“Bu Flora, kami perlu bicara sebentar mengenai administrasi.”
Suara seorang petugas rumah sakit memecah keheningan sesaat setelah Flora selesai menatap bayi kecilnya dari balik kaca NICU. Ia berbalik dengan tubuh masih gemetar, mata sembab yang belum sempat kering.
“Ya… ada apa, Pak?” suaranya lirih.
Petugas itu tersenyum sopan, tapi jelas rautnya canggung—pertanda kabar yang tidak enak. “Begini, Bu. Untuk perawatan di NICU, rumah sakit menerapkan sistem bayar tunai harian. Kami perlu memastikan bahwa keluarga pasien siap menanggung biaya tersebut.”
Flora menelan ludah. “Biaya… harian?”
“Ya, Bu. Untuk kondisi seperti anak Ibu—dengan kelainan jantung bawaan dan alat pendukung napas—perkiraan biaya per hari sekitar… segini.”
Ia menyerahkan selebaran kecil.
Angka itu seperti memukul Flora di wajah.
Flora memandangi kertas itu lama sekali. Tangannya bergetar halus. “S-sebanyak ini…?”
Petugas itu mengangguk pelan. “Ibu tidak perlu membayar semua sekaligus. Tapi kami perlu pembayaran awal dan jaminan untuk kelanjutan rawat.”
Flora mengangguk, meski pandangannya mulai berkunang.
Ia tidak punya apa-apa. Bukan hanya tidak punya uang—ia bahkan tidak punya baju ganti. Semuanya ada di rumah… rumah yang sudah tak mau menerimanya sejak pesan singkat itu muncul.
“Baik, Pak…” ucap Flora akhirnya. “Saya… saya akan usahakan.”
Petugas itu pamit dengan sopan. Begitu langkahnya memudar, Flora memejamkan mata rapat-rapat.
Ia tahu dirinya bahkan tidak punya sepuluh ribu.
Ia sadar sepenuhnya bahwa gajinya selama ini habis di tangan Anita—bukan habis untuk kebutuhan rumah, tapi untuk kesenangan dan kendali semata.
Dan sekarang… saat nyawa anaknya terancam… ia tidak punya apa-apa.
Tiga hari berikutnya, Flora hampir tidak tidur sama sekali.
Ia duduk di kursi ruang tunggu NICU, kepala bersandar di tembok, berharap sedikit kekuatan supaya tidak pingsan. Sesekali perawat datang menyentuh bahunya.
“Bu Flora, ayo makan dulu…”
Tapi Flora hanya menggeleng sambil tersenyum kaku. “Saya nggak lapar, Mbak… terima kasih.”
Perutnya melilit setiap pagi, tapi ia membiarkan rasa lapar itu lewat begitu saja.
Yang penting bayi itu.
Hanya bayi itu.
Pada hari ketiga, dokter anak menghampirinya usai melakukan pemeriksaan.
“Bu Flora,” ucapnya lembut. “Kami akan melakukan tindakan lanjutan. Kondisi anak Ibu stabil, tapi masih butuh perawatan intensif. Jadi… mohon Ibu segera menyelesaikan administrasi.”
Flora menunduk. Suaranya serak. “Baik, Dok…”
Sore itu, setelah memastikan bayinya tidak sendirian di NICU, Flora berjalan keluar rumah sakit untuk pertama kalinya dalam tiga hari. Langkahnya pelan, berat, dan setiap pijakan rasanya membuat lututnya goyah.
Ia berdiri di trotoar rumah sakit, memeluk dirinya sendiri agar tidak jatuh.
Dalam kondisi selemah itu, ia memaksa berpikir jernih.
“Aku harus cari kerja…” bisiknya.
Dan seperti itu, Flora mulai mengetuk pintu demi pintu—tanpa tidur, tanpa makan layak—demi mencari nafkah secepat mungkin.
Toko roti. Minimarket. Warung makan. Laundry.
Jawabannya selalu sama, “Maaf, Bu. Sudah penuh.”
“Kami butuh pekerja yang kuat, Bu.”
“Kami butuh pengalaman.”
“Kembali minggu depan kalau masih butuh.”
Flora mengangguk setiap kali ditolak, tanpa menunjukkan bahwa lututnya hampir patah.
Siang berubah menjadi sore. Sore menjadi malam. Perutnya sudah tidak terasa apa-apa lagi—lapar atau mual sudah hilang, diganti kekosongan aneh yang membuat tubuhnya seperti melayang.
Di pinggir jalan, Flora menyandarkan diri pada dinding toko tutup, nafasnya naik turun cepat.
“Saya harus kuat…” Flora menatap kedua tangannya yang kurus. “Demi dia… saya harus.”
Di tengah keputusasaan itu, ia memutuskan mencari pekerjaan lain: apa saja, tidak peduli apa bentuknya.
Ia kembali ke rumah sakit malam itu dengan langkah yang goyah.
Perawat menatapnya dengan khawatir. “Bu Flora, apa Ibu baik-baik saja?”
Flora tersenyum, padahal bibirnya pucat sekali. “iya saya baik.”
Perawat itu memelankan suaranya. “Ibu belum makan sejak pagi, kan?”
Flora hanya menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Mbak. Yang penting anak saya dirawat.”
Dan ketika duduk kembali di kursinya, Flora memeluk kerah jaketnya yang tipis dan menahan tubuhnya agar tidak gemetar.
Ia benci malam itu.
Ia benci kenyataan bahwa ia harus kerja untuk membayar kehidupan anaknya.
Ia benci kenyataan bahwa semua yang ia punya dulu—gaji, tenaga, masa depan—digilas habis oleh keluarga yang seharusnya melindunginya.
Tetapi di balik semua kebencian itu, ada tekad yang baru mulai tumbuh.
“Nggak apa-apa. Aku bisa… asal dia tetap hidup.”
Flora menunduk, air mata menetes di punggung tangannya.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak melahirkan, ia membiarkan dirinya menangis tanpa suara—menangis karena takut, karena lapar, karena lelah, karena putus asa.
Tapi di petak hati terdalam, ia tetap bertahan.
Karena ia ibu.
Dan itu satu-satunya hal yang tersisa darinya.