Keesokan harinya, Alula masih terdiam di dalam rumah, berusaha merangkai kembali pikirannya yang berantakan. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan bingung, kecewa, dan hancur. Meskipun begitu, ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak terburu-buru membuat keputusan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin ia bisa memaafkan Reinaldi, bahwa mungkin semuanya masih bisa diperbaiki jika mereka berdua berbicara dengan jujur dan saling mengerti.
Namun, saat Alula sedang termenung di ruang tamu, pintu rumahnya tiba-tiba diketuk keras. Ia mengangkat kepala, merasa sedikit terkejut, karena ia tidak mengharapkan siapa pun datang pagi itu. Ketika ia membuka pintu, seorang pria berpakaian rapi berdiri di depan rumahnya, memegang amplop putih yang tampaknya sangat resmi.
“Selamat pagi, Nyonya Alula,” pria itu berkata dengan suara yang tenang namun tegas. “Saya dari kantor pengacara. Ini ada surat yang harus disampaikan kepada Anda.”
Alula merasa jantungnya berdebar. Ada yang aneh dengan kedatangan pria ini. Tanpa berkata banyak, ia menerima amplop itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Di dalam amplop tersebut, ia menemukan sebuah surat yang segera membuatnya terkejut.
"SURAT PERMOHONAN PERCERAIAN"
Nama Reinaldi tercetak dengan jelas di bagian atas surat itu, dan Alula merasa seakan dunia di sekelilingnya tiba-tiba berhenti berputar. Ia membaca isi surat itu dengan terbata-bata. Surat tersebut menjelaskan bahwa Reinaldi telah mengajukan permohonan perceraian atas dasar perbedaan yang tidak dapat diselesaikan lagi dalam rumah tangga mereka, serta menyebutkan alasan ketidakcocokan di antara mereka, yang mungkin mengacu pada pengkhianatan yang baru saja ia temukan.
“Jadi ini keputusanmu, Reinaldi?” Alula bertanya dalam hati, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Suaminya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, justru kini menyerah begitu saja. Ia tidak pernah menduga bahwa ia akan menerima surat perceraian ini dengan cara yang begitu tiba-tiba dan begitu dingin.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alula duduk di sofa, memandangi surat itu seakan tidak percaya dengan kenyataan yang ada. Ia berusaha menahan tangis, berusaha tetap tegar, tetapi hatinya terasa hancur. "Apakah dia benar-benar memilih untuk mengakhiri semuanya tanpa ada kesempatan untuk memperbaiki?"
Namun, dalam kedalam hatinya, meskipun rasa sakit itu begitu dalam, ada bagian dari dirinya yang merasa lega. Mungkin, ini adalah akhirnya, dan mungkin ini adalah jalan yang harus ia tempuh untuk menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari. Meskipun begitu, proses untuk bisa menerima kenyataan ini masih terasa sangat sulit.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," Alula berkata pelan, mencoba berbicara pada dirinya sendiri. "Aku harus bisa bangkit, meski aku terluka. Aku harus melanjutkan hidupku."
Dengan mata yang berkaca-kaca, Alula menatap surat perceraian itu sekali lagi, lalu memutuskan untuk menyimpannya dengan rapat-rapat, memberi waktu pada dirinya untuk berpikir. Namun, satu hal yang pasti, ia tahu ia tidak akan membiarkan ini menghancurkan dirinya lebih lama lagi.
Apa yang akan Alula lakukan selanjutnya untuk melanjutkan hidupnya setelah menerima kenyataan ini?
Alula duduk di ruang tamu, memandangi surat perceraian yang kini tergeletak di meja. Ia merasa segala sesuatu yang ia percaya tentang pernikahannya, tentang masa depannya bersama Reinaldi, kini runtuh begitu saja. Namun, yang lebih menyakitkan adalah alasan di balik perceraian itu. “Tidak ada kecocokan lagi… dan tidak memiliki keturunan…” Alula mengulang kata-kata itu dalam hati, merasa seolah ada batu besar yang menghempas dadanya.
Setiap kata dalam surat itu seperti sebuah jarum yang menancap dalam hatinya, terutama ketika ia membaca bagian yang menyebutkan bahwa
Reinaldi merasa tidak bisa melanjutkan hubungan mereka karena tidak ada keturunan yang lahir dari pernikahan mereka. Semua harapan yang ia tanamkan untuk membangun keluarga bersama suaminya kini terasa sia-sia.
Meski mereka berdua sudah berusaha, kenyataan tentang ketidakmampuan memiliki anak selalu menjadi masalah yang terus menghantui. Reinaldi seolah merasa bahwa tanpa keturunan, pernikahan mereka tidak ada artinya lagi.
Namun, yang paling mengiris hati Alula adalah kenyataan bahwa keluarga Reinaldi, terutama mertua, tampaknya menerima Yasmin—mantan kekasih Reinaldi—dengan tangan terbuka. Yasmin yang selalu hadir dalam bayangan Alula, bahkan sebelum ia mengetahui hubungan mereka lebih dalam, kini menjadi bagian dari keluarga besar yang seharusnya menjadi tempat perlindungan Alula.
“Mereka malah lebih memilih Yasmin, ya?” pikir Alula dengan perasaan yang hancur. “Aku yang sudah berusaha begitu keras, bahkan rela mengorbankan pekerjaan dan hidupku, ternyata tidak cukup berarti.”
Alula merasakan bagaimana kesendirian mulai menyelimutinya. Setelah bertahun-tahun berjuang untuk menjadi istri yang baik, menjaga rumah dan suami, bahkan tanpa seorang anak sebagai bukti cinta mereka, ternyata ia tidak cukup. Keluarga Reinaldi, yang seharusnya mendukung dan memahami, malah menerima Yasmin begitu saja, seperti tidak ada masalah sama sekali.
Dengan perasaan yang campur aduk, Alula berusaha menahan tangis. Ia merasa seolah semua yang telah dia jalani bersama Reinaldi adalah sebuah kebohongan besar. Mertua yang dulu selalu bersikap hangat kini berubah, tampaknya lebih mendukung hubungan Reinaldi dengan Yasmin daripada berusaha memperbaiki hubungan keluarga mereka.
Namun, meskipun ia merasa begitu terluka, Alula tahu bahwa hidupnya tidak bisa berakhir di sini. Ia tidak bisa terus terjebak dalam kenangan dan rasa sakit ini. "Aku harus bisa melanjutkan hidupku, untuk diriku sendiri." Ia berkata pelan pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang terluka.
Mungkin ini adalah waktu untuk Alula mencari kembali jati dirinya, untuk memahami bahwa kebahagiaan tidak harus datang dari seseorang yang telah mengkhianatinya, dan bahwa kebahagiaan sejati datang ketika ia bisa menerima dirinya sendiri, meskipun dunia di sekitarnya terasa runtuh.
Apa yang akan Alula lakukan selanjutnya? Akan kah ia memilih untuk berjuang melawan rasa sakit ini dan mencari kembali kedamaian dalam hidupnya?
Pada hari ulang tahun ibu mertuanya, Alula datang dengan hati yang penuh harapan, membawa sebuah kue sederhana yang ia buat dengan tangannya sendiri. Ia ingin menunjukkan bahwa meskipun situasinya sulit, ia masih peduli dan ingin menjadi bagian dari keluarga.
"Selamat ulang tahun bu, maaf aku tidak bisa memberikan apa-apa,"
Namun, ketika ia tiba di rumah keluarga Reinaldi, suasana yang terjadi sangat berbeda dari yang ia bayangkan.
Ibu mertuanya menyambut Alula dengan senyuman, meskipun terasa sedikit terpaksa. Reinaldi juga tampak ada di sana, namun ia tidak memberikan perhatian lebih pada Alula. Yang membuat hati Alula semakin terasa kosong adalah kehadiran Yasmin.
"Haloo... maaf aku terlambat."
Wanita yang selalu menjadi bayang-bayang dalam hidupnya itu datang dengan begitu anggun, membawa sebuah tas mewah yang sepertinya menjadi perhatian utama semua orang di ruangan itu.
"Yasmin..." Alula berbisik dalam hati, merasa bahwa seketika itu juga, perhatian semua orang beralih padanya. Ketika Yasmin masuk, semua mata tertuju padanya. Ibu mertuanya terlihat lebih senang menyambut Yasmin, sementara Alula hanya bisa berdiri di sudut ruangan, merasa seolah ia hanyalah pelengkap yang tidak pernah diinginkan.
"Hai, Yasmi-in." Ibu Reinaldi terlihat sangat antusias menyambut Yasmin yang seorang model.
Alula tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan rasa sakit di hatinya," ternyata, ibu mertuaku juga tidak menginginkan kehadiranku." Alula dalam batinnya, namun semakin lama ia berada di sana, semakin terasa jelas bahwa keberadaannya tidak dihargai.
Mertua dan suami yang seharusnya mendukungnya malah memberikan perhatian lebih pada Yasmin, yang memang tampak lebih sempurna di mata mereka.
Setiap langkah Yasmin terasa seperti langkah kemenangan di hadapan Alula, meskipun ia tahu di dalam hatinya bahwa ia telah memberikan segala yang terbaik untuk pernikahan ini.
Alula tidak bisa menghindari kenyataan bahwa Yasmin memang lebih diterima oleh keluarga Reinaldi. Keberadaannya di situ seolah menjadi bayangan yang tidak ada artinya.
Bahkan ibu mertuanya lebih terkesan dengan tas mewah yang dibawa Yasmin daripada kue sederhana yang Alula bawa dengan penuh perhatian. "Apakah aku benar-benar tidak berarti apa-apa lagi?" pikir Alula dengan perasaan yang semakin dalam.
Reinaldi, yang melihat kehadiran Yasmin, hanya tersenyum tipis, tidak memperlihatkan rasa bersalah sedikit pun. Ia bahkan tidak mencoba untuk memberikan perhatian pada Alula yang seharusnya menjadi istrinya. "Aku memang sudah tidak ada di hatinya lagi," pikir Alula, sambil berusaha menahan tangis yang hampir keluar.
"Tante , maaf aku hanya bisa kasih tas untuk hadiah ulang tahun tante."Yasmin dengan suara manjanya.
"Waah, ini hadiah yang istimewa, pasti mahal kelihatan dari kemasannya."
Kehadiran Yasmin yang begitu mendominasi semakin membuat Alula merasa terpinggirkan. Ia merasa asing dalam rumahnya sendiri, seolah bukan lagi menjadi bagian dari keluarga yang seharusnya mendukung dan menghargainya.
"Maaf, kalau begitu saya pamit, sepertinya kehadiran saya saat ini tidak diharapkan." Dengan suara lirih Alula melangkah menuju ke pintu keluar. Reinaldi hanya menatap sekilas punggung Alula. Dia tak berusaha untuk mengejarnya.
Hari yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan, malah menjadi sebuah pengingat betapa ia sudah kehilangan tempat dalam kehidupan suami dan keluarganya.
Dengan hati yang berat, Alula memutuskan untuk pergi. Ia tidak ingin terjebak dalam suasana yang begitu penuh dengan ketidaknyamanan.
Saat ia melangkah keluar, ia merasa berat, tetapi di sisi lain, ada sedikit rasa lega. Meskipun hari itu begitu menyakitkan, ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama untuk melepaskan diri dari semua yang mengikatnya selama ini.
"Aku harus pergi, untuk diriku sendiri," Alula berkata pada dirinya sendiri, berusaha untuk menenangkan hatinya yang terus dipenuhi rasa sakit.
Langkah pertama sudah diambil, dan meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi, Alula tahu bahwa dia harus menemukan jalannya kembali, jauh dari pengkhianatan dan penghianatan yang telah mengiris hatinya.
Alula berjalan menyusuri trotoar, di tengah kota. Banyak kendaraan lalu lalang. Sudah tak terasa berapa jauh dia berjalan. Dengan tatapan kosongnya, Alula, berjalan tanpa melihat sekelilingnya.
"Brugh." Tubuh Alula menabrak seseorang.