Flora sudah kehabisan ide. Ia butuh uang segera agar bayinya tetap diberikan perawatan rumah sakit. Walau awalnya Flora ragu, tapi akhirnya Flora ke rumah mertuanya.
Flora berdiri lama sekali di depan pagar rumah mertua—rumah yang dulu ia rawat, ia sapu, dibersihkan setiap hari. Rumah tempat ia pernah berharap menjadi bagian dari keluarga.
Sekarang gerbang itu terasa seperti tembok penjara.
Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Anita muncul dengan wajah mengernyit seolah melihat sampah basah tergeletak di terasnya.
“Kamu ngapain kesini?” suara Anita tajam.
Flora menelan ludah. “Bu… aku butuh bantuan. Tolong pinjami aku uang nanti aku akan bayar. Aku sangat butuh untuk bayiku”
“Apa itu urusan saya?” Anita memelotot.
“Bu… anak saya… dia masih di NICU. Saya mohon…” suara Flora pecah.
Anita melipat tangan di d**a. “Denger ya, Flora. Kamu itu sudah bukan keluarga kami. Kamu itu cuma orang asing yang merepotkan.”
Pintu terbuka lebih lebar. Bara muncul di belakang ibunya, wajahnya dingin seperti batu.
“Pergi, Flora.”
Flora menatapnya tak percaya. “Bar… tolong. Ini anak kamu juga.”
“Dia bukan anakku,” Bara menjawab tanpa ragu, bahkan tanpa menatap mata Flora. “Kamu aja yang urus.”
Flora mundur setapak, matanya membesar. “Bar…”
“Pergi sebelum Mama pingsan karena liat muka kamu,” ujar Bara.
Anita mendorong d**a Flora keras—cukup keras untuk membuat Flora hampir tersungkur.
“Jangan balik lagi ke sini! Rumah ini bukan buat perempuan pembawa sial!” Anita membanting pintu tepat di depan wajahnya.
Braaak!
Suara itu menggema di telinga Flora selama beberapa detik.
Ia berdiri di bawah hujan yang mulai turun—rintik kecil yang berubah menjadi deras dalam hitungan menit.
Air membasahi wajahnya, entah mana hujan, mana air mata.
Flora melangkah pergi. Sepatunya becek. Bajunya basah kuyup. Tubuhnya gemetar karena dingin. Tapi ia tetap berjalan.
Hujan makin deras, mengguyur seperti ingin menenggelamkan seluruh kota. Jalanan dipenuhi genangan. Lampu-lampu kendaraan memantul di aspal basah.
Flora memeluk tubuhnya sendiri.
“Aku harus kembali… ke rumah sakit…” bisiknya. “Anakku menungguku…””
Flora menyeberangi jalan besar dengan kepala menunduk.
Di tengah derasnya hujan, suara klakson tiba-tiba memecah udara.
Flora mendongak.
Sebuah mobil mewah—hitam, besar, melaju terlalu cepat. Terlalu dekat.
Hingga akhirnya–
BRUAAAK!!!
Tubuh Flora terpental keras, menghantam aspal. Darah langsung menyebar di bawah tubuhnya, mengalir bersama hujan.
Suara orang berteriak. Suara ban mengerik. Suara langkah berlari.
Tapi bagi Flora… semuanya terdengar jauh.
Ia masih sadar. Sedikit. Cukup untuk menyadari rasa sakit yang merayap dari kepala hingga perutnya.
“A-aku… kena…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Tubuhnya tak bisa digerakkan.
Pandangannya buram.
Namun dalam hatinya, suara yang lebih keras muncul—teriakan batin yang menolak mati.
Flora… tetap hidup!
Flora, jangan mati!
Bayimu masih butuh kamu…!
Air hujan menetes di wajahnya. Darahnya bercampur air. Dunia berputar.
Dan kemudian…
…gelap.
Gelap total.
Seseorang berteriak, “Panggil ambulans!! Cepat!!”
Lampu-lampu biru berkedip. Suara banyak orang menyembur jadi satu. Tapi semua itu hanya bayangan samar di lorong kesadaran Flora yang mulai tertutup.
Kemudian…
Hening.
Hingga suatu ketika, suara mesin alat medis berbunyi pelan.
Suara itu menusuk masuk ke alam gelap yang menelan Flora. Perlahan, rasa berat di kelopak matanya berkurang.
Ia mencoba membuka mata.
Cahaya putih menyilaukan.
Seorang perempuan berseragam putih sedang mengecek alat di sampingnya. Seorang perawat muda.
Perawat itu memandang monitor… lalu tanpa sengaja melirik Flora. Matanya membelalak.
“I-Ibu? Ibu Flora?” suaranya bergetar.
Flora hanya bisa menggerakkan sedikit bibirnya. Nafasnya berat. Tubuhnya lemah.
Perawat itu langsung menjatuhkan bolpoinnya dan berlari keluar sambil berteriak, “Dokter Andika! Dok! Pasiennya sadar!!”
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka cepat.
Seorang dokter lelaki paruh baya masuk—dokter Andika—dengan langkah tergesa, diikuti seorang pria lain di belakangnya, wajahnya panik, rambutnya sedikit berantakan seolah berlari dari jauh.
“Mana? Dia sadar?” tanya dokter.
“Y-ya, Dok. Baru saja,” perawat menjawab.
Dokter Andika mendekat, menunduk memeriksa pupil mata Flora. “Bu Flora… kalau Ibu dengar suara saya, coba kedip satu kali.”
Flora berusaha keras.
Hingga akhirnya Flora mengedip satu kali.
Dokter menarik nafas panjang, lega.
“Astaga… syukurlah.”
Pria yang berdiri di belakang mereka mendekat. Matanya berkaca-kaca.
“Dia… dia benar-benar sadar?” suaranya serak, tak percaya.
Flora mencoba menoleh pelan, tapi tubuhnya terlalu lemah.
Siapa pria itu?
Siapa mereka?
Kenapa ia di sini?
Kenapa tubuhnya terasa begitu… tidak bergerak?
Flora kembali mencoba bicara, namun yang keluar hanya nafas terputus-putus.
Dokter menepuk bahunya lembut. “Tenang dulu, Bu. Ibu aman. Ibu sudah selamat.”
Selamat?
Flora tidak merasa selamat.
Flora bahkan tidak tahu… apa yang terjadi.
Dan dalam kepanikan itu, di balik kebingungan dan rasa asing di ruangan putih itu…
Ia belum tahu bahwa dunia sudah berubah total.
Dan bahwa lima tahun telah berlalu sejak hujan di malam itu.