I'm sorry

1006 Kata
Adit melemparkan punggungnya di kasur begitu mereka masuk ke kamarnya. Sudah menjelang maghrib ketika mereka berdua akhirnya kembali ke rumah. Sementara itu, Nayla hanya mematung di pintu menyaksikan suaminya memejamkan mata dengan tenang. “Hei, kenapa?” Adit membuka matanya menyadari keheningan diantara mereka. Sekian menit berlalu dan perempuan yang beberapa bulan lalu dipilihkan ibunya untuk menjadi istrinya itu masih mematung di depan pintu kamarnya. Nayla menggeleng pelan sambil tersenyum kaku. “Hanya teringat pertama kali aku masuk ke sini.” Nayla beranjak masuk perlahan. Langkahnya gamang. Kenangan itu memberinya perasaan tak nyaman. Tak diinginkan. Adit bangkit duduk. Mengamati Nayla yang beranjak ke meja tulis untuk meletakkan tasnya di sana. Nayla memang bukan orang yang banyak bicara, tapi Adit sungguh tak menyukai keheningan seperti ini di antara mereka. Dia menghembuskan napasnya. Menyadari sikapnya dulu yang mungkin keterlaluan. “I’m sorry.” Nayla berbalik. Senyumnya sudah kembali menghangat. Tapi bukan berarti Adit tak bisa mengenali sorot mata itu. Mata itu tak cukup pintar untuk menutupi isi hati pemiliknya. Ketika marah. Sedih. Kecewa. Bahagia. Adit tampaknya telah belajar untuk mengenalinya. Adit mengulurkan tangannya, menarik Nayla mendekat hingga tepat di hadapannya. “Maaf. Kata-kataku saat itu mungkin menyakitimu.” Adit mendongak. Satu tangannya melingkar di pinggang Nayla. Nayla tersenyum. “It’ okay. Aku memang istri yang dipilihkan ibu kan?” Adit kini tahu bagian mana yang paling menyakitkan dari semua kalimatnya malam itu pada Nayla. “Yah. But you are the best one.” “Mas sedang berusaha menghiburku?” “Ibu tidak akan pernah memberiku apapun kecuali itu yang terbaik dari semua yang pernah ada.” “Hmm jadi semacam A gift heh?” Adit menggeleng. “Tidak. Kamu lebih dari itu," Adit berhenti sejenak menatap manik mata Nayla, " a blessing,” dia lalu mengeratkan tangannya di pinggang, dan membenamkan wajahnya ke perut rata Nayla. “Sebentar lagi maghrib, Mas. Aku mau mandi dulu,” Nayla berusaha melepaskan tangan Adit di pinggangnya. “Biarin dulu.” Adit mempererat pelukannya, membuat Nayla menghembuskan napas mengalah, mana pernah ia menang dari pria itu. “Dit,” suara ibunya membuat Nayla beranjak mundur. “Malah mesra-mesraan di sini, ditunggu ayah lho ke masjid.” Adit mendengus kesal. “Ibu gangguin aja sukanya.” Wanita paruh baya itu mencibir. “Sana mandi cepet,” bukannya beranjak pergi, ibunya malah masuk ke kamar dan duduk di atas kasur. Adit mendengus. Ia tahu benar ibunya tak akan beranjak pergi sebelum ia melakukan perintahnya tadi. “Aku mandi di bawah. Kamu pakai aja kamar mandi atas, gak usah ke bawah," kata Adit pada Nayla. Dia sengaja mengecup kepala Nayla dengan santai sebelum berlalu sambil menenteng handuk, tanpa tahu wajah istrinya bersemu merah menahan malu di depan ibu mertuanya. Selepas Adit keluar, ibunya menatap teduh Nayla yang terlihat gugup karena ketahuan bermesraan dengan suaminya. “Duduk sini,” ditepuknya kasur di sampingnya. Nayla menurut. “Dia baik ke kamu?” ‘Emmh. Baik kok, Bu.” Wanita itu tersenyum. Meski baik Adit maupun Nayla tak pernah menceritakannya, tapi ia tahu ada yang tidak berjalan dengan baik dalam rumah tangga anak bungsunya itu. “Beri Adit kesempatan. Maafkan ibu kalau mungkin dia belum bisa sebaik yang kamu harapkan.” “Kenapa Ibu harus minta maaf?” “Karena Ibu yang punya kewajiban untuk mendidiknya menjadi lelaki yang baik, Nayla. Dan Ibu juga yang pertama memintamu untuk menjadi pendamping Adit.” Nayla diam sejenak. Ragu untuk bertanya. Tapi jika tidak pada ibu mertuanya ini, pada siapa lagi ia harus bertanya memastikan apa yang selama ini mengganggunya. “Maaf bu, apa Mas Adit punya kekasih lain saat itu?” Ibunya tersenyum lembut. “Tidak. Mereka sudah putus saat Ibu mengkhitbah kamu.” “Ibu tahu kenapa mereka putus?” Wanita itu kembali tersenyum tipis. “Dia terlalu independent. Bukan berarti perempuan tidak boleh mandiri. Kamu juga termasuk perempuan yang kuat dan mandiri. Tapi ada sesuatu yang Ibu rasa kurang pas untuk disandingkan dengan karakter Adit. Yah katakan saja naluri seorang ibu.” “Apa menurut Ibu, saya…” Nayla urung melanjutkan kalimatnya. “Kamu yang terbaik, Nayla. Ibu percaya kamu bisa menjadikan anak Ibu menjadi lebih baik.” Nayla tersenyum samar. “Jangan khawatir. Dia akan segera menyadari betapa berharganya kamu dibanding yang lain. Ibu tunggu di bawah selepas solat maghrib.” Nayla hanya mengangguk pelan. "Maaf kalau saya mengorek masa lalu mas Adit." "Tak apa. Ada hal-hal yang memang harus kamu tahu. Tapi kadang, ada juga yang bagi kita perempuan, lebih baik tidak tahu banyak hal. Ibu harap kamu bisa mengerti ketika mungkin ada pertanyaan-pertanyaan yang terlalu banyak di kepala kita. Udah, Ibu turun dulu. Langsung turun begitu selesai solat, gak usah nunggu Adit." "Iya, Bu." Nayla kemudian memilih mengambil baju ganti dari tas pakaiannya yang tadi diletakkan Adit di depan lemari, lalu beranjak ke kamar mandi. Saat ia kembali, Adit tampak sudah rapi dengan sarung dan baju koko. “Ngobrolin apa sama Ibu tadi?” “Obrolan biasa.” "Ibu itu setipe sama kamu, gak ada obrolan biasa. Mending diem." Nayla mengernyit berpikir. "Ibu cuma memastikan kita baik-baik." Adit mendesah. Diraihnya satu tangan Nayla dan digenggamnya. “Denger, Nayla, aku serius soal minta maaf tadi. Give me a chance. Aku gak sebaik ayah dan ibu. But I’m fast learner.” “Ibu bilang sama Mas tadi?” Adit hanya tersenyum. “Aku ke masjid dulu. Ayah sudah dari tadi nunggu jalan bareng. Abis solat turunlah bantu Ibu nyiapin makan malam.” Nayla mengangguk. Diambilnya tangan Adit lalu dikecupnya. Dia kemudian merebahkan tubuhnya di kasur setelah lelaki itu keluar. Dan kenangan itu kembali menghujamnya. Malam itu, seorang pengantin perempuan menjadi pesakitan di kamar ini. Tidak, bukan karena mereka melewatkan malam pertama begitu saja. Tapi oleh kenyataan bahwa pada malam itu, si pengantin laki-laki membangun tinggi tembok di antara mereka. Meski kemudian dia pula yang merobohkannya, tapi luka itu sudah telanjur tergores. Suara adzan menggema dari pengeras suara masjid. Nayla meraih mukena, memakainya, kemudian menggelar sajadahnya. Adzan adalah suara yang dirindukannya ketika tinggal di apartemen. Ia hanya bisa mendengarnya dari aplikasi ponsel yang ia gunakan jika di apartemen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN