Alula duduk di meja makan kecil rumahnya, menatap kosong ke secangkir teh yang mulai mendingin. Pikirannya berkecamuk, tapi sorot matanya kini sudah tidak selemah semalam—ia sudah memutuskan sesuatu. Setelah memastikan Alis tertidur pulas, Alula mulai merapikan berkas-berkas bisnisnya, mengirim email kepada tim manajemennya untuk sementara mengurus proyek yang sedang berjalan. Ia memutus semua komunikasi dengan Arga—bukan karena benci, tapi karena ingin menyelamatkan harga dirinya. “Kalau memang cinta bisa dijatuhkan dengan satu foto, berarti cinta itu tidak kuat,” bisiknya lirih. Hari itu juga, Alula pergi ke kantor notaris. Ia ingin menyelesaikan berkas perceraian yang tertunda. Meski hati menjerit, ia ingin bebas secara hukum. Ia ingin berhenti berharap. Namun, sebelum ia menandatan