Dua bulan berlalu, Adit tampaknya sudah terbiasa dengan kehadiran Nayla. Nayla bukan tipe perempuan yang banyak bicara. Dia hanya bicara seperlunya.
Yang terberat bagi mereka adalah weekend, ketika Adit tidak harus ke kantor. Mereka akan saling menjadi penonton satu sama lain. Karena ruangan apartemen itu nyaris tanpa sekat. Weekend pertama, Adit memilih menghabiskan waktu di kantor meski hanya beberapa jam untuk mengurangi intensitas mereka bersama dalam satu ruangan. Weekend berikutnya dia menghabiskan waktu bersepeda lebih lama dari biasanya. Weekend ketiga dia hunting foto. Dan entah apa saja yang dilakukan laki-laki itu di akhir pekannya hanya demi menghindari satu ruangan terlalu lama dengan gadis itu. Atau kadang, Adit mengurung dirinya di ruang kerjanya. Bukan untuk bekerja. Tapi agar ia tak perlu berinteraksi dengan gadis itu.
"Mas, boleh akhir pekan ini aku tengok butik?" kata Nayla ketika mereka makan malam. Makan malam yang terlampau larut. Sudah beberapa hari ini Adit pulang setelah jam sembilan malam. beberapa pekerjaan yang mengalami tenggat waktu hampir bersamaan membuatnya terpaksa lembur beberapa hari ini bahkan kerap melewatkan makan siangnya. Beberapa kali ia baru makan siang selepas ashar.
"Berapa lama?"
"3-4 hari aja."
"Sudah beli tiket?"
"Belum. Aku belum bilang Mas Adit."
"Kan kamu gak harus ijin aku."
"Iya. Aku tahu. Tapi tetap kan istri harus ijin suami meski tidak dianggap."
Kalimat itu seakan menampar Adit. "Kapan kamu berangkat?"
"Kalau masih ada tiket untuk Jumat pagi, aku ambil jumat pagi. Tapi kalau gak ada berarti lusa, hari kamis."
"Ok. Kasih tau aja jadwalmu kapan biar bisa aku antar. Atau kamu mau berangkat sendiri?"
"Kalau Mas Adit banyak pekerjaan aku bisa pesan taxi."
Tak lama setelah membereskan meja makan dan piring kotor, Nayla memberi tahu.
"Mas, adanya tiket hari Kamis. Dan kembali ke sini hari Selasa."
"Ok. Aku capek. Mau istirahat. Kamu nanti matikan lampu ya"
Nayla mengangguk. Dia menatap Adit yang langsung merebahkan diri di sofa. Beberapa hari ini suaminya itu memang selalu pulang malam. Pantaskah ia meninggalkannya saat pekerjaan kantornya sedang memberat seperti itu? Nayla mendesah. Ia menyesal telah begitu egois meminta ijin pergi saat suaminya mungkin dalam tekanan pekerjaan di kantornya. Istri macam apa ia.
Ia segera mengemasi peralatan bekas makan mereka. Mencucinya. Lalu beranjak ke atas setelah mematikan lampu ruangan utama. Sempat ditatap sekilas wajah suaminya yang tampak sudah pulas sebelum ia naik ke atas.
Baru saja ia hendak terlelap, telinganya menangkap suara igauan tak jelas yang lebih menyerupai rintihan. Ia melongok ke bawah, dilihatnya Adit bergerak gelisah dalam tidurnya. Ia tergesa turun. Meski ragu, disentuhnya lengan lelaki itu. Menyadari suhu tubuh Adit tak wajar, ia memberanikan diri menyentuh pipinya.
“Astaghfirullah. Mas, Mas Adit.”
Adit menggeragap bangun. Mendapati wajah Nayla di hadapannya, ia mengusap wajahnya. “Ada apa?”
“Kenapa gak bilang kalau Mas gak enak badan.”
“Aku gak apa-apa. Cuma kecapekan.”
“Pindah ke kasur aja ya, Mas. Ayo aku bantu.”
“Tidak perlu.”
“Badan Mas panas. Kalau dibiarkan bisa tambah parah dan tambah lama sakitnya. Ijinkan aku buat bantu merawat Mas Adit.”
Nayla memaksa. Dipapahnya laki-laki itu naik ke atas. “Aku buatkan madu hangat ya.” Dia menyelimuti Adit dan turun ke bawah. Lalu kembali lagi dengan gelas berisi air madu.
“Mas ada nyimpen obat? Dimana?”
Adit menggeleng.
“Apanya yang sakit? Mau kupijit?”
Adit menunjuk kepalanya.
“Aku ada minyak aromatherapy, kuberi sedikit sambil kupijit ya.”
Adit mengangguk lemah.
Nayla mengambil minyak aroma terapi, mengoleskannya sedikit di kedua pelipis dan bahu atas Adit. Lalu memijitnya perlahan hingga laki-laki itu sedikit rileks lalu terlelap.
*
“Nay,”
Nayla menggeragap bangun. Ia terkaget menyadari ia tertidur dengan posisi duduk bersandar pada ranjang. “Ya, Mas,” dan lebih kaget lagi mendapati kepala Adit ada di pangkuannya. Entah sejak kapan keduanya berada dalam posisi seperti itu tak ada yang menyadari.
“Aku mau ke kamar mandi. Kepalaku pusing.”
“Iya. Ayo, aku bantu.”
Nayla bangkit lebih dulu. Dan membantu Adit ke kamar mandi. Dia menunggu hingga Adit selesai lalu kembali menuntun dan menyelimutinya.
“Mas, minum air putih ya yang banyak. Biar cepet turun panasnya.”
“Nanti aku kebelet pipis lagi.”
“Gak apa-apa. Biar cepet turun panasnya. Besok kita ke dokter.”
“Gak usah. Di ruang kerjaku sepertinya ada kotak obat.”
“Ih, kenapa tadi bilang gak ada. Tunggu sebentar. Sini aku kasi minyak lagi pelipisnya buat ngurangi pusing.”
Adit menurut. Dia tersenyum samar begitu Nayla yang tampak sedikit kesal melangkah menjauh menuruni tangga. Tak lama ia kembali dengan botol air minum, gelas, dan obat turun panas di tangannya.
“Ayo diminum dulu, Mas,” dia menyodorkan sebuah tablet berwarna putih dan segelas air. Adit menerimanya tanpa banyak protes. “Minumnya dihabiskan, Mas, biar cepet turun panasnya, jadi cepet enakan badannya,” katanya ketika Adit menyodorkan kembali gelasnya.
“Nanti aku bolak-balik ke kamar mandi.”
“Gak apa-apa. Deket ini kamar mandimu.”
Adit berdecak. Tapi dihabiskannya juga segelas air itu sebelum kembali merebahkan tubuhnya di kasur. “Tidurlah,” dia menarik Nayla agar rebah di sampingnya.
“Mas tidurlah dulu. Aku gak akan bisa tidur jika ada orang demam di dekatku,” Nayla kembali bangkit dan merapikan selimut Adit.
Tak lama nafas Adit terdengar teratur. Dia tidur lebih lelap dari sebelumnya. Nayla masih terjaga. Secara periodik, ia menempelkan tangannya di kening lelaki itu mengecek suhu tubuhnya. Ketika dirasanya suhu tubuh Adit sudah turun dan relatif stabil , dia memejamkan matanya, dengan masih duduk bersandar pada tempat tidur.
*
Adit membuka matanya ketika dirasanya kandung kemihnya penuh air. Didapatinya bayangan Nayla yang tertidur dengan posisi terduduk. Dia bangkit. Badannya sudah terasa lebih baik. Dibetulkannya posisi Nayla agar terlentang di kasur sebelum dia memasuki kamar mandi.
Adit merebahkan tubuhnya kembali di sisi Nayla. Memandangi wajah itu yang tertelap tenang. Gadis yang ditolak kehadirannya. Yang tak ia anggap keberadaannya. Tapi justru gadis itu yang mengurusnya, merawatnya, membuat sebagian hidupnya terasa lebih mudah.
“Maaf, Nay,” diulurkannya tangannya menyentuh kepala Nayla. Rambut hitam itu terasa halus di tangannya. Adit tersenyum. Sudah lebih dari dua bulan, dan baru kali ini ia merasai halus rambutnya yang terurai panjang. Dia menarik tangannya. Lalu memejamkan mata masih dengan posisi tubuh menghadap gadis itu.
*
Nayla terbangun menjelang jam 5. Dia kaget mendapati wajah Adit tersenyum di hadapannya begitu ia membuka mata. Bagaimana ceritanya ia tertidur di samping laki-laki itu. “Mas, maaf,” dia segera bangkit dan mengecek ponselnya. “Astaghfirullah, sudah kelewat subuh. Mas Adit sudah solat?”
Adit menggeleng. “Baru beberapa menit lalu adzan subuh,” katanya ringan.
“Tetap aja telat, Mas. Kenapa Mas Adit gak bangunin aku?”
“Kamu nyenyak sekali tidurnya.”
Jangan-jangan dia sudah bangun dari tadi. “Mas Adit bangun dari tadi?”
Adit kembali menggeleng. “Baru saja.”
“Maaf ya. Badannya sudah enakan?” Nayla mengulurkan tangannya menyentuh pipi Adit untuk memeriksa suhu tubuhnya.
Adit tersenyum sambil melirik tangan Nayla, membuat gadis itu langsung menarik tangannya dan merona wajahnya. “Makasih ya, Nay. Maaf sudah merepotkanmu semalam.”
“Gak repot kok. Kita solat?”
Adit mengangguk. “Kamu dulu aja ambil wudhu.”
“Aku di kamar mandi bawah aja, Mas, biar cepat. Mas Adit jangan mandi dulu, habis demam, nanti saja mandinya kalau beneran sudah sembuh,” Nayla beranjak ke almari. Menyiapkan baju ganti Adit dan mengambil baju gantinya sendiri sebelum turun ke bawah.
“Aku tunggu jamaah, Nay.”
“Iya. Aku gak lama.”
*
Adit bersandar di ranjang menghadap ke samping menunggu Nayla yang masih menghadap depan, khusyuk berdoa. “Masih pusing, Mas?”
“Sedikit.”
“Istirahat dulu, Mas. Beberapa hari ini Mas Adit pulang malam terus. Mas sering terlambat makan siang?” Nayla melipat mukenanya sambil masih bersimpuh di atas sajadah.
“Pekerjaanku sedang banyak.”
“Tapi tubuh kita punya limit, Mas. Mas Adit mau kubuatkan bubur?”
Adit menggeleng. “Aku tidak bisa makan bubur.”
“Mau sarapan nasi aja?”
Dia kembali menggeleng. “Mulutku pahit.”
“Aku buatkan teh panas sama roti bakar aja ya. Mas Adit duduk di ranjang aja, jangan di bawah.”
Nayla sudah menghilang ke bawah. Adit mengangkat pantatnya ke kasur, tanpa melipat kembali sajadahnya. Sejak semalam, gadis itu tampak lebih cerewet dari biasanya. Dan entah mengapa Adit sepertinya tak terganggu sama sekali. Ia justru menikmati kecerewetannya.
“Mau kutemani ke dokter, Mas?” Nayla kembali lagi dengan segelas teh panas dan satu tangkup roti bakar coklat keju serta obat di atas nampan.
“Nggak usahlah. Ini sudah mendingan.”
“Diminum dulu tehnya mumpung panas.”
Adit menurut. Mengambil gelas yang disodorkan Nayla. “Kamu gak bikin teh sekalian?”
“Aku lebih butuh kafein kalau pagi.”
Adit mendengus. “Awas saja kalau bau kopimu sampai kesini.” Diambilnya roti itu dengan sebal.
“Makanya cepet sehat, kita ngopi bareng. Mas kan masih minum obat jadi jangan ngopi dulu.”
Adit tersenyum. “Ngopi bareng kemana?”
Nayla tampak berpikir sejenak. “Eh enggak, maksudku…”
“Anggap aja aku utang satu kencan ke coffee shop karena kamu sudah merawatku semalem.”
“Nggak gitu maksudku, Mas. Masa Mas sakit aku diem aja.”
Adit mengunyah rotinya dengan nikmat. Entah mengapa suasana hatinya tak seburuk biasanya ketika berkomunikasi dengan gadis itu. Dia menghabiskan roti dan teh panasnya serta obat yang dibawa Nayla.
“Kamu sudah pesan tiket?”
Nayla menggeleng. “Nanti saja kalau Mas Adit sudah sembuh benar.”
“Bisa ambilkan ponselku, Nay? Mungkin di deket sofa atau di ruang kerja.” Nayla mengangguk. “Sekalian laptop ya.”
Nayla menghentikan langkahnya dan menatap Adit. “Mas masih belum fit bener.”
“Aku harus mengirim beberapa file ke atasanku.”
Nayla mendesah sebelum turun ke bawah. Dia kembali lagi ke atas membawa laptop dan ponsel sesuai pesanan Adit. “Jangan kelamaan ngadepin laptop. Istirahat. Aku di dapur ya, kalau Mas Adit butuh aku.”
*
Satu hari itu, nyaris tak ada sesuatu yang membuat mood keduanya memburuk. Mereka berdua seakan menjadi sebuah tim yang kompak dan saling mensupport satu sama lain. Adit bahkan sudah terlihat lebih segar di sore harinya. Demamnya sudah benar-benar hilang. Mulutnya sudah tak lagi terasa pahit. Nayla membuatkannya air madu lemon hangat yang harus ia minum habis setelah gadis itu juga memaksanya memakan sup bahkan sebelum jam makan siang tiba.
Nayla benar-benar menunjukkan sisi perempuannya yang cerewet dan pemaksa. Dan Adit dibuatnya tak berkutik sama sekali. Adit yang biasanya memaksakan kehendaknya justru untuk pertama kalinya dibuat menurut oleh gadis itu. Bahkan ibunya tak pernah bisa memaksanya minum obat atau menghabiskan makanannya ketika sakit.
“Mas, ibu telepon,” Nayla menunjukkan ponselnya pada Adit.
“Angkat aja.”
“Kalau nanyain Mas?”
“Gak usah bilang kalau ibu gak nanya.”
Nayla menggeser tombol hijau di ponselnya, lalu mengucap salam. Dia sengaja me-loud speaker agar Adit yang tengah duduk di sofa memainkan ponselnya ikut mendengar.
“Baik, bu. Alhamdulillah. Ibu dan Ayah juga kan?”
“Alhamdulillah. Adit baik kan sama kamu? Dia ada di situ?”
“Ibu curigaan bener sama anak sendiri.”
“Kok kamu udah pulang, Dit?”
Nayla dan Adit saling berpandangan. “Aku gak ke kantor, Bu, hari ini.”
“Kenapa? Sakit?”
“Cuma sedikit demam semalem.”
“Bener, Nay?”
“Nggih, Bu. Sekarang sudah lebih baik kok.”
“Habis lembur berapa hari?”
Nayla memandang Adit tak percaya. Bagaimana mungkin ibu mertuanya tahu.
“Ibu sudah mirip cenayang deh,” Adit yang menjawab.
“Kelakuanmu kan begitu. Adit gak ngerepotin kamu kan, Nay?”
“Mboten, Bu. Cuma demam kok.”
“Dia suka rewel kalau sakit, Nay.”
“Ibuk,” protes Adit. “Lagipula Nayla istriku, gak ada salahnya kan dia ngurusin aku.”
Nayla mengernyit dengan kata-kata Adit. Istri?
“Iya. Iya. Giliran sakit aja begitu. Makanya jangan sok jaim jadi laki-laki.”
Entah apa lagi yang diobrolkan ibu dan anak itu sahut menyahut, yang Nayla ingat hanyalah kata istri. Dan itu sudah cukup membuat ruang hatinya sedikit bercahaya. Ia tak ingin berharap banyak, tapi ia juga tak menampik, ada harap yang berpendar di sudut ruang hatinya.
*
Nayla merebahkan tubuhnya di sisi laki-laki itu. Ia tadi sudah mengalah akan tidur di sofa karena ia tak mungkin membiarkan laki-laki itu tidur di sofa dengan kondisi habis sakit, akan tetapi Adit melarangnya. Dia benar-benar membuat Nayla tak punya pilihan, seakan Nayla lah yang memulai kondisi di antara mereka berdua.
“Kalau kamu keberatan tidur satu ranjang sama aku, maka aku yang akan tidur di sofa. Aku tunggu di atas.” Dan gadis itu hanya mendesah, mengikuti langkah Adit yang sudah lebih dulu naik ke atas.
“Nay, sorry ya. Udah bikin repot kamu.” Adit menatapnya lembut dengan posisi tubuh miring menghadap Nayla.
Gadis itu hanya memiringkan kepalanya ke arah Adit. Ia hanya tersenyum tipis, sementara dadanya berdegup kencang. “Kita tinggal satu atap, Mas. Gak mungkin kan salah satu dari kita sakit lalu yang lain diem aja.”
“Ya. Tapi aku sudah mengabaikanmu selama ini.”
“Mungkin kita bisa mulai berteman setelah ini.”
“Yah. Tentu.” Adit tersenyum lebar. Senyum yang untuk pertama kalinya Nayla lihat tanpa beban.
“Terimakasih, Mas.”
Adit mengangguk. “Sweet dream.”
Nayla tersenyum. Satu beban terasa luruh dari pundaknya. “Sleep tight.”
***