, atau saat ia mulai menyukai ide dalam rapat penting. Tatapan itu penuh perhatian. Fokus. Dan sekarang tatapan itu ditujukan pada gadis kampung yang bahkan tidak tahu cara menyesuaikan diri di dunia mereka. "Aku tidak akan diam." gumam Angel, suaranya rendah tapi penuh racun. Setelah sarapan usai, Faiza beranjak dari meja dan kembali ke sofa, membenarkan letak kerudungnya dengan hati-hati. Reinaldi pun bangkit, mengambil jasnya, bersiap pergi ke kantor. Tapi sebelum ia sempat melangkah ke pintu, Angel muncul dengan senyum manis yang dibuat-buat. “Sayang, kamu belum pamit,” ucap Angel manja sambil menyentuh lengan Reinaldi. Tatapannya sekilas menembus Faiza. Reinaldi hanya menatap Angel sebentar. “Aku ada meeting pagi ini.” Angel menahan tangan Reinaldi, kali ini matanya tak lagi menyembunyikan amarah. “Sejak kapan kamu peduli sarapan dengan istri kontrak lebih penting daripada bicara dengan orang yang kamu cinta sungguhan?” Faiza yang masih duduk di sofa pura-pura tak mendengar, tapi hatinya mencelos. Reinaldi menghela napas dan menarik tangannya pelan. “Kau tahu aturannya, Angel. Jangan buat ini lebih rumit.” Angel menatap tajam ke arah Faiza, lalu mendekat seolah ingin memastikan suaranya terdengar. “Nikmatilah peranmu, Faiza. Tapi ingat, semua yang kamu rasakan sekarang... hanya sementara. Kau bisa tinggal di sampingnya, tapi hatinya bukan milikmu.” Faiza tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menahan perih, menelan kenyataan pahit yang sudah ia tahu sejak awal. Tapi dalam diamnya, ada satu tekad: "Kalau aku hanya pemeran pengganti, kenapa dia mulai melihatku seperti tokoh utama?" Faiza dengan tatapan tajam. Dan Angel tahu, itu yang paling menakutkan, Reinaldi tidak lagi sepenuhnya miliknya. ~~~~~~~~ "Besok pagi kita berangkat, bersiaplah, kita akan ke Bali untuk Honeymoon,"ucap Reinaldi dingin. "Apa ? Ho...Honeymoon? Bukannya kita nikah kontrak ya? Kenapa ada Honeymoon?" Faiza terbelalak kaget. "Hei... enggak usah banyak tanya deh, cukup lakukan apa yang aku bilang, lagipula, tenang aja, enggak akan terjadi apa-apa, kamu ... bukan seleraku!" Reinaldi sambil melihat ke bagian ujung kepala sampai ujung kaki Faiza. "Ihhhh, siapa juga yang mau sama dia," ucap Faiza dalam batinnya. "Kalau bukan karena bibiku yang butuh uang pengobatan paman, enggak bakal aku terima pernikahan kontrak ini!" Faiza menggerutu dalam batinnya. Pagi itu, setelah sarapan dan bersiap-siap, Reinaldi dan Faiza keluar dari hotel menuju bandara dengan mobil pribadi perusahaan. Reinaldi tampak rapi dan tenang, duduk di kursi belakang bersama Faiza yang mengenakan tunik panjang warna pastel dan celana kulot sederhana. Wajah Faiza tampak kalem, bahkan cenderung datar. Tak ada rasa antusias seperti pengantin baru yang akan berbulan madu. Karena memang ini bukan bulan madu sesungguhnya. Dan Faiza sadar betul, ia hanyalah pemain bayangan dari sebuah sandiwara. Tiba-tiba, suara ketukan keras dari luar jendela membuat Faiza sedikit tersentak. Angel, dengan kacamata hitam besar dan pakaian yang nyaris tak pantas untuk perjalanan umum, tank top ketat dan celana pendek selutut, berdiri sambil tersenyum manis. “Yuk, jalan! Kalian nggak nyangka aku ikut, kan?” ucap Angel santai sambil membuka pintu sendiri dan langsung masuk ke dalam mobil, duduk di samping Reinaldi tanpa izin atau undangan. Faiza menoleh, namun ekspresinya tetap tenang. Ia hanya berkata pelan, “Bulan madu bertiga. Menarik juga.” Angel mendengus pelan. “Aku nggak mau dia jauh-jauh dari aku terlalu lama. Lagi pula, kita tahu siapa yang benar-benar dia cintai di sini.” Reinaldi tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengusap wajahnya, menahan pusing. “Angel… tolong, jangan buat ini makin rumit,” ujarnya sambil menatap keluar jendela. Tapi Angel tetap bertahan. “Kalau kau tak bisa melarang istrimu ikut bulan madu ini karena status, kau juga tak bisa melarang aku ikut karena kenyataan, aku yang kau cintai.” ** Di pesawat menuju Bali, suasana canggung terus menyelimuti. Angel duduk di sebelah Reinaldi, menyandarkan kepala sesekali, seolah menunjukkan pada pramugari dan penumpang bahwa mereka pasangan sejati. Sementara Faiza duduk satu baris tapi terpisah, menatap awan dari jendela, pikirannya kosong. Ia tak merasa cemburu. Tak merasa sakit. Karena ia tahu, sejak awal ia bukan bagian dari dunia Reinaldi. "Huufft, Suami pura-pura, tapi kita nikah resmi, dibilang resmi tapi ya.... begini, kita tetap ada perjanjian kontrak. Namun di dalam hatinya, ia mulai merasa... tidak nyaman. Bukan karena Angel, tapi karena ada yang tak bisa ia jelaskan saat melihat Reinaldi hanya diam setiap kali Angel bertingkah. Seolah pria itu sendiri sedang bingung, menahan sesuatu yang tak lagi sepenuhnya ia yakini. Dan Faiza bertanya dalam hati, “Kalau ini hanya pernikahan kontrak, kenapa aku merasa mulai peduli pada sikapnya?” Kembali Faiza bergelut dengan batinnya. "Faiza... jangan terlalu bermimpi, kamu bukan Cinderella." Mungkin... bukan Faiza saja yang mulai goyah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN