Berakhir

1694 Kata
Reinaldi menoleh, terkejut melihat tatapan tajam di mata Alula. “Aku… hanya pergi dengan beberapa teman,” jawabnya dengan nada dingin, seolah mencoba mengalihkan perhatian. Alula menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang semakin membuncah. “Kenapa tidak bilang? Kenapa tidak mengangkat teleponku?” Reinaldi hanya diam. Ia tahu, Alula tidak akan begitu saja menerima jawaban itu. Tapi dia juga tidak bisa mengakui apa yang sebenarnya terjadi. “Alula, aku capek. Boleh nggak kita bahas nanti?” Suara Reinaldi terdengar lebih kasar, mencoba menghindar. Namun Alula sudah tidak bisa lagi menahan semuanya. Semua kecurigaan, kebingungannya, dan rasa sakit yang selama ini ia pendam kini meledak begitu saja. “Kamu tidak bisa lagi menghindar, Reinaldi. Aku tahu ada yang kamu sembunyikan. Aku tahu siapa wanita itu!” Suaranya penuh emosi, dan tangannya menggenggam erat pakaian suaminya, seolah ingin memaksa jawaban dari pria itu. Reinaldi terdiam, wajahnya berubah serius. Alula menunggu, menatapnya dengan tatapan yang penuh tantangan. Akhirnya, Reinaldi menghela napas panjang. "Dia Yasmin..." ucapnya perlahan, suaranya berat. "Dia… masih ada dalam hidupku." Mendengar itu, hati Alula terasa remuk. Kenyataan itu lebih sakit daripada apapun yang bisa ia bayangkan. "Baiklah, sekarang aku tahu, aku bukan wanita yang ada dihatimu selama ini. Dan aku ... sudah tidak tahan lagi," Air mata Alula mulai menetes tanpa bisa ia tahan. Ia merasa sangat lelah, fisik dan emosional, seperti semuanya runtuh dalam sekejap. Ia berdiri terpaku di depan Reinaldi, menatap suaminya dengan campuran kebingungan, kesedihan, dan rasa sakit yang tak bisa lagi disembunyikan. "Jadi kamu masih terus berhubungan dengan dia?" suara Alula terdengar lemah, seolah hatinya remuk seiring setiap kata yang keluar. Reinaldi diam, tampak ragu, seolah tidak tahu harus berkata apa. Ia memandang Alula dengan tatapan yang sulit dibaca, tidak bisa lagi mengelak dari kenyataan yang sudah terlalu jelas. "Aku... aku sudah berusaha, Alula," katanya akhirnya, mencoba menjelaskan. "Tapi Yasmin... dia bagian dari masa laluku. Kita masih berkomunikasi, dan aku tak bisa mengabaikannya begitu saja." Alula menatapnya dengan mata yang basah, berusaha menahan amarah yang mulai membara. "Bagian dari masa lalu?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Kenapa tidak ada satu pun yang kamu beri tahu aku tentang dia, Reinaldi? Kenapa kamu harus sembunyikan ini semua?" Alula merasa seperti sebuah kepingan hati yang sudah lama hilang, kini benar-benar hancur. Ia telah mengorbankan begitu banyak demi hubungan mereka. Fokus pada Reinaldi, mengurus rumah tangga dengan penuh perhatian, selalu ada untuk suaminya, tapi apa yang ia dapatkan? Sebuah pengkhianatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Aku sudah berusaha memberikan yang terbaik untukmu, Reinaldi," ucapnya, suara mulai bergetar, "Aku sudah meninggalkan pekerjaanku sebagai desainer interior hanya untuk mendukungmu, untuk membangun rumah tangga ini. Aku melakukan semuanya dengan sepenuh hati, tapi ternyata..." ia terhenti, menunduk, "ternyata itu semua tidak berarti apa-apa." Alula merasa kosong. Kecewa yang mendalam itu begitu tajam, seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Ia sudah mencoba menyembunyikan segala keraguan, memberikan kepercayaan pada suaminya, tetapi kini semua itu hancur begitu saja. Reinaldi tetap diam, terlihat semakin terpojok. Tapi ia tahu, Alula sudah terlalu terluka untuk diajak bicara lebih lanjut. Alula hanya menatapnya sejenak, lalu berbalik dan berjalan pergi ke kamar, meninggalkan suaminya yang kini terdiam, menyesali setiap kata yang telah terucap. Alula tidak ingin lagi menunggu jawaban apapun. Ia sudah membuat keputusan dalam hati, meskipun hatinya terasa sangat berat. Alula duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto-foto lama yang tersebar di meja rias. Setiap gambar yang ada di tangannya seolah mengingatkan kembali pada masa-masa indah yang pernah ia alami bersama Reinaldi. Namun, kini semuanya terasa hampa, seperti kenangan yang kosong dan tak bermakna lagi. “Kenapa aku tidak pernah melihat tanda-tanda itu?” pikir Alula, suaranya hampir tak terdengar, hanya bisikan perasaan kecewa yang dalam. “Ternyata semua yang aku percaya selama ini hanya kebohongan.” Tiga tahun pernikahan mereka kini terasa seperti sebuah mimpi buruk yang baru ia bangun dari tidurnya. Saat ia mengenang kembali hari-hari pertama pernikahan mereka, dia ingat betapa bahagianya dia menerima lamaran Reinaldi. Di mata Alula, Reinaldi adalah sosok yang penuh dengan harapan, impian masa depan yang indah, dan cinta yang tulus. Ia berusaha keras untuk menjadi istri yang baik, setia mendampingi suaminya, menyiapkan makan malam, merawat rumah, dan memberikan perhatian penuh. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan itu mulai memudar. Reinaldi, yang dulu begitu penuh perhatian, mulai berubah. Keterlambatan-keterlambatan kecil dalam komunikasi, janji-janji yang tidak ditepati, hingga ketidakmampuannya untuk memperkenalkan Alula kepada teman-temannya atau keluarga dekatnya. Semua itu semakin memperlihatkan bahwa ada yang salah. Alula mulai merasa semakin terasingkan, tetapi dia memilih untuk tidak peduli, meyakini bahwa segala sesuatu akan kembali seperti semula. Sekarang, setelah mengetahui pengkhianatan Reinaldi yang begitu jelas, Alula merasa sangat bodoh. "Aku sudah memberikan segalanya, namun ternyata hanya menjadi pelarian baginya." Pikirannya berkelana, menyusuri setiap kejadian, mengingat setiap kali ia mengorbankan dirinya, baik itu pekerjaan yang ditinggalkannya demi menjadi istri yang baik, atau waktu yang dihabiskannya untuk mendukung Reinaldi meskipun dia tahu ada sesuatu yang hilang. Perasaan malu dan kecewa menghantui Alula. "Kenapa aku begitu buta? Kenapa aku tidak bisa melihat bahwa dia tidak pernah benar-benar mencintaiku?" pikirnya sambil menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang gelap. Setiap tawa, setiap kata manis yang pernah Reinaldi ucapkan kini terasa seperti sebuah sandiwara, sebuah permainan yang dimainkan dengan sangat licik. Alula merasa hatinya hancur, dan segala usaha yang ia lakukan untuk membangun keluarga, untuk memberikan yang terbaik untuk pernikahannya, kini seperti sia-sia. "Mungkin aku terlalu percaya pada kata-katanya. Mungkin aku terlalu berharap pada seseorang yang sebenarnya tidak pernah ada untukku," Alula berpikir. Namun, meskipun perasaan itu begitu kuat, ada sedikit cahaya yang mulai muncul di dalam dirinya. “Aku masih punya diriku sendiri,” pikirnya. “Aku bukan hanya istri Reinaldi. Aku punya kekuatan untuk bangkit, untuk menemukan kembali siapa diriku, tanpa bergantung pada siapa pun.” Dengan perasaan yang campur aduk, Alula tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Ia harus melewati proses ini, menghadapi kenyataan yang pahit, dan mulai menyembuhkan diri. Ini adalah saatnya bagi Alula untuk menemukan kembali kebahagiaan dan harga dirinya, meskipun jalan itu penuh dengan luka yang dalam. Apa yang akan Alula lakukan selanjutnya untuk membangun kembali hidupnya? Beberapa waktu sebelumnya.... Kepingan ingatan itu datang begitu saja di benak Alula, saat ia duduk sendiri di kamar dengan tatapan kosong. Ia ingat betul malam itu—tubuhnya menggigil karena demam tinggi, kepala terasa berat, dan ia nyaris pingsan ketika mencoba mengambil air minum di dapur. Dengan tangan gemetar, ia menghubungi Reinaldi berkali-kali. “Mas… angkat, tolong…” lirihnya sambil menahan sakit di perut dan kepala. Tapi tidak ada jawaban. Telepon hanya berdering, lalu mati. Deringan berikutnya langsung masuk ke pesan suara. Ia mencoba lagi… dan lagi… namun suaminya tak menjawab panggilannya. "Alula... aku sibuka banget." Kata-kata itu yang selalu terngiang-ngiang di telinganya. Flashback off Akhirnya, di tengah rasa nyeri dan kekecewaan yang mendera, ia membuka media sosial. Saat itulah jantungnya seperti berhenti berdetak. Dengan tangan gemetar dia coba untuk membuka postingan Yasmin dimana ada foto dia berpelukan dengan Reinaldi dan diposting di i********: miliknya. Reinaldi… sedang tersenyum bahagia, memegang tangan seorang wanita, yaitu Yasmin. Di belakang mereka tertulis dekorasi besar: "Happy Birthday, My Queen." Foto-foto mereka tersebar, dengan caption penuh cinta dan emotikon hati. Alula menatap layar ponselnya dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca. Rasa sakit di tubuhnya tak sebanding dengan tusukan luka di hatinya. "Ternyata, aku yang bodoh, dan menutup mata dan telingaku, menutup diri dari dunia luar." Alula terisak, bibirnya bergetar sambil memegang dadanya yang terasa sesak Di tengah malam yang dingin dan sunyi, Alula hanya bisa memeluk dirinya sendiri sambil berbisik, “Ternyata… aku tak pernah menjadi rumah bagimu.” Alula menarik napas panjang, menahan sesak yang menyeruak dari dalam dadanya. Saat itu, ia masih begitu polos. Ia mencoba berpikir positif, berprasangka baik, dan memaklumi semuanya. “Mungkin Mas Reinaldi memang sedang sibuk… mungkin ada urusan proyek yang tak bisa ditinggalkan.” Begitu ia meyakinkan dirinya sendiri sambil menggigil di atas ranjang. Ia bahkan sempat mengetik pesan, “Mas, nggak apa-apa kalau belum bisa pulang sekarang. Aku cuma butuh tahu kalau Mas baik-baik saja.” Tapi pesan itu tak pernah dikirim. Ia hapus kembali, merasa tidak mau mengganggu. Betapa naifnya ia kala itu. Menutup mata dari kebenaran yang menyakitkan. Bahkan ketika tubuhnya melemah dan pikirannya sudah ragu, hatinya masih membela Reinaldi. Dan kini, setelah semua pengkhianatan itu terungkap, Alula sadar—bukan karena dia bodoh, tapi karena dia terlalu tulus mencintai. ~~~~~~~~~~~ Ini salah satu kisah dalam hidup Alula selama menjalani rumah tangga bersama Reinaldi suaminya. Kejadian yang mungkin takkan pernah diketahui oleh Alula . 3 tahun lalu diawal pernikahan mereka. Malam itu, Alula yang kelelahan setelah perjalanan panjang dan agenda bulan madu yang padat, tertidur lebih awal di suite hotel mereka. Ia tertidur dengan senyum kecil di bibirnya, mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan baik. Bahwa cintanya pada Reinaldi akan menemukan tempatnya yang layak. Namun kenyataan berkata lain. Di lorong hotel yang sama, hanya beberapa lantai di bawah kamar Alula, Yasmin membuka pintu kamarnya sambil tersenyum penuh kemenangan. Reinaldi berdiri di hadapannya, mengenakan hoodie gelap, menyelinap keluar dari kamar bulan madu tanpa jejak. "Sudah tidur?" tanya Yasmin dengan nada manja. Reinaldi mengangguk pelan, " iya, tenang saja." Matanya sempat terbayang wajah damai Alula yang tertidur. Tapi detik berikutnya, ia melangkah masuk ke kamar Yasmin, mengunci pintu di belakangnya. "Iya, dia pasti sudah terlelap, sekarang." Sementara itu, di lantai atas, Alula menggeliat dalam tidurnya, tanpa tahu bahwa di malam yang seharusnya jadi awal bahagia, suaminya tengah memeluk wanita lain. ~~~~~~~~~` Flashback off Pagi itu, Alula masih tertidur karena tak bisa tidur semalam. Tak ada sarapan dan tak ada pakaian yang akan dipakainya ke kantor. "Alula... mana pakaianku, dan juga sarapan hahh!" Reinaldi berteriak. "Euugh, aku sudah tidak mau membuat sarapan, aku bukan pelayan, sebaiknya kamu minta sama Yasmin." Reinaldi mendengus kesal. " Apa? Jadi kamu engga mau patuh sama suami kamu lagi, begitu?" "Aku sudah 3 tahun patuh dan percaya padamu tuan Reinaldi, sekarang, aku tak mau lagi menjadi wanita yang naif dan bodoh!" Alula menatap tajam pada Reinaldi, entah dia kini mendapat keberanian darimana, hingga Reinaldi pun terdiam tak mampu melawan kata-kata Alula. "Oke, kita akan bercerai jika itu maumu!" Reinaldi berlalu pergi. "Dia pikir... aku akan memohon padanya? lihat saja Alula, setelah lepas dariku, kamu bisa apa?" Reinaldi mencebikkan bibirnya sambil mengangkat bahunya. bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN