Faiza terperangah ketika tiba-tiba tubuhnya ditarik ke dalam pelukan hangat Reinaldi. d**a bidang pria itu menempel erat di wajahnya. Sejenak ia ingin menolak, ingin memberontak… tapi rasa sakit, lelah, dan hinaan yang menumpuk membuat pertahanannya runtuh. Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh juga. Ia menangis sejadi-jadinya, membasahi kemeja mahal Reinaldi. Reinaldi menutup mata, rahangnya menegang. Ia bisa merasakan tubuh mungil itu bergetar di pelukannya. Jari-jarinya mengusap pelan punggung Faiza, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan ia lakukan. “Cukup… jangan tangisi mereka. Kamu tidak salah, Faiza…” suaranya serak, bergetar. Faiza tersedu. “Tapi mereka semua… semua menganggap saya perempuan hina. Saya cuma… saya cuma ingin bekerja dengan baik, Pak…” Reinaldi merapatkan pe