Ayah Alula, Pak Hendra, menatap putrinya dengan sorot kecewa yang sulit disembunyikan. Suasana ruang tamu menjadi sunyi, hanya terdengar suara napas berat Alula yang menahan isak, sementara Alisa tertidur di pangkuannya setelah menangis cukup lama. Pak Hendra duduk di seberangnya, tangan menggenggam erat tongkat kayu yang biasa ia bawa, dan berkata pelan namun tegas, “Lula… Ayah tahu kamu terluka, tapi rumah tangga itu bukan tentang siapa yang lebih banyak menderita. Tapi bagaimana dua orang saling jujur, saling menanggung luka bersama.” Alula menunduk, tidak sanggup menatap ayahnya. “Seharusnya kamu bicara dengan suamimu. Bukan pergi diam-diam. Bukan bersembunyi dan membiarkan anakmu tumbuh tanpa mengenal ayahnya,” lanjut Pak Hendra. “Kalau kamu bilang ingin melindungi dia… ya kamu har