Pesan Ayah

1138 Kata
Nayla sedang menyortir beberapa stok lama yang akan dimasukkan sale saat sebuah mobil merapat di depan butiknya. “Mbak,” panggil adiknya begitu melihat orang yang turun dari mobil. “Ya?” “Mas Adit kan itu?” “Lho kok?” dia beranjak berdiri bersamaan dengan pintu butik dibuka. “Mas?” dia bergegas menyambut suaminya dan mencium tangannya. “Pulang kapan?” “Semalem.” Nayla membawa Adit ke atas setelah menyerahkan pekerjaannya ke pegawai mereka. “Mau dibikinin minum apa?” “Aku belum ngopi.” Nayla beranjak ke pantry. Menyeduh kopi dan mengambilkan cemilan serta buah. “Mas udah sarapan?” dia meletakkan nampan berisi secangkir kopi dan cemilan di atas coffee table. “Udah.” “Nyetir sendiri semalem?” Adit mengangguk setelah menyesap kopinya. “Jam berapa dari sana?” “Sepuluhan mungkin.” Nayla mendesah. Dia lalu beranjak ke sisi Adit. “Mananya yang pegel? Sini aku pijitin.” Adit memiringkan tubuhnya hingga membelakangi Nayla, membiarkan pundaknya yang terasa kaku mendapatkan pijitan. “Kenapa gak pakai kereta aja? Mas kan bisa istirahat kalau pakai kereta.” “Mendadak. Gak kepikir.” “Disini cuma ada satu kamar. Mau balik lagi ke rumah ibu aja? Biar Mas istirahat dulu.” “Gak usah. Aku mau nengok toko habis ini,” Adit lalu merebahkan kepalanya di pangkuan Nayla, membuat perempuan itu mengernyit kaget. Tapi melihat mata suaminya yang masih mengantuk, tak ayal ia menyentuh rambutnya dan membelainya lembut, membuat mata Adit semakin berat hingga akhirnya menutup rapat. Sudah lebih dari 15 menit Adit terpejam. Nayla mengelus lembut rambut hitam itu. Tak pernah ada dalam bayangan mimpinya sekalipun kalau Adit akan menyusulnya pulang. Ia meraih bantal kursi saat dirasa pahanya mulai pegal. Baru satu gerakan Nayla hendak melepaskan diri, Adit malah memeluk pinggangnya dan membenamkan wajahnya ke perut Nayla. “Mataku rasanya pengin merem terus.” “Ya udah Mas tidur aja dulu. Mungkin kecapekan semalem.” “Aku udah tidur di rumah tadi. Kemaren gak bisa tidur.” “Kenapa? Banyak kerjaan?” Adit bangkit. Lalu menyeruput kembali kopinya yang belum habis. Tidak mungkin ia mengakui kalau tak bisa tidur karena tak ada yang mengurusnya. “Kamu masih ada kerjaan?’ “Cuma nyortir stok yang mau di-sale aja. Bisa diteruskan anak-anak kok, karena udah aku bikin listnya.” “Ke toko ayah mau?” “Cuma ke toko?” Adit mengangguk. “Pulang ke rumah aja abis itu. Barangmu ambil sekalian semua.” “Mas balik ke Jakarta kapan?” “Besok. Sore atau malam. Kita balik bareng.” “Aku selesein urusan butik dulu yaa. Kasih tau anak-anak biar kehandle semua.” “Iya. Jangan lama-lama. Entar aku ketiduran lagi.” Nayla hanya mengangguk. Bergegas turun menyelesaikan agendanya, sementara Adit kembali merebahkan punggungnya dan menutup matanya. Nayla benar hanya turun untuk memberi instruksi pada karyawannya. Menyerahkan list pekerjaan pada adiknya kemudian kembali naik ke atas. “Mas, masih mau tidur dulu?” Adit membuka matanya perlahan. “Nggak.” “Tapi entar Mas ngantuk gitu nyetirnya.” “Ini karena ada sofa aja makanya ngantuk. Kalo udah nyetir ya enggak.” “Beneran?” “Iya. Ayo. Entar aku anterin lagi kesini kalo emang masih ada yang harus dikerjain.” “Aku ambil tasku bentar.” Nayla masuk ke kamar dan keluar dengan tas besar yang segera diambil alih. Setelah berpamitan, Adit membawa mobilnya perlahan menuju tempat usaha keluarganya. “Karyawanmu berapa?” “Tiga.” “Gak pakai shift?” “Enggak. Karena cuma sampe sore aja. Paling gantian aja siapa yang harus full sama yang enggak. Dirolling.” “Cukup untuk operasional semuanya?” “Alhamdulillah. Meski gak berlebih juga. Bisa bayar karyawan dan lainnya udah alhamdulillah banget.” “Ayah kayaknya pingin aku handle toko.” Nayla melirik laki-laki di sampingnya. Ada nada getir dalam suaranya. Sejak awal pun Nayla sudah tahu keinginan ayah dan ibu mertuanya itu. Hanya ia tak pernah mengungkitnya di depan Adit. “Katanya akhir-akhir ini banyak yang request interior ala-ala ikea gitu.” “Ada yang bisa ngerjaian?” “Kalau tukangnya sih ada. Cuma kadang nunggu desainnya yang lama. Karena gak ada desainer interiornya.” “Terus desainnya siapa yang ngerjain selama ini?” “Ya Ayah. Sebisanya lihat contoh gambar, cuma nyontek kayaknya sih. Tapi beliau sudah pingin pensiun, pingin ngurusin masjid aja.” Nayla tersenyum. Tempo hari saat ia ke rumah sepulang dari Jakarta, ayah mertuanya memang sempat berkeluh-kesah. “Anak itu kerjaannya seberapa banyak sih Nay? Ayah tuh pengin dia di sini saja nerusin usaha, ini lagi rame kan orang pada ganti furniture. Kamu gak bisa bujukin dia?” “Kenapa senyum gitu?” “Mas sendiri gimana kalau balik ke sini? Kayaknya karir Mas masih prospek enggak di sini?” Adit hanya menggedikkan bahu. “Aku lebih mikirin ayah sama ibu.” Adit memarkirkan kendaraannya kemudian masuk menuju kantor ayahnya di lantai dua. Ayahnya tampak sedang menghadapi layar komputer dan sebuah sketsa di meja. “Hah sini, gambarin ini nih, Dit,” ayahnya menyodorkan sketsa yang tengah dikerjakan. Adit menarik kertas tersebut. Lalu menghela napas. “Ayah sampai repot gambar gini segala emang berapa nilai proyeknya?” “Ish kamu itu.” “Adit gak bawa laptop.” “Itu pake komputer. Ayo, Nay, kita jajan di kantin.” “Apaan. Enggak. Enak aja Adit suruh ngerjain, Ayah malah ke kantin.” Adit mengikuti kedua orang itu yang berjalan mengitari toko. “Kayaknya banyak model baru, Yah.’ “Ayah ikuti itu i********: yang kamu bilang. Alhamdulillah banyak yang beli. Sampai ke luar kota juga kadang kirimnya.” Adit menyimak obrolan dua orang di depannya. Tampaknya ayahnya sengaja mengajaknya berputar terlebih dahulu sebelum ke kantin. Ayahnya memesankan makanan ringan dan minuman. “Kamu gak pingin buka biro jasa sendiri daripada ikut orang, Dit?.” ‘Hmm.” “Disini kan bisa tuh, displit satu ruangan buat kantor kamu. Biar sekalian ngawasi toko.” “Ribet buka biro sendiri. Belum nungguin ada proyek.” “Nayla kan bisa bantu kamu. Kamu bisa sambil ngawasi toko kan. Nayla juga bisa ngawasi butiknya.” “Adit udah nyaman sama kantor yang sekarang.” “Senyaman-nyamannya ikut orang, Dit. Tetep lebih baik kalau itu usahanya sendiri. Ayah ibu sudah tambah tua lho.” “Ayah masih kemana-mana nyupir sendiri gitu kok.” “Ya gimana lagi, mau minta disupirin kamu wong orangnya aja jauh. Pinginnya ya disupirin kamu aja.” Adit terdiam. Dia memperhatikan ayahnya dan Nayla bergantian. Apa memang sudah saatnya dia pulang? “Dipikirin lagi. Ayah gak akan maksa. Ayah tahu cita-cita kamu. Tapi kalau kamu bisa handle tempat ini, Ayah akan sangat berterimakasih. Tapi kalau gak ada yang mau handle nerusin, Ayah sama Ibu sudah berpikir untuk dijual saja.” Nayla menatap Adit sejenak. Melepas usaha keluarga tentu bukanlah keputusan yang mudah. Tapi membujuk Adit pun rasanya ia tak punya kuasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN