Berteman

1184 Kata
“Mas yakin, sudah lebih baik?” Nayla memindahkan isi penggorengannya ke atas piring. “Kamu gak lihat aku udah baikan begini?” Adit duduk di kursi sambil membetulkan dasinya. Nayla meletakkan piring berisi nasi goreng sosis dengan telor mata sapi di atasnya di hadapan Adit. Lalu menuangkan kopi di cangkir dan air putih di gelas yang lain. “Mas Adit makan dulu saja. Aku siapkan bekal Mas Adit.” Adit setuju untuk membawa bekal karena Nayla memaksa. Ia khawatir laki-laki itu akan kembali terlambat makan yang berakibat pada tumbangnya daya tahan tubuhnya. “Kamu sarapan dulu. Aku gak mau makan sendiri. Aku gak akan bawa bekal itu kalau kamu gak ke sini.” Nayla berdecak sebal. “Hobby kok mengancam.” “Aku denger, Nayla.” “I know,” Nayla meletakkan piring nasi gorengnya di atas meja. Ia mengisi cangkirnya dengan kopi lalu menyeruputnya pelan membuat Adit menggelengkan kepalanya. Bagi Nayla, pagi diawali secangkir kopi adalah sebuah kenikmatan. Life begun with a cup of coffee. Aroma kopi dapat membuat moodnya membaik. Terlebih mencecapnya di kala masih hangat. “Kamu gak jadi pulang weekend ini kan?” “Pekan depan aja. Boleh kan?” Adit mengangguk. “Kita keluar weekend ini.” Nayla mengernyit. “Kamu bilang kalau aku sudah sembuh kita bisa ngopi bareng.” “Ini bukannya lagi ngopi bareng ya,” Nayla mengambil cangkirnya dan menyesap kopinya. “Ini sarapan. Mana bekalku.” Adit bangkit mengambil tasnya. Nayla mengambil dua kotak bekal dan sebuah tumbler. “Kenapa banyak sekali? Kamu kira aku anak TK.” “Mas pikir cuma anak TK yang bawa bekal. Anak TK sekarang malah gak bawa bekel, Mas. Orang tuanya cukup bayar bulanan dan mereka sekolah sampai sore tanpa orang tuanya repot.” “Sok tau.” “Mas yang kudet. Full day school sekarang begitu.” Nayla mengambil paper bag dan memasukkannya kotaknya satu per satu. “Ini makan siang, Mas Adit,” Nayla memasukkan kotak pertama. “Coba kulihat isinya.” Nayla membuka kotak itu. Nasi. Tumis buncis campur wortel dan jagung manis serta bakso. Lalu beberapa udang goreng tepung dengan ukuran jumbo yang menggiurkan. Adit tersenyum senang. “Ok.” Nayla kembali menutup dan memasukkan kotak makan itu dalam paperbag. “Ini buah. Harus dihabiskan, Mas,” dia memasukkan kotak kedua. “Ini air lemon dengan madu. Mas harus campur air lagi kalau mau minum, ini sengaja aku banyakin lemon sama madunya biar cukup sehari.” “Gimana caranya aku campur air lagi.” “Mas pakai gelas kantor lah. Isi air panas setengah lalu kasih air lemon ini. Kalau gak dikasih air lagi terlalu asem, Mas” “Kamu lama-lama cerewetnya melebihi ibuk.” Nayla mencebik. “Hati-hati. Jangan lembur dulu. Jaga kesehatan.” Nayla mengulurkan tangannya. Adit menyambutnya, membiarkan gadis itu mengecup tangannya. “Aku berangkat. Assalamualaikum.” * Hubungan mereka sedikit membaik. Adit tak lagi terlalu acuh. Bahkan kini mereka sudah tidur satu ranjang. Beberapa hari ini Adit rutin membawa bekal. Dan dia tampak mulai menikmatinya. Dia duduk di meja panjang yang kerap digunakan untuk menggelar rapat timnya maupun sekedar makan bersama bagi tim bekal. Adit baru menyadari bahwa beberapa personil di kantor mereka kerap membawa bekal dan makan bersama bahkan saling bertukar lauk. “Bang, gak bawa udang goreng tepung yang gede-gede lagi?” Sheila melirik isi bekal Adit. “Kesenengan elo, lo ambilin mulu.” “Istri Bang Adit perhatian berarti, Bang, sampai makan siang suaminya dipikirin.” Timpal Riko. “Kali bener ya, kalau kita ikhlas lepasin sesuatu akan dapet ganti dengan yang lebih baik.” “Maksud lo?” “Nah tuh, Bang Adit aja dapet yang lebih baik.” “Sotoy emang nih anak.” “Nah tuh buktinya Bang Adit jadi lebih rapi. Tiap waktu solat juga ke musholla.” Adit hanya mendengarkan sambil sesekali menimpali atau hanya tersenyum. Benarkah sesignifikan itu ia berubah hingga menjadi perhatian orang lain. Lebih rapi. Dan selalu ke musholla setiap waktu solat tiba di kantor. Nayla memang selalu menyiapkan baju kerjanya setiap hari sebelum ia turun ke dapur. Meski awalnya ia acuhkan, tapi ketika menyadari cara gadis itu memadu padankan baju kerjanya setiap hari, ia menjadi menyukainya. Tentu saja itu meringankan satu bebannya di pagi hari. Dan gadis itu akan mengirimkan pesan mengingatkannya solat. Bahkan itu jauh lebih sering dibanding sekedar mengingatkan makan siang. “Lo seriusan bawa bekal, Dit?” Bastian yang akan keluar dengan Arneta membelokkan langkahnya melihat sahabatnya tengah menghadapi kotak makan. “Perhatian juga ya bini lo.” Dia sengaja melirik Arneta membuat gadis itu berdecih. “Ayo dah, laper gue.” Arneta menarik Bastian. Adit tak menghiraukan. Entah bagaimana tak ada lagi riak kecil bergemuruh di hatinya dengan kehadiran Arneta di sekitarnya. Sebaliknya, ada sedikit bangga terselip ketika gadis itu menyaksikan ia tengah menikmati masakan wanita lain dengan penuh minat. Sesuatu yang mungkin tak akan pernah mau dilakukan Arneta untuknya. * “Jadi sekarang selain udah ada yang nyetrikain baju lo, juga udah ada yang masakin buat lo?” Arneta masuk ke ruangannya selepas makan siang dengan Bastian. “Masalah buat lo?” Gadis itu mencibir. “Selamat deh, Dit. At least ada yang mau all out ngurusin lo,” Arneta menyapukan telapaknya di bahu Adit. “Jadi koki, jadi asisten rumah tangga, jadi…” “Nayla gak seperti itu, Net.” Adit memotong kalimat Arneta. “Setidaknya…” “Dan gue juga gak pernah nyuruh dia untuk ngurusin keperluan gue.” Arneta mendesah. “Gue nggak nyangka aja elo ternyata sekolot itu menetapkan kriteria.” “Excuse me?” “Ini itu 2020, Dit, masa lo jadiin ngurus rumah sebagai kriteria istri idaman.” Adit mengernyit heran. “Gue pernah ngomong gitu ke elo?” “Ya lihat aja buktinya sekarang.” “Kapan gue pernah ngomong gitu ke elo? Bukannya elo ya yang bilang masih pengin bebas karena elo masih muda dan gue udah tua gitu?” Arneta berdecak kesal. “Udah deh, Net, mau kayak apa istri gue dan apapun yang terjadi dalam rumah tangga gue, itu bukan urusan lo. Kan lo independent woman kayak sering lo bilang.” Arneta menghentakkan kakinya kesal dan kembali ke ruangannya. Sementara Adit menghembuskan napasnya setelah gadis itu menghilang. Seseorang yang pernah begitu istimewa untuknya. Benarkah semua rasanya telah berubah? * Adit menghempaskan tubuhnya dengan kesal ke atas kasur. Nayla yang sedang membereskan baju-baju suaminya ke dalam lemari meliriknya. Ia tahu ada sesuatu, tapi ia takut menanyakannya. “Kita keluar malam ini. Aku bosan.” Adit meraih handuk dan menghilang ke kamar mandi tanpa merasa perlu mengambil baju ganti. Nayla hanya menggeleng. Disiapkannya satu set baju rumah lengkap dengan pakaian dalamnya kemudian ia turun ke bawah. Ia tak ingin merasa kikuk dengan perilaku suaminya yang dengan cueknya berganti pakaian di hadapan Nayla. Cukup sekali saja Nayla mengalami situasi yang sangat canggung itu baginya. Setelah kejadian itu, ia akan memilih turun setelah menyiapkan pakaian Adit. Dia memilih duduk di sofa dan mengutak-atik ponselnya. Mengecek sosial medianya dan membalas beberapa pesan yang masuk. Asyik berbalas pesan membuatnya tak menyadari Adit sudah duduk di sampingnya. “Eh, Mas, kita mau kemana?” “Keluar aja. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN