Ha?
Gila! Apa ini?
Untuk sesaat Salma linglung. Itu memang kalimat ajakan menikah, tapi otaknya tidak bisa memproses dengan baik. Maksudnya Danu mengajaknya menikah? Mereka baru kenal kemarin.
"Salma, aku serius," kata Danu, tangannya meraih jari Salma kembali, kali ini Salma tidak bisa berkutik karena otaknya macet.
Musik yang mengalun itu lagu cinta; yang menceritakan seorang lelaki pemuja kesempurnaan wanitanya, tidak ada yang melampaui keindahan itu selain dia—katanya. Momen yang pas, seakan-akan keadaan bekerja sama dengan Danu. Orang-orang seberang meja mereka melirik.
Salma ... lalu teringat Raga.
"Maaf, Danu." Tangannya ditarik.
"Kenapa, Sal, aku bener-bener minta maaf kalau soal—"
"Bukan," potong Salma, "gue suka sama orang lain."
Yaitu Raga.
Danu mengendurkan bahunya yang kaku pada sandaran kursi kayu. Tawanya terdengar. Pelan dan mencekik. "Apa dia suka sama kamu juga?"
"Well, entah."
Tangan Salma meraih minuman soda biru yang menggiurkan di meja. Diteguknya perlahan. Rasanya segera menusuk hidung. Tapi ini jenis rasa yang enak.
Danu meliriknya bersikeras. "Kalau dia nggak suka sama kamu, apa aku boleh maju?"
Salma meraih ponsel, mengetik pesan asal-asalan sambil memikirkan siasat untuk menolak Danu tanpa menyakitinya. Dia benar-benar mengetikkan kata hatinya di keypad. Cepat seperti seorang ahli.
"Salma, kamu denger aku?"
"Eh?"
Jemarinya terpeleset dan menekan tanda kirim. Otaknya masih terdistraksi akan pikiran; cara menolak Danu dan mengakhiri ini dengan tuntas tanpa menyakitinya.
Oh, iya, dia mengirim pesan.
Lalu kedua matanya membelalak, merapalkan pesan kalimat yang terkirim pada orang yang tak seharusnya.
Gimana cara nolak lamaran tanpa nyakitin hati.
Read. Raga.
"Mampus!"
"Apanya yang mampus?" Danu menyelidik.
Salma menekan power off pada ponsel dan menaruh ponsel dengan bunyi yang keras. Dia begitu t***l untuk berpikir kalau pesan bisa dihapus dan dia bisa memberi alasan.
Pesannya tidak masalah, tapi penerima pesan tidak seharusnya ....
Ponselnya dihidupkan kembali. Butuh waktu dua menit bagi mesin untuk ready. Danu masih sibuk dengan penjelasan masalah kemarin, tapi Salma dengar Danu juga berharap kalau mereka bisa berteman untuk mengenal satu sama lain dulu jika itu yang terbaik.
Bagi Salma yang terbaik itu adanya Karina di sini.
Dia menekan tombol calling Karina Millenia. Beberapa kali dicoba akhirnya diangkat.
"Di mana, Rin?" Salma berkata cepat-cepat. "Gue mau balik."
Mendengar jawaban di seberang, Salma melirik Danu yang bungkam seribu tanya.
"Oke." Telepon terputus. Akhirnya dia tahu kalau Karina memang melipir pulang. "Danu, maaf, gue harus pulang."
"Tapi, Sal—"
Salma berdiri dan memberikan senyum. Danu menghentikan tubuhnya untuk bangun, lalu mengangguk pasrah. Kesempatan itu digunakan Salma untuk cepat pergi, sudah gelap, hujan juga reda. Dia memanggil taksi online untuk pulang.
Rumahnya sudah sepi saat dia tiba. Hanya ada sang ayah yang menonton siaran bola dengan volume yang begitu rendah. Salma segera menyelinap duduk di sebelah ayahnya, menghela napas.
"Capek?"
Salma mencium tangan ayahnya sebelum mengangguk. "Cari suami itu capek."
Sang ayah tertawa. "Emang cari suami di mana?"
"Nyari di sepanjang jalan, kali aja ada yang kecantol."
Ayahnya meraih puncak kepala anak gadisnya, mengacak-acak rambut hitam itu.
Hidung Salma gatal, pelupuk matanya penuh, ada yang ingin tumpah ruah. "Uh, kenapa sih?"
"Jodoh itu bakal datang kalau kamu udah siap."
"Aku udah siap."
Siap mau jadi suami Raga. Salma tidak melanjutkan basa-basi. Meluncur ke kamar dan berbenah atribut. Selimut sudah mengundangnya untuk bercinta, saatnya dia mengusir pikiran-pikiran jahat pergi. Tapi sebelum itu dia harus mengecek ponsel.
Pesan sudah ter-read.
Tak ada balasan.
***
Gedung sekolah dengan dinding mengelupas ditatap dengan hampa.
Raga tengah berdiri dengan gaya angkuh (kalau dipandang oleh mata yang iri) bersandar di depan pintu mobil. Sambil merokok. Untungnya dia parkir di bawah pohon raksasa yang sejuk di pinggir jalan. Menunggu anak gadisnya keluar dari gerbang itu supaya tidak terlewat.
Bel berbunyi dari dalam gedung berupa sirine. Tidak cukup lama setelahnya dia melihat Reksi keluar dari gerbang, Raga langsung memanggil.
"Ayah!" kata Reksi riang. Hal yang sangat jarang ini membuat si imut kecil tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
Raga tersenyum simpul. Menarik pintu dan menyuruh Reksi segera masuk, tapi anak itu tidak langsung masuk, dia mendongak padanya.
"Kenapa?"
Sejak kecil Reksi memang anak yang pendiam, melihat dia menatap seperti itu, Raga berharap bahwa anak itu mau memberitahunya apa yang diinginkan. Tapi reaksi Reksi selanjutnya hanya gelengan kepala dan dia segera masuk.
Raga masuk di pintu lainnya. Mobil segera berjalan. "Kamu laper?"
Reksi mengangguk.
Tanpa bertanya dua kali Raga membawanya ke kedai makan yang paling dekat, sampai dia mendengar Reksi berkata, "Apa aku boleh makan burger?"
"Boleh," jawab Raga sekenanya. Dia melihat bungkus rokok di dashboard dan tidak bisa menahan hasrat ingin menghisap nikotin itu.
"Jangan ngerokok sih, nggak baik!"
Alis mata Raga menukik tajam. Di saat seperti ini dia malah teringat kalimat Salma. Lalu dia tertawa hampa. Sementara itu dia juga mengingat pesan terakhir dari Salma yang sangat aneh—yang menyebutkan tentang 'menolak lamaran'.
Tangan Raga terjulur sekali lagi meraih rokok.
"Gue nggak suka bau asap."
Raga tertawa kering. "Sialan!"
Di sebelahnya Reksi menatap dengan agak ragu. "Ayah, aku disuruh bawa kamus Bahasa Inggris besok."
"Nanti kita beli."
Kedai yang mereka tuju merupakan kedai kecil yang ada di pinggiran kota. Tempat itu menyediakan drive thru jadi Raga sama sekali tidak berniat mampir dan hanya memberi apa yang dibutuhkan sang anak untuk mengenyangkan perut. Mereka seperti tak punya banyak waktu, jadi Raga segera menyetir ke arah toko buku di dalam sebuah Mal untuk membeli kamus yang diminta Reksi juga.
Mobil sudah terparkir pada basemen paling atas saat Raga tiba. Di seberang tempat parkir mobilnya terdapat karaoke kecil yang menyatu dengan arena billiard. Tempat kecil yang familier pada saat remajanya dulu. Tempat awal mula di mana semuanya terjadi.
Reksi ada di belakangnya dalam diam, matanya menunduk, Raga mungkin tahu apa yang dipikirkannya saat ini; mungkin dia merasa kehadirannya tak pernah dibutuhkan.
Anak sekecil ini ....
Jejari Raga menyentuh puncak kepalanya. Anak itu mendongak dengan sorot mata yang penuh harap di bola matanya. "Kamu udah tinggi sekarang."
Tinggi Reksi sekitar dadanya, benar-benar Raga baru menyadarinya hari ini. Untuk pertumbuhan mungkin anak ini ikut gen ibunya yang merupakan mantan model remaja.
Raga berjongkok. "Kalau gini tinggi kita sama ya," katanya dengan nada jenaka.
Tangan kecil Reksi mengukur pucuk kepala mereka, menyamaratakan. Dia berjinjit-jinjit kecil. "Aku lebih tinggi dari Ayah sekarang."
Tawa polos terdengar dari bibir anak kecil itu.
"Kalau gitu Ayah lebih tinggi lagi," balas Raga dengan ikut menjijit.
"Eh, nggak boleh," rengek Reksi. "Aku mau lebih tinggi dari Ayah."
Ternyata benar yang selama ini dikatakan orang tua, bahwa anak kecil lebih dapat cepat melupakan masalah dan ketakutan mereka. Kalau misalnya Raga kembali pada mode lamanya, apakah Reksi juga akan kembali?
Raga berdiri kembali. "Ayo, masuk. Katanya mau cari kamus."
Saat itu Raga sudah berjalan beberapa langkah, tapi dia tak merasakan kehadiran Reksi, begitu dia menoleh, Reksi masih terdiam di tempatnya.
"Reksi?" panggilnya.
Reaksi yang muncul dari anak itu adalah kaget.
"Kenapa kamu masih di situ?" Raga menaikkan alis.
Lambat-lambat langkah Reksi mendekat dengan suasana yang berubah suram. Anak ini cepat sekali berubah dalam hitungan detik. Raga berjalan mendahuluinya dan mereka berdua menggunakan lift yang langsung menuju ke toko buku. Tempat itu tidaklah ramai dengan pegawai yang wara-wiri berpakaian navy di sekitarnya. Raga menuju ke bagian kamus dan mengambil satu yang tebal dan besar.
Dia melihat Reksi sebelum menahan mulutnya untuk memanggil, anak itu berada pada sekumpulan buku bergambar yang bertumpuk dengan papan bertuliskan diskon.
Reksi pasti menyukai buku itu, tapi Raga tidak mau memanjakannya.
"Reksi, kamusnya udah dapet, ayo kita bayar." Raga tak menghampirinya.
Reksi mengangguk hampa. Mata tak lepas dari tumpukan buku setipis lembar kalender itu. Dia berjalan menghampiri Raga terburu-buru. Akibatnya menabrak seseorang.
"Aduh, jatuh semua," seorang cewek mengeluh, memunguti tumpukan komik cantik di lantai.
Reksi terdiam shock.
"Maaf, anak saya nggak sengaja."
Langkah kaki di belakangnya membuat cewek itu mendongak. "Raga?"
Oh.
Raga berhenti spontan. Mengerutkan kening, berharap konyol bahwa dia memiliki kekuatan teleportasi untuk menghilang jauh dari jangkauan orang-orang sekarang.
Terutama cewek ini. Salma.
Raga terkejut saat Salma menyongsong bahunya. Matanya campuran senang dan kaget.
"Raga, lo ke mana aja sih?" Salma mengguncang bahunya. "Lo bikin gue khawatir tau nggak."
Tangan kecil Reksi yang membenahi komik di lantai membuat Salma kembali berjongkok. "Makasih, Sayang." Lalu mengusap kepalanya.
Sedetik saja terlihat bahwa anak itu tersipu. Buku-bukunya terkumpul di tangannya lagi. Ada total 13 buku dengan komik, sebagian besar sepertinya hanya merupakan buku bacaan yang menghibur bukan buku panduan atau semacamnya. Sejak dulu kesukaan Salma memang aneh.
"Kebetulan banget ketemu di sini." Salma tersenyum.
Ya.
Kebetulan macam apa? Tak heran kalau Raga berpikir bahwa Salma mungkin saja menguntitnya sampai ke sini. Raga bukannya tidak tahu bahwa Salma punya bakat sebagai stalker.
Sepak terjang sahabat kecilnya itu sejak dulu sudah gila.
Salma memerhatikan Reksi yang terus menatap buku-bukunya. "Reksi ke sini beli apa?"
"Kamus, Tante."
Salma mengangguk, melirik Raga dengan kamus tebal sebesar buku cetak pelajaran dengan pandangan tak percaya.
"Apaan ini?" Salma menarik kamus itu. "Ini terlalu besar buat Reksi."
"Kamus ini lebih lengkap."
"Iya, tapi ini berat buat Reksi bawa di tasnya!"
Salma segera menarik tangan kecil Reksi menuju rak kamus yang bersebelahan dengan panduan Bahasa Inggris pemula. Dia mengambil dua jenis kamus yang berbeda; kamus lengkap kecil sebesar telapak tangan dan kamus bergambar khusus anak SD yang bisa diwarnai.
Saat Raga mendekat, dia mendorong kamus itu ke dadanya.
"Bayar yang ini," katanya.
Raga patuh dan menuju ke kasir, dia bahkan tidak melirik Reksi, yang segera dikuasai Salma seorang diri. Anak itu ditarik ke meja diskon yang bertumpuk buku-buku bergambar. Reaksi anak itu sesuai dugaan Salma.
"Pilih aja, kalau Reksi mau nanti tante beliin."
Anehnya, Reksi langsung murung. Salma menarik kantung belanja sebelum mendekatinya.
"Masukin ke sini ya."
Reksi hanya menatapnya penuh harap.
"Cepet, Reksi," pintanya, lalu dia berjengit melihat tas yang dikenakan Reksi. "Ew. Kenapa kamu nggak pake tas yang tante beliin?—Oh itu bukan tas untuk sekolah sih, wajar. Hehe."
Karena Reksi tak juga bergerak, Salma mengambil beberapa buku bergambar itu, di tumpukan lain dia mendapatkan buku dongeng lipat yang setiap gambarnya menonjol. Kisah-kisahnya merupakan dongeng Indonesia tempo dulu yang terkenal.
Lalu dia menarik Reksi ke tempat alat-alat sekolah. "Reksi suka warna apa?" tanyanya.
"Biru, Tante."
"Ew," dia bergumam. "Reksi jadi cewek itu harus feminin, harusnya suka warna pink."
Alasannya pink itu warna kesukaan Salma. Jadi dia mengambil tas anak-anak berwarna pink dari rak, ada dua pilihan.
"Bagus yang mana, Rek? Eh, kamu mau kalau dipanggil 'Rek' gitu?" Salma linglung dan bego sendiri. Reksi menggeleng sebagai jawaban. "Hm, Sisi aja ya."
Reksi mengangguk, dia tidak terlihat keberatan.
"Yang mana?" Salma tak sabar.
Dengan ragu-ragu Reksi menunjuk tas yang penuh motif bintang, punya banyak resleting dan dapat bonus dompet koin, jadi Salma segera menaruh pilihan yang lain ke rak. Kemudian Salma mengajaknya ke bagian lain, memburu waktu, Raga masih mengantre dengan apatis di kasir. Dia menyuruh Reksi memilih kotak pensil berbentuk buah-buahan, apa pun yang dipilihnya harus berwarna pink. Tidak cukup di situ, Salma menaruh semua yang menurutnya imut ke dalam kantung belanja; bandana, jepit, jam tangan, squishy, kaos kaki dan sebagainya.
"Yah, nggak apa-apa bangkrut dikit," kata Salma dalan hati. "Udah seharusnya kalau beli kado, anaknya harus dibawa gini biar milih sendiri."
... Sebenarnya sebagian besar Salma mengambil seenak hatinya saja.
Kantungnya sekarang sudah penuh. Salma merasa sangat puas, beginilah rasanya punya anak dan bisa membelikan seluruh barang yang dibutuhkannya tanpa merasa ragu. Duh, calon anak.
Tangannya tak lepas dari Reksi bahkan saat Raga telah kembali dengan buku yang sudah dibayar. Raga menatap mereka dengan hampa.
Apa-apaan kantung itu?
"Minggir, berat!" keluh Salma. Raga menyingkir tanpa rasa simpati. Salma membayar semuanya sendiri dengan menggunakan uangnya, dia tidak menagih Raga ataupun mengeluh padanya. Raga melihat kepuasan di mata cewek itu. "Ini semua hadiah dari tante buat Reksi ya."
Reksi diam saja, menunduk
"Bilang apa Reksi sama tante?" Raga berkata dengan nada yang tak cukup ramah.
"Makasih, Tante."
Raga bersedekap. "Bilang juga sama Tante Salma, lain kali nggak usah begini, kamu bukan anaknya."
Kata-kata itu sangat menusuk ke hati Salma sampai-sampai dia merasa tulang mukanya meretak. Tak ada ekspresi yang bisa dia tunjukkan, hanya rasa kesal yang tak bisa diungkap.
"Ayo, pulang."
Raga menarik Reksi pergi, membiarkan anak itu membawa barang belanjaannya sendiri tanpa membantu. Salma kesal melihat itu. Dia mengejar Raga dan menarik bahunya.
"Biar gue bawain," katanya.
Mereka tak berbasa-basi lebih jauh, Raga segera masuk lift untuk mempercepat perjalanan mereka ke basemen. Tas belanjaan itu segera masuk mobil, begitu juga Reksi. Salma berdiri di dekat pintu di mana Reksi masuk dan melambaikan tangan.
Raga menghela napas. "Masuk."
Alis mata Salma menukik. Menutup pintu mobil. "Reksi udah masuk."
"Lo juga."
"Kenapa?"
"Karena lo udah beliin sesuatu buat Reksi, biar gue bayar itu semua."
Salma meradang karena Raga mengatakan hal itu dengan begitu enteng. Ini bukan soal uang. Salma tidak butuh uang apa pun. Dia melakukan ini bukan karena ingin menarik simpati siapa pun—termasuk Raga. Dia hanya merasa bahwa Reksi terlalu berantakan diurus oleh satu orang ayah. Itu membuatnya kesal.
Tapi dia tetap tak bisa marah pada Raga. "Nggak usah, gue udah pesen taksi."
Salma berbalik pergi, namun tak mendengar pergerakan Raga, dia ingin mengatakan sesuatu tentang pesan yang salah dikirim dua hari lalu, walaupun dia sudah menjelaskannya melalui pesan lain. Tapi beberapa hari ini ponsel Raga tidak aktif seberapa sering dia mengirim pesan lagi. Apa Raga mengganti nomornya?
Akhirnya Salma berbalik. Ternyata Raga masih berdiri di sana. "Ga, lo ganti nomor HP?"
Raga tak berekspresi saat menjawab, "Nggak."
Ini benar, ponselnya cuma mati karena sengaja tidak diisi daya.
Salma menghela napas. "Kalau gitu gue mau minta maaf."
"Untuk apa?"
"Tapi lo jangan marah."
Raga menyipitkan mata. "Gimana bisa marah kalau lo belum ngomong."
Ketus.
Tapi Salma sudah terbiasa sekarang.
"Gue ngirimin pesan banyak banget karena khawatir. Lo ngilang tiba-tiba banget."
"Sebanyak apa?"
"Hm, entahlah lupa. Pokoknya banyak."
"Dua puluh?"
Salma menggeleng sambil tangannya memilin pegangan kantung kreseknya. "Lebih."
"Lima puluh?"
Salma menggeleng lagi. "Kayaknya lebih, mungkin ratusan."
Dahi Raga mengerut dalam-dalam. Ponselnya mati dua hari. Apa benar Salma segila itu mengirim badai pesan?
"Lo ngirim apaan?" Raga menatapnya dengan aneh.
Salma tertawa kering. "Kebanyakan cuma 'P' aja sih."
"Hah?"
tbc.