Sejak beberapa jam yang lalu, Raga masih tidak berniat menghidupkan ponsel, dan saat ini dia tengah memandangi benda kotak itu, menekan power on.
Kepalanya langsung berdenyut.
Ringtone pesan timpang tindih berbunyi seperti tidak ada hentinya. Raga menyelipkan benda itu ke bawah bantal. Setelah beberapa saat, dia membiarkan benda itu berdengung sembari melihat barang-barang yang dibelikan Salma untuk anaknya. Akhirnya dering itu berhenti.
Benar apa yang dikatakan Salma, selain satu pesan normal, pesan lain isinya hanya 'P'. Tidak masuk akal.
Salma memang cewek keras kepala sejak mereka kecil. Dia bukan tipikal cewek cantik dan pintar, yang bisa dibanggakan darinya cuma sifat gigih dan tidak masuk akalnya. Apa Raga pernah menyukainya? Mungkin; ya—dulu. Salma pernah dengan gila menyatakan cinta pada Raga dengan caranya sendiri. Salma menembaknya dengan cara paling aneh, yaitu teriak tanpa malu di depan gerbangnya saat Raga mengantarkan buku PR yang sengaja Salma berikan pada Raga untuk dikerjakan; PR Olahraga.
Tch. Salma itu tidak suka Olahraga sejak dulu. Saat dia mengajak Raga untuk jogging di taman, wajar saja Raga curiga.
Salma memang aneh; sulit ditebak.
Raga bergegas mengambil bajunya saat mengingat bahwa sang ibu menyuruhnya untuk pulang. Melihat barang-barang pemberian Salma, dia akhirnya membawanya juga. Pada awalnya dia tidak ingin memberikan itu pada Reksi, tapi rasanya jahat sekali. Saat dia sampai rumah satu jam kemudian, Nindi sudah ada di dalam, dia adalah mantan istrinya, ibu kandung Reksi.
Sekarang Raga tahu kenapa dia diminta pulang.
"Reksi," panggilnya, anak kecilnya berdiri di tembok melihat ke arahnya. Raga menyerahkan barang-barang pemberian Salma. Mata Reksi langsung berbinar.
Nindi muncul membantu membawa barang-barang itu. "Eh, tumben ayah beli banyak kado, buat Reksi ya."
Nampaknya Reksi tidak terlihat akan meralat dugaan itu, dia hanya tersenyum. Raga pun diam. Membiarkan Nindi membereskan semuanya, sementara dia menuju ke ruangan lain. Dia melihat ibunya sedang memasak di dapur, tercium aroma sup gurih di sana.
Raga mengambil gelas. "Kenapa Mama nyuruh aku pulang?"
Ibunya tidak menoleh saat menjawab, "Ada yang mau diomongin Nindi sama kamu."
Oh ya, Nindi memang tidak pernah tahu kalau Raga sudah membangun rumah besar yang selama ini menjadi tempatnya untuk tidur. Kalau dipikir-pikir, Salma adalah orang yang pertama kali dia bawa ke sana.
Raga bersedekap. "Jawaban aku tetep sama," katanya. "Memangnya Mama belum bilang?"
Sang ibu menggeleng. "Dia mau ngomong langsung sama kamu."
Raga menghela napas, dia kembali ke ruang tengah di mana Nindi tengah mengobrol dengan Reksi. Anak itu memang lebih hidup jika ada Nindi di sana, dia bisa berceloteh tanpa ada rasa gelisah sedikit pun, berbeda saat anak itu bersama Raga. Mungkin jalan terbaik untuk mereka saat ini adalah berpisah? Jika Reksi lebih nyaman dengan Nindi, bukankah itu baik?
Akan tetapi kenapa dia dulu nekat mengambil hak asuh Reksi?
Nindi melirik ke arahnya, Raga mendekat. "Ayo ke depan, kita ngobrol."
Setelah berbasa-basi singkat dengan Reksi, Nindi menyusulnya ke gazebo yang ada di sudut perkarangan rumah. Daun kering jatuh di meja semen satu demi satu dihantar angin. Keduanya tidak langsung berbicara—seperti tujuan awal. Raga memilih menghisap rokoknya.
"Aku tanya Mama kemarin kamu pergi sama Reksi ya?" Nindi membuka percakapan, menyelipkan sehelai rambutnya ke belakang telinga dengan ekspresi senang.
Dulu Nindi adalah orang yang begitu disayangi Raga, mereka pernah berkenalan secara tak langsung di sebuah arena billiard. Seorang teman mengenalkannya padanya; waktu itu Nindi adalah cewek sopan, namun sering memakai rok yang ketat dan pendek.
Berapa tahun sejak itu?
"Katanya dia butuh kamus, jadi aku ajak ke toko buku," jawab Raga.
Nindi terperangah. "Trus sekalian beliin dia barang-barang itu? Tipe kamu sekarang feminin ya."
Itu semua barang pemberian Salma, tapi Raga tidak tertarik untuk menjelaskannya. Jadi dia hanya mengangkat bahu.
"Reksi suka banget sama hadiah itu." Nindi menghela napas dan pandangannya menerawang jauh. "Mungkin aku juga beliin untuk dia nanti."
"Nggak usah. Simpan uang kamu untuk keperluan yang lebih penting."
"Kamu selalu begitu, Ga."
Raga melirik Nindi yang tengah menjalin kedua tangan dengan canggung.
Keduanya terdiam kembali. Kali ini lebih lama dari yang sebelumnya, rokok di apitan mulut Raga nyaris terbakar habis. Dia tak bisa membuka percakapan, tapi ingin ini segera selesai.
"Aku boleh nginep untuk malem ini?" tanya Nindi tiba-tiba.
"Kenapa nggak boleh?"
Raga kaget saat tiba-tiba Nindi memegang tangannya. "Aku mau bicara serius sama kamu. Ini soal Reksi."
Raga ingin berkata bahwa Nindi tidak perlu membawa Reksi dalam percakapan mereka demi keuntungannya sendiri, tapi dia merasa itu terlalu jahat, jadi Raga diam saja.
"Kasih kesempatan buat aku, Ga. Reksi nggak bisa tanpa aku."
Memang iya. Reksi selama ini tidak bisa tanpa ibu kandungnya, anak itu selalu menunjukkan wajah takut dan ragu jika melihat Raga ketimbang Nindi. Mata telanjang siapa pun bisa melihatnya.
Tapi, apa Nindi lupa yang pernah dilakukan orang tuanya dulu? Setelah bertahun-tahun kenapa dia muncul tiba-tiba meminta hak Reksi lagi?
"Bukannya kamu udah punya pacar?" sindir Raga. "Cewek secantik kamu gampang cari cowok lain, Ndi."
"Kami udah putus."
"Makanya kamu balik ke aku?"
"Bukan gitu—"
"Nindi, orang tua kamu itu nggak suka sama aku. Sebenernya nggak perlu ada obrolan apa-apa lagi. Setelah Reksi lahir, kamu bahkan nggak pernah nyusuin dia. Jadi percuma kalau kepedulian kamu dateng sekarang, semuanya udah terlambat."
Air muka Nindi menunjukkan bahwa dia terluka, matanya berkaca-kaca. "Kamu nggak tau apa yang terjadi sama aku saat itu, Ga."
"Aku tau, makanya aku ngomong gini."
Raga juga ingin menjelaskan bahwa setelah Nindi melahirkan, orang tuanya melarang Raga untuk melihatnya dan meminta untuk membawa Reksi pergi, Reksi besar tanpa kasih sayang seorang ibu, tanpa meminum asi ibunya sendiri. Kalaupun sekarang mereka terlihat begitu dekat dan akrab itu karena sudah setahun sejak kepulangan Raga karena Nindi mulai kembali mendekati Reksi. Itulah alasan Raga meminta untuk mutasi kerja ke Jakarta saat itu juga.
Nindi memang ibu kandung Reksi, maka saat itu—setahun yang lalu—Raga hanya bisa memantau, tanpa bisa mencegah.
"Hubungan kita lahir dari sesuatu yang nggak sehat, Nindi. Reputasi aku udah buruk di mata orang tua kamu," tambah Raga. "Kamu boleh mampir atau nginep di sini kalau mau ketemu Reksi, aku nggak ngelarang."
"Tapi orang tuaku nggak berhak atas pilihan aku, apa pun itu."
Raga tertawa remeh. "Kalau aja kamu ngomong gini sembilan tahun lalu."
Kesiap, Nindi meremat tangan Raga erat-erat. "Ga, aku bisa jelasin soal itu. Aku bener-bener nggak berkutik. Aku bakal jelasin semuanya secara detil, setelah itu kamu berhak mutusin semuanya, tolong kasih aku kesempatan untuk ngomong."
Raga menghela napas, rokoknya habis terbakar, sekarang dadanya yang meletup-letup. Dia memejamkan mata dan mengangguk untuk menyanggupi permintaan itu.
"Tapi kamu harus janji nggak akan nyela omongan aku," ujar Nindi. Raga angkat bahu. Lalu Nindi memulai, "Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu atas apa yang terjadi di antara kita, waktu itu kita bener-bener konyol."
Raga melirik jemarinya yang masih ada di tangan Nindi. Dia mengiyakan ucapan mantan istrinya itu dalam hati. Mereka memang konyol saat muda, melampiaskan kemarahan tanpa melihat situasi yang akan terjadi di masa depan. Sekarang cuma penyesalan yang terjadi di benak keduanya.
Nindi menatapnya dengan penuh harap, seolah-olah menginginkan jawaban, tapi barusan Nindi bilang tak ingin disela.
Oh ya, tapi masalah yang lalu bukan sepenuhnya salah Nindi, kan.
"Aku tau kalau kamu pasti maafin aku," kata Nindi, menduduk. "Kamu itu orang baik, Ga."
Si b***t ini baik? Raga tertawa remeh.
"Sebelum Reksi lahir, ayahku udah nyuruh aku untuk ninggalin dia, Ga," Nindi menambahkan cepat-cepat, "tapi waktu itu aku nggak berkutik, aku serius. Aku nggak bisa apa-apa. Bahkan ayah ancam bakal usir aku dari rumah kalau aku nggak nurutin itu."
Raga tak berniat menyela. Terlepas dari Nindi melarangnya, tanpa dilarang, Raga pasti tidak akan menyela.
Usia kandungan Nindi saat itu sudah masuk bulan ketiga saat mereka ketahuan, ayah Nindi memang sempat menyuruhnya untuk menggugurkan bayi itu, tapi Raga menolak. Dia juga diancam saat mengutarakan maksudnya. Hanya sampai Reksi lahir, dan Raga harus menjauh dari Nindi. Jadi sebenarnya Raga telah mengerti kurang lebih.
"Nah, pas Reksi lahir aku langsung keluar dari rumah sakit, walaupun saat itu kondisi aku belum memungkinkan. Ayah sampai harus tanda tangan Surat Pulang Paksa, karena dia bersikeras bawa aku pergi."
Fakta ini membuat Raga membelalak. Gila. Orang tua macam apa ayahnya itu?
"Aku dirawat di rumah selama seminggu. Aku dikurung. Dua hari sebenernya aku udah lumayan pulih." Nindi menghela napas. Genggamannya menguat tanpa sadar. "Nggak ada yang ajak aku ngobrol selama itu, aku ngerasa asing di rumah sendiri, kayak dikucilin. Aku sempat punya pikiran untuk kabur, aku bahkan punya niat untuk mati. Tapi ... aku gak seberani itu, Ga. Hidup aku udah hancur. Aku kangen kamu, akses ke kamu diputus. Aku bisa apa, Ga?"
Akhirnya Nindi sesenggukkan. Air matanya mengalir seperti keran air dan ini memang menyayat Raga.
Dia tidak tahu kenyataan semacam ini.
"Dua minggu setelahnya aku dikirim ke Malang, tempat nenek. Aku terpaksa ngelanjutin kuliah di sana, dan kerja sebagai konsultan bisnis." Jeda, genggaman Nindi terlepas, sementara tangan mereka sudah basah karena keringat dingin. "Mungkin sekitar tiga tahun aku kerja setelah lulus kuliah. Aku udah bener-bener lepas dari dunia modeling. Cita-citaku juga hancur."
Oh iya, Nindi dulu model. Dia sempat terkenal di media sosial dan sering dikontrak untuk iklan-iklan produk di sana.
Raga kaget saat tangannya ditangkup lagi. "Tapi aku nggak nyalahin kamu karena itu, Ga. Kegagalan aku bukan karena kamu. Seaindainya dulu aku bisa nahan ...."
Lalu dia menunduk sedih.
"Waktu itu," katanya melanjutkan, "sambil kerja aku buka bisnis kecil. Nggak terlalu sulit karena aku udah paham soal bisnis dan pasar. Paling gampangnya aku langsung ke bisnis pakaian, dan buka butik kecil di Malang. Bisnis itu lumayan berkembang, dan aku optimis—bahkan aku udah punya pegawai sekarang. Optimisnya aku itu supaya saat aku ketemu kamu lagi, aku bisa buktiin kalau aku udah berdiri di atas kaki yang kokoh, Ga."
Mata Nindi menatap lurus pada Raga dengan harapan besar yang meluap-luap. Senyumnya yang cantik sampai pada matanya yang basah. Raga menggigit bibirnya tanpa sadar. Dia goyah—yang kali ini karena sebuah rasa yang muncul tiba-tiba.
Masih belum bisa dijelaskan.
"Aku udah buka butik juga di Jakarta."
Senyum yang diberi Nindi memang sebuah kepuasan. Raga mengalihkan matanya. Menarik tangan hati-hati.
Nindi menunduk kecewa, tapi kemudian dia merasa sebuah tepukan di kepalanya.
"Hebat."
Air mata Nindi mengalir lagi. Bukan sedih, tapi puas. Dia mengangguk.
"Orang tua kamu?" Raga bertanya, nadanya tidak sesuram sebelumnya.
"Selama aku di Malang, aku nggak kasih kabar apa pun ke mereka. Ini bentuk pengalihan diri aku."
"Kamu benci sama orang tua kamu?"
Nindi tersenyum kecil, Raga memang bisa membaca ke seluruhan dirinya. Dia menjawabnya dengan kedikkan bahu. "Di sini aku tinggal di komplek, aku belinya nyicil lho."
"Oh ya?" Meski Raga takjub, sebenarnya dia juga sedih karena Nindi harus memasang tembok besar pada orang tuanya sendiri. "Jangan boros uang."
"Hm, makanya aku sebenernya udah ngira kamu curiga karena kamu selalu bilang gitu, kupikir kamu tau soal aku." Nindi menghela napas dan melirik Raga. Faktanya dia hampir tidak pernah meninggalkan wajah Raga. "Apa kamu pernah cari tau soal aku sedikit pun, Ga?"
Jawabannya adalah; Pernah.
Tapi tidak seterusnya Raga melakukan itu, dia menyerah setelah tidak mendapatkan informasi apa pun. Raga masih sangat muda dan tidak ada yang bisa dilakukannya waktu itu.
Nindi menghela napas lagi. "Nggak mungkin, ya."
Raga tidak meralat apa pun.
"Trus?"
Raga menaikkan alisnya. "Trus apa?"
Apa harus diperjelas lagi? Raga pasti hanya mengulur waktunya.
"Gimana keputusan kamu? Kamu mau kasih aku kesempatan?" Nindi menatapnya dengan harapan yang sama.
Satu batang rokok keluar lagi dari kotaknya, lalu dibakar di ujung, uapnya mengembus bersama angin.
Raga hanya menerawang ke depan.
tbc.