Kencan?

845 Kata
Mereka duduk bersebelahan di salah satu sofa di sudut sebuah coffee shop yang tak terlalu ramai tapi cukup cozy. Adit tampaknya telah akrab dengan suasana kafe itu. Sebuah kafe yang tidak terlalu crowded dengan hiruk pikuk anak muda tetapi memberi kenyamanan tersendiri bagi pengunjungnya yang memang menghendaki suasana yang tenang. Mereka tak banyak bicara, hanya duduk sambil menekuri cangkir kopi dan kudapannya masing-masing, hingga Adit menyadari ada sepasang mata di seberang sana yang menatap mereka dengan sangat intens. “Kamu punya pacar sebelumnya?” tanyanya tiba-tiba. Nayla mengernyit heran. “Jawab saja.” “Enggak. Kenapa?” “Secret admirer?” Nayla menggedikkan bahunya. “Punya?” “Namanya secret ya aku gak tahu kali, Mas.” Adit berdecak kesal. “Kamu kenal laki-laki di sana? Yang baju navy. Di balik macbooknya.” Nayla mengikuti arah pandangan Adit. Sepasang mata tengah melihat ke arahnya tanpa merasa rikuh. Tajam. Mengintimidasi. “Kamu kenal?” Nayla menggeleng. “Dia melihatmu terus sejak tadi.” “Mana mungkin. Bisa saja kan dia melihat orang lain. Mas tahu kan aku gak pernah kemana-mana sejak tinggal disini,” Nayla menyendok isi piringnya dengan cuek. Adit merapatkan duduknya. Melingkarkan tangannya di pinggang Nayla, membuat gadis itu terlonjak kaget. Tapi Adit lebih cepat menarik tubuh gadis itu agar merapat dengan tubuhnya. “Diamlah. Dan berpura-puralah sebentar,” dia berbisik lirih. Jarak wajahnya yang bergitu dekat membuat Nayla dapat merasakan hembusan nafas laki-laki itu di sekitar pipinya. Laki-laki itu sedang mengklaim kepemilikannya pada Nayla. Entah mengapa ia tak suka menyadari ada mata laki-laki lain memandang gadis itu dengan intens. Nayla miliknya kan? Cuma Adit yang secara syah bisa mengklaim gadis itu. “Mas,” laki-laki itu bahkan meletakkan dagunya di pundak Nayla. Membuat jantung Nayla berdetak tak karuan. Nayla menolehkan kepalanya. Mata mereka mereka bertemu. Dan itu dimanfaatkan Adit untuk menahan dagunya. Mengecup sudut bibirnya. Nayla mengerjap kaget. Wajahnya terasa panas seketika. Rona yang begitu kentara hingga membuat Adit terkekeh. Spontan, gadis itu menunduk sembari menggigit bibirnya. “Jangan menggodaku,” Adit mengusap bibir Nayla dengan ibu jarinya, memisahkan bibir itu. “Aku,” Adit kembali terkekeh menyadari wajah Nayla yang semakin merah padam. “Wajahmu udah mirip tomat aja.” “Mas membuatku malu. Ini kan tempat umum.” “Kalau bukan tempat umum boleh?” Nayla menyikut perut Adit. Dan sungguh di luar ekspektasinya, laki-laki itu mengusap kepalanya lalu mengecupnya lembut. Bagaimana Nayla bisa tenang setelahnya? “Kamu masih mau jalan atau kita pulang?” Adit melingkarkan satu lengannya di pundak Nayla. “Pulang aja? Udah malam,” Nayla melirik jarum jam di pergelangan tangannya. “Habiskan dulu.” Adit menyesap sisa kopinya lalu berdiri. Digenggamnya tangan Nayla erat, membuat gadis itu menundukkan kepalanya keluar dari tempat itu. * Rasanya Nayla perlu memeriksakan jantungnya sesegera mungkin. Sejak Adit mengecup sudut bibirnya, rasanya jantungnya tak bisa tenang sebentar saja. Terlebih kini, laki-laki itu mendekapnya erat. Satu lengan menyelusup relung leher Nayla. Sementara satu lengan yang lain melingkari perutnya. Bagaimana ia bisa terlelap jika Adit membuat jantungnya berdetak demikian heboh. “Tidurlah,” Adit mengecup lehernya. Membuat gelayar aneh yang tampak asing bagi Nayla. “Kenapa? Gak bisa tidur hmmm,” Adit membenamkan wajahnya di ceruk leher Nayla. Menghidu wangi yang tanpa ia sadari telah menjadi candu baginya. Nayla mematung. Hembusan nafas itu terlalu manis menggoda lehernya. Bahkan ia bisa merasakan jejak basah yang kemudian ditinggalkan. Tidak. Nayla bahkan tak berani bergerak. Tapi jejak itu semakin intens dan dalam. Bahkan nafas itu terasa semakin memberat. Tuhan, inikah saatnya? Nayla memejamkan matanya. Merasai sesuatu menyelinap ke baju tidurnya. “Mas,” sekuat tenaga Nayla menahan ketika tangan itu menyelinap, bahkan hingga ke balik branya. Membuat Nayla menahan nafasnya ketika remasan pelan itu terbentuk. Dan tiba-tiba saja Adit sudah mengungkungnya. “I want you, Nay. May I?” sepasang mata itu sudah menggelap. Dan punyakah Nayla pilihan tidak? * Nayla membuka matanya perlahan. Merasakan sesuatu yang berbeda dengan tubuhnya. Dan bayangan itu berputar di otaknya, membuat wajahnya Kembali merah padam. Dia menilik ke balik selimutnya lalu mencengkeramnya erat. Diliriknya sisi kirinya, Adit tampak masih terlelap. Wajah itu tampak begitu damai. Lebih tenang dari biasanya. Dia menyingkirkan tangan Adit, lalu menurunkan kakinya perlahan. Memunguti bajunya yang berserakan. Mengenakannya. Lalu beranjak turun ke kamar mandi di bawah. Selama Adit tidur kembali di atas, dia memang jarang menggunakan kamar mandi atas. Nayla lebih memilih turun karena takut mengganggu tidur suaminya itu. Adit terbangun ketika dirasanya hawa dingin menerpa tubuhnya. Tak ada lagi kehangatan dan aroma menenangkan di dekatnya. Dilihatnya Nayla sedang bersimpuh mengenakan mukena. Dia tersenyum mengingat apa yang mereka lakukan semalam. Diambilnya boxer yang tergeletak dilantai dan dipakainya cepat. “Sudah subuh?” tanyanya begitu Nayla selesai berdoa. Nayla menggeleng. Lalu secepat kilat memalingkan wajahnya. “Sebentar lagi.” Senyum Adit melebar menyadari pipi Nayla yang merona merah. Didekatinya wanita itu yang masih bersimpuh duduk di tempatnya, lalu dikecupnya pipinya sekilas, membuat si empunya semakin merona. “Tunggu aku subuhan bareng,” Adit masuk ke kamar mandi tanpa membawa apapun. Nayla hanya menggeleng pelan lalu beranjak menyiapkan pakaian suaminya dan mengganti sprei yang acak-acakan dan berbercak darah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN