Pulang

919 Kata
Hari itu, Adit mengantar Nayla ke stasiun pagi-pagi sekali agar ia tak terlambat di kantor. Rasanya ada yg berbeda di hatinya. Sedikit hambar. "Makasih, Mas." Nayla mengulurkan tangannya. Mengecup punggung tangan Adit. Lalu tersenyum seperti biasanya. Adit tak kuasa mengatakan apapun. Dia hanya diam menyaksikan tubuh mungil itu tenggelam dalam riuh stasiun. Kereta Nayla masih lama, seharusnya ia menemani perempuan itu. Istrinya. Tiba-tiba ada ruang yg menganga. Akankah perempuan itu kembali? Bagaimana jika tidak? Bukankah itu lebih baik? Dia bisa berkeliling dunia bersama Arneta seperti cita-cita mereka? Adit menepis pikirannya jauh-jauh. Entah kenapa dia tiba-tiba berharap Nayla akan kembali lebih cepat. Dan dia bisa saja meminta itu. Perempuan itu pasti akan menurutinya. Nayla tak akan berani membantah suaminya. Sesampainya di kantor, Adit mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Nayla. Diketikkannya sebuah pesan. "Nay, hati-hati. Take care." Nayla membalas cepat. "Iya, Mas. Terimakasih. Mas juga, take care ya." Dan hari ini terasa berbeda bagi Adit. Sepertinya ia Kembali akan makan malam di jalan atau delivery order. Belum membayangkan tumpukan baju kotornya. Akan tetapi yang lebih memberatkannya adalah Nayla bahkan tak mengabarinya. Dia hanya sekali berkabar bahwa ia sudah sampai. Setelah itu tak pernah ada lagi pesannya. Dan untuk pertama kalinya dia enggan Kembali ke apartemennya. Padahal ini weekend. Mengingat tak ada lagi yang menunggunya pulang tiba-tiba membuatnya enggan pulang. Padahal dua bulan yg lalu ia pun hidup tanpa perempuan itu. Kenapa sekarang baru hari kedua Nayla pergi rasanya lebih sulit? Adit memeriksa ponselnya. Dilihatnya Nayla tengah online. Dia memencet tombol call. Lalu sebuah suara mengucap salam. "Mas," suara itu terdengar begitu lembut. "Ya," adit menjawab lirih seakan kehilangan kata. Mengapa ia seakan merindukan wanita itu. Nayla kembali mengucapkan salam. Adit menjawabnya. "Mas Adit gak apa-apa?" "Gak apa-apa. Emang kenapa?" Adit merasa tengsin dengan kekikukannya sendiri. "Enggak, Mas." Lalu tercipta jeda di antara mereka. Adit tampak kesulitan mencari kata untuk memulai lagi. Dan Nayla tampaknya lebih memilih untuk menunggu. "Kamu jadi pulang selasa?" "InsyaAllah, Mas." "Jam berapa?" "Nanti aku lihat lagi tiketku." "Ohya sudah." "Mas Adit mau kubawakan sesuatu?" "Tidak." "Oh baik." "Nay," "Iya?" Entah apa yang membuat Adit speechles ketika menelpon Nayla. "Aku jemput di stasiun hari selasa." "Terimakasih." * Sudah pukul 10 malam ketika Adit akhirnya mengambil kunci mobil setelah hampir satu jam tak bisa memejamkan matanya. Diarahkannya kendaraannya menuju tol luar kota. Untuk pertama kalinya ia memutuskan pulang begitu saja tanpa ibunya perlu meneleponnya terlebih dahulu. Ia bahkan tak merasa perlu untuk beristirahat sejenak di jalan. Rumah tiba-tiba saja menjadi kerinduan terbesarnya. Ah, benarkah rumahnya yang ia rindukan? Ataukah sosok lain? Entah berapa kecepatan yang ia gunakan, hingga ia berhasil memarkir kendaraannya 4 jam kemudian di depan rumah masa kecilnya. Suasana rumah yang gelap membuatnya enggak untuk turun apalagi mengetuk pagar yang pasti sudah dalam keadaan terkunci. Beberapa menit ia hanya duduk di balik kemudi sambil memandangi rumah itu dengan kepala yang ia sandarkan di kemudi beralaskan kedua tangannya. Sunyi. Hingga akhirnya lampu ruang depan menyala, lalu seraut wajah muncul di balik korden. Ia beranjak turun begitu menyadari suara pintu dibuka. "Adit?" suara itu seakan hendak memastikan penglihatannya. "Iya, Bu. Maaf bangunin Ibu ya?" Adit sudah berdiri di pintu pagar. "Udah lama nunggunya? Kenapa gak kasih kabar?" wanita itu bergegas membuka pagar, sementara di ujung pintu rumah seorang lelaki menyusul dengan wajah mengantuknya. "Adit mendadak pingin pulang aja." Wanita itu tersenyum. Adit meraih tangannya, menciumnya, lalu memeluknya erat. "Masuk. Istirahat. Berapa jam perjalanan?" "Emh, 4 jam mungkin." "Ngebut pasti." Adit mendapat tepukan di lengannya. "Biar Adit yang tutup." "Mobilmu masuk aja dulu, Dit," ayahnya mendekat. Adit menyalami ayahnya lalu kembali membuka lebar gerbangnya. Sementara ibunya pamit masuk menyiapkan teh. Begitu kedua laki-laki itu masuk, dua cangkir teh panas sudah ada di meja. "Ibu masih ada lauk tadi, mau dipanasin, Dit?" "Gak usah repot Bu." "Terakhir makan kapan kamu?" suara tegas ayahnya yang bertanya. "Emmh." "Panasin aja, Bu. Makan dulu. Solat. Baru boleh tidur." Wanita itu sudah menyalakan kompor sejak tadi. Mengambilkan nasi, sementara sayurnya dipanaskan. "Nayla pasti gak tahu kan kamu nyusul pulang." "Ibu gak usah lapor Nayla." "Dih memang ibumu tukang lapor apa?' "Besok jemput dia, bawa ke sini. Dia nginep di butiknya." "Kok tumben tiba-tiba pulangnya?' "Ya pingin aja. Emang gak boleh. Serba salah deh Adit." "Ibu seneng kalau Nayla bisa buat kamu pulang kayak gini." Adit memutar bola matanya jengah. "Kamarnya Adit udah diganti sprei, Bu?” “Udah, kemarin Nayla yang ganti sekalian ngepel ada apa dia.” “Kabari dia kamu disini. Jangan diem-dieman. Dia gak banyak omong. Gak usah repot mikir dia bakal laporin kamu gimana perlakukan dia, Dia gak akan lakukan itu.” “Siapa yang mikir gitu.” “Ya kamulah. Udah naik ke atas. Istirahat sana.” Adit mengabiskan isi cangkirnya. Lalu membawa perlengkapan makannya yang sudah kosong ke bak cuci piring. Mencucinya bersih. Di rumah, ia dan kakak-kakaknya terbiasa mencuci sendiri peranngkat bekas makan masing-masing. “Adit naik dulu,” pamitnya menuju kamarnya di lantai atas. Ruang yang berisi 3 kamar dan satu ruangan itu tampak sunyi. Kedua orang tuanya sudah jarang naik ke atas, tapi setiap hari ada asisten rumah tangga yang membersihkannya. Kedua orang tua itu masih duduk di tempatnya selepas Adit naik ke atas. “Biarkan aja dulu, Bu. Mereka butuh adaptasi.” “Iya. Ibu cuma kuatir mantannya masih ngerecokin. Heran anak itu pakai pacaran segala.” “Lingkungannya begitu. Syukur dia gak kebawa jauh-jauh.” “Semoga Nayla bisa tahan sama keras kepala dan manjanya dia.” Laki-laki itu terkekeh pelan. “Siapa yang banyak manjain dia dulu. Yuk ah, tidur lagi.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN