Karena tak kunjung dikaruniai anak, Alula memutuskan untuk menjalani inseminasi buatan. Sayangnya, di hari penting itu, suaminya tidak bisa mendampinginya.
Hari ini tinggal proses inseminasi buatan yang akan disuntikan ke indung telur Alula.
Namun dalam pelaksanaannya Reinaldi tak hadir, setelah sebelumnya Reinaldi sudah melewati proses bagiannya.
"Malas sekali, aku muak dengan semua ini, lagipula, cara ini belum tentu berhasil. " Reinaldi menarik napas panjang.
Sayang ada apa ?" suara lembut wanita itu.
"Tidak penting, karena saat ini, yang terpenting, adalah kita berdua." Reinaldi tersenyum sambil mengelus pipi wanita tersebut.
Meski hatinya terasa sepi tanpa kehadiran sang suami, Alula tetap melangkah masuk ke ruang tindakan dengan keyakinan yang ia kumpulkan sejak lama. Ia menggenggam erat tas kecilnya, seolah dari benda itu ia menarik kekuatan. Di dalam benaknya, ia hanya memikirkan satu hal—semoga usahanya kali ini membuahkan hasil.
Setelah prosedur selesai, Alula keluar dengan langkah pelan. Tak ada tangan yang menyambutnya, tak ada pelukan hangat seperti yang ia harapkan. Ia duduk sebentar di bangku depan klinik, menatap langit mendung yang seolah mencerminkan suasana hatinya.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari suaminya.
"Maaf aku tidak bisa datang. Aku berharap semua berjalan lancar. Aku akan segera pulang."
Air mata Alula menetes perlahan. Bukan karena marah, tapi karena rindu akan perhatian penuh yang dulu selalu ia rasakan.
Setelah proses Inseminasi, Reinaldi bahkan tak pernah menyentuh Alula. Dia lebih sering pulang pagi dengan alasan pekerjaan.
Alula meninggalkan karirnya yang sangat gemilang saat itu. Dia seorang wanita yang sangat baik, dan ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus suami dan anaknya kelak.
Namun ternyata, dia... semakin tersisih dari dunia luar yang seharusnya dia lihat dan dia nikmati selama hidup di kota, dan kehidupan layak yang seharusnya dia terima. Bahkan suaminya tak memperlakukan dia selayaknya istri yang harus dihormati dan di cintai.
~~~~~~~~~~~~
Satu Bulan kemudian
Saat itu, Alula dengan nada lembut meminta izin pada Reinaldi untuk menghadiri reuni bersama teman-teman SMA-nya. Ia berharap momen itu bisa menjadi pelipur lara setelah hari-hari yang melelahkan sebagai ibu rumah tangga. Dengan sedikit ragu, Alula juga meminta uang pada suaminya untuk membeli pakaian baru, karena baju-bajunya sudah terlihat lusuh dan usang.
"Mas, aku ada undangan reuni,"
"Ya."
"Boleh hadir engga ?"
"Boleh,"
"Tapi..."
"Kenapa?"
" Aku mau beli baju untuk reuni?"
Namun alih-alih mendukung, Reinaldi menanggapinya dengan dingin. “Baju lama masih bisa dipakai, kan? Lagipula itu cuma kumpul-kumpul biasa,” katanya tanpa menoleh dari laptopnya. Alula hanya bisa menelan kecewa, menunduk dalam diam, dan menyimpan harapannya sendiri.
"Baiklah."
Alula menghabiskan waktu berjam-jam di depan lemari kecilnya yang mulai berdebu. Jemarinya menyentuh satu per satu pakaian yang tergantung rapi, namun semua terasa tak pantas.
"Sepertinya, dimodif sedikit dress ini akan kelihatan cantik."
Warna-warnanya telah memudar, benang-benang halus mulai tampak di tepi kain. Ia menarik napas panjang, berusaha menyingkirkan rasa kecewa setelah penolakan Reinaldi.
Namun bukannya menyerah, Alula memutuskan untuk mengubah keputusasaan itu menjadi karya. Ia mengambil satu gaun polos berwarna krem yang pernah ia jahit sendiri dulu. Dengan alat jahit sederhana, ia menambahkan detail renda bekas yang masih tersisa, mengubah bagian kerah menjadi lebih anggun, dan menyesuaikan potongan pinggang agar terlihat lebih pas di tubuhnya.
Hasilnya? Meski kainnya tak baru, gaun itu tampak elegan dan mencerminkan karakter Alula—sederhana, kreatif, dan anggun. Di hadapan cermin, ia tersenyum kecil, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu merasa cantik bukan karena pakaian mahal, tapi karena perjuangan dan ketulusannya.
Di tengah kemeriahan reuni, suasana semakin meriah dengan gelak tawa dan obrolan penuh prestise.
"Wahh, Alula, kamu ternyata sangat sederhana ya, look at this, kayanya aku kenal dech dress ini, ha ha ha," seru salah satu teman Alula.
"Iya Lula, itu dress 3 tahun lalu kan, saat kita reuni di bali ha ha ha." Priska tertawa. Dan seluruh teman-temannya ikut tertawa.
"Ini..sayang banget, kalau enggak di pakai." Alula menjawab dengan terbata-bata.
Beberapa teman Alula mulai saling memamerkan pencapaian mereka—ada yang kini jadi manajer di perusahaan multinasional, ada pula yang memiliki bisnis fashion, dan tak sedikit yang datang bersama pasangan yang sukses.
“Aku baru pulang dari Jepang, ada kerja sama arsitektur,” kata salah satu pria bangga sambil memamerkan jam tangan mahalnya.
“Oh ya, butik keduaku baru grand opening minggu lalu,” sahut seorang wanita lain, dengan riasan mewah dan tas branded menggantung di lengannya.
Alula tersenyum kaku, mencoba tetap ikut dalam percakapan meski hatinya terasa tertusuk. Ia tak punya cerita sukses untuk dibagikan.
Sejak menikah dengan Reinaldi, ia berhenti dari pekerjaan desain interior yang dulu begitu ia cintai. Reinaldi memintanya untuk fokus mengurus rumah, dan ia menuruti tanpa banyak tanya.
Sekarang, satu-satunya ‘penghasilan’ yang ia miliki hanyalah uang belanja bulanan yang bahkan harus ia sisihkan sedikit demi sedikit untuk sekadar membeli sabun atau keperluan pribadinya.
Ketika seseorang bertanya padanya, “Kamu kerja di mana sekarang, Lu?”
Ia menjawab pelan, “Sekarang lebih banyak di rumah. Dulu sempat jadi desain interior.”
----------
Di sebuah proyek pembangunan gedung perkantoran di tengah kota, Reinaldi terlihat sibuk mengamati denah dan memberikan arahan pada tim lapangan. Helm proyek terpasang rapi di kepalanya, dan tangan kirinya memegang tablet berisi desain yang sedang ia evaluasi. Wajahnya serius, penuh fokus—sosok arsitek muda yang tampak berdedikasi.
Namun konsentrasinya buyar saat ponselnya bergetar. Ia melirik layar, dan nama yang muncul membuat jantungnya berdebar sedikit lebih cepat: Yasmin.
Dengan cepat, ia menjauh dari kerumunan pekerja dan menjawab telepon itu. Suara merdu Yasmin langsung terdengar dari seberang.
“Sayang, kamu sibuk?”
“Aku lagi di site, ada apa?” jawab Reinaldi, suaranya lebih lembut dari biasanya.
“Aku kangen… dan tadi lihat postingan kamu di lokasi itu. Kamu dekat dari apartemenku, kan?”
Reinaldi terdiam sejenak, lalu melirik jam tangannya.
“Sebentar lagi break, aku bisa mampir bentar,” ujarnya, tanpa ragu.
Yasmin tertawa manja, “Kamu memang nggak pernah berubah… aku tunggu ya.”
Setelah telepon ditutup, Reinaldi menarik
napas dalam. Sekilas, ia menoleh ke arah foto kecil di dompet yang tergantung di ranselnya—foto pernikahan sederhana dengan Alula. Namun hanya sesaat. Ia segera melangkah pergi, membiarkan suara mesin dan palu tertinggal di belakang, menuju janji terlarang yang terus ia pelihara.
Yasmin mengajak Reinaldi untuk makan malam di restoran. Mereka pun bersama menuju mobil. Wajah kebahagiaan terpancar dari keduanya.
°°°°°°°°°°°°°°
Acara reuni sudah selesai, Alula menelepon suaminya.
"Halo, Mas... aku sudah selesai, bisa jemput aku sekarang?" suaranya lembut, seperti biasa, mencoba tidak menuntut.
Di seberang, suara lelaki terdengar dingin dan tak sabar.
"Malam-malam begini? Aku capek, Alula. Gak bisa kamu pulang sendiri aja?"
Alula terdiam sesaat. Hatinya mencelos, tapi ia menahan napas agar suaranya tetap stabil.
"Iya... kalau begitu aku cari taksi saja."
"Ya udah, terserah kamu," jawab suaminya sebelum sambungan terputus begitu saja.
Alula menatap layar ponsel yang kini gelap. Ia menunduk, menggenggam erat tasnya, berusaha menelan rasa kecewa yang terasa makin sering datang akhir-akhir ini.
Alula melangkah pelan bersama Sella sahabatnya menuju lobi restoran. Langkahnya masih ragu, hatinya belum sepenuhnya tenang setelah percakapan barusan dengan suaminya.
Namun saat mereka tiba di lobi, langkah Alula tiba-tiba terhenti. Matanya membeku, napasnya tercekat. Di sisi lain lobi yang sedikit remang, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya.
Reinaldi berdiri dengan angkuhnya, mengenakan jas santai dan sepatu mahal. Dan di sampingnya, seorang wanita tinggi semampai dengan gaun elegan dan tawa yang terdengar nyaring. Yasmin. Model terkenal yang kerap wara-wiri di media sosial. Wajahnya terpampang di banyak billboard kota.
Mereka tampak akrab. Terlalu akrab. Yasmin menggandeng lengan Reinaldi sambil tertawa, lalu menepuk pipinya manja. Reinaldi tidak menolak. Bahkan tertawa balas dengan wajah penuh pesona yang selama ini tidak pernah Alula dapatkan.
Sella yang berdiri di sampingnya menoleh, mengikuti arah pandangan Alula. Ia ikut membeku sejenak, lalu menatap wajah Alula yang perlahan pucat.
“Itu… suamimu?” tanya Sella, suaranya pelan tapi penuh tekanan.
Alula menelan ludah, matanya masih terpaku. “Iya… itu dia.”
Reinaldi tak menyadari kehadiran mereka. Ia terlalu tenggelam dalam senyum Yasmin, terlalu sibuk menjadi sosok menawan yang tak pernah ia tampilkan di rumah.
Air mata menumpuk di pelupuk mata Alula, namun ia cepat mengedipkannya. Ia tak mau menangis. Tidak di depan sahabatnya, yang baru saja membuatnya merasa dihargai.
“Aku gak apa-apa,” ucap Alula, meski suaranya bergetar.
Sella menatapnya lama. “Kamu gak pantas diperlakukan begini, Alula.”
Alula mengangguk pelan, lalu berbalik. “Ayo, kita pergi dari sini…”
Dan untuk pertama kalinya malam itu, Alula melangkah pergi bukan dengan hati yang retak, tapi dengan perlahan membangun keberanian baru.
Alula duduk di ruang tamu dengan perasaan gelisah yang semakin menguat. Waktu terasa berjalan begitu lambat, detik demi detik seolah menghancurkan ketenangan yang dulu pernah ia rasakan. Ia menggenggam ponselnya, menatap layar yang kosong. Reinaldi belum menghubunginya sejak keluar tadi sore, dan setelah kejadian di restoran, hatinya semakin gelisah.
Alula mencoba menghubungi Reinaldi, sekali, dua kali—tapi setiap kali teleponnya tidak diangkat. Ia mencoba berpikir positif, tetapi semakin lama ia menunggu, semakin perasaan cemas itu semakin menguasainya. Apakah suaminya akan pulang malam ini? Apa yang sebenarnya terjadi di luar sana?
Ponselnya kembali bergetar. Bukan dari Reinaldi, melainkan pesan dari teman reuni yang tadi malam sempat berbicara dengannya.
"Alula, kamu kenal nggak wanita yang berjalan bareng Reinaldi tadi? Rasanya aku pernah lihat dia di beberapa acara sosial."
Pesan itu semakin membuat Alula terdiam. Wanita yang dimaksud? Yasmin? Alula merasa nafasnya tercekat. Ia sudah menduga, tapi sekarang pertanyaan itu muncul begitu jelas di depannya. Kenapa tidak ada penjelasan dari suaminya?
Kenapa Reinaldi selalu menghindari topik tentang hubungan mereka yang sebenarnya?
Beberapa kali Alula menelpon Reinaldi, namun tak sekalipun diangkat. Hati Alula semakin merasa teriris saat dihadapannya jelas-jelas suaminya sedang tertawa mesra bersama.seorang wanita.
Namun dia masih menjaga harga diri suaminya, dan tak mau mempermalukan dirinya dihadapan teman-temannya.
"Sepertinya aku harus menunggu sampai di rumah," ucap Alula dalam batinnya.
Alula pun pulang menaiki taksi yang dipesannya. Hingga entah berapa puluh kali dia menelpon suaminya namun tak juga diangkat.
Akhirnya, setelah beberapa saat, ponselnya berdering lagi. Nama Reinaldi muncul di layar. Hatinya berdebar cepat, namun ada keraguan dalam dirinya untuk mengangkat telepon itu.
Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya, dan akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut.
“Halo?” suaranya terdengar agak cemas.
"Lula, aku baru pulang. Lagi macet banget di jalan." Suara Reinaldi terdengar tenang, namun Alula merasakan ada yang tidak biasa.
“Aku... sudah lama menunggu,” Alula menjawab perlahan, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.
"Maaf, sayang. Aku capek banget. Nanti kita ngobrol ya." Jawaban Reinaldi terdengar sedikit tergesa-gesa. Reinaldi nampak sedang duduk di tepi ranjang dengan seorang wanita di pelukannya.
Alula memandangi ponselnya yang telah mati setelah percakapan singkat itu. Sesuatu dalam hatinya terasa sangat tidak beres. Ia tahu ada yang disembunyikan Reinaldi darinya, dan malam ini—lebih dari sebelumnya—ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Alula duduk di balkon kamar, memandangi gelap malam yang membungkus kota. Hanya ada cahaya rembulan yang temaram, dan suara desiran angin yang membelai wajahnya. Di sana, di tempat yang seharusnya penuh ketenangan, ia merasa seolah berada di ruang yang penuh kegelisahan. Pikirannya berlarian, mencerna semua kejadian yang baru saja ia saksikan. Reinaldi—suaminya—berjalan mesra dengan wanita lain di restoran. Semua pertanyaan itu kini berputar-putar di dalam benaknya, tak bisa ia tepis.
Perasaan marah, bingung, dan terluka begitu mendalam. Alula memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mencari kedamaian dalam dirinya, namun semakin lama, hati itu semakin meronta.
Tiba-tiba, suara mobil terdengar dari halaman rumah. Alula mengenali suara itu. Reinaldi pulang.
Ia menatap pintu balkon yang terbuka, seolah ragu apakah harus menunggu atau segera berhadapan dengan kenyataan yang tak ingin ia terima.
Alula menarik napas dalam-dalam dan berdiri dari kursi balkon. Ia merasa seolah jantungnya menghentak keras, dan dalam keheningan malam itu, semua kata yang ingin ia katakan terasa berat di lidahnya.
“Sayang, malam ini…” suara Reinaldi terdengar datar, namun terhenti begitu ia melihat wajah Alula yang penuh dengan ketegangan.
“Kamu pergi kemana tadi? Bersama siapa?” Alula akhirnya memberanikan diri bertanya, suaranya agak tercekat, tapi tetap terdengar tegas.