Jadi Anak Konglomerat?

1251 Kata
Flora masih menatap langit-langit putih di atasnya ketika pria yang berdiri di belakang dokter itu akhirnya mendekat. Wajahnya penuh rasa lega, tapi matanya… mata itu dipenuhi emosi yang tak bisa dijelaskan. “Flora…” suara lelaki itu serak. “Anakku…” Flora mengerjap. Anak? Dokter Andika memberi ruang. Lelaki itu maju selangkah, kedua tangannya bergetar. “Saya… Naren,” ucapnya pelan, seperti takut kata-katanya akan membuat Flora runtuh. “Naren Abhra Madhava. Ayahmu.” Flora menatapnya lama. Nama itu—Naren. Suara itu. Garis wajah itu. Sesuatu di dalam dirinya bergerak pelan, seperti kabut yang tersibak sedikit demi sedikit. Tiba-tiba muncul bayangan. Samar. Buram. Seorang pria muda tersenyum sambil menggendongnya. Ia tertawa kecil karena pria itu menyentuh hidungnya. “Flora kecil suka cubit hidung Ayah, ya?” Naren… tertawa. Bayangan itu memudar, tapi cukup membuat d**a Flora hangat. “A… Ayah…?” Bisiknya lemah. Naren langsung menunduk, mencium kening Flora sambil menangis tersedu—air mata yang ia tahan lima tahun penuh akhirnya jatuh. “Iya, Nak… Ayah di sini… akhirnya kamu kembali…” Flora tidak merasa takut. Tidak merasa ragu. Wajah pria itu membawa kenyamanan yang tiba-tiba terasa sangat natural. “F-Flora…” ia mencoba bicara lagi, tapi suaranya patah. Dokter Andika menepuk bahu Naren. “Pak Naren, kami harus pantau kondisinya. Tapi—silahkan temui Ibu Maureen. Beliau sudah menunggu di luar.” Naren tersentak. “Benar! Maureen—dia pasti…” Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Pintu terbuka. Seorang wanita cantik dengan mata sembab berlari masuk begitu melihat Flora terbaring sadar. “Flora…” suara itu pecah. Flora menoleh pelan. Dan wanita itu—dengan gaun mahal dan rambut tersusun rapi—langsung memeluk Flora sambil menangis keras, seolah menumpahkan lima tahun kehilangan yang tak pernah berhenti menyiksa. “Anakku… anakku kembali… aku pikir aku kehilangan kamu selamanya…” Flora membeku sejenak. Tapi entah kenapa, aroma tubuh Maureen… genggaman hangatnya… membuat hatinya terasa penuh. Seperti ia pernah mengenalnya seumur hidup. “Bu…” suara Flora pelan sekali. “Mama…?” Maureen menangis lebih keras. “Iya, sayang. Mama di sini.” Seorang pemuda ikut berdiri di ambang pintu—rambutnya coklat gelap, wajahnya mirip Naren, tapi lebih muda. Empat tahun lebih muda dari Flora. Almer mendekat pelan. “Kak… aku Almer…” Flora memandangnya lama… lalu tersenyum samar. “Hai…” suaranya lemah tapi hangat. Almer menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak. “Kakak sadar… akhirnya kakak sadar…” Keluarga itu berkumpul mengelilinginya. Hangat. Utuh. Sempurna—berbanding terbalik dari hidup Flora selama ini. Setelah itu semuanya berjalan lambat, tapi menenangkan. Flora belajar duduk. Flora belajar menggerakkan kaki lagi. Flora belajar melangkah, setapak demi setapak, sambil memegang pegangan besi. Setiap kali ia hampir jatuh, Naren memegangi lengannya. Setiap kali ia lelah, Maureen menyeka keringat di dahinya. Almer sering datang membawa buku, menghibur Flora agar tidak bosan. “Kalau Kakak sudah sembuh, kita jalan-jalan ya,” kata Almer sambil duduk bersandar di kursi. Flora tersenyum. “Jalan ke mana?” “Nggak tahu… Kakak pilih aja. Mau taman? Café? Mall? Aceh? Italia? Kita punya jet pribadi kok.” Flora berkedip. “Jet… pribadi?” Almer mengangguk santai. “Iya, Kak… lupa ya? Kita kan—” Almer berhenti ketika Naren masuk sambil berkata, “Jangan cerewet, Mer. Dokter bilang Kakaknya jangan dikagetin dulu.” Flora menatap mereka. Hidupnya berubah total—rumah mewah, dokter pribadi, makanan bergizi, jam tidur nyaman, perhatian tanpa batas. Tetapi… Ada ruang di hatinya yang tetap kosong. Seolah ada puzzle hilang yang tak ia mengerti. Empat bulan berlalu. Flora sudah bisa berjalan sendiri. Tubuhnya jauh lebih segar, rambutnya terawat, senyumnya kembali. Wajahnya yang cantik kini jauh lebih cantik lagi. Semua itu karena ia menjalani perawatan. Namun ingatannya… masih buram. Ia hanya ingat masa kecilnya sebentar—sebelum diculik. Ia tidak ingat sama sekali lima tahun sebelum koma dan saat ia di panti asuhan sampai akhirnya menikah dengan Bara. Dokter berkata itu normal. Hingga tiba di hari itu. Hari ketika semuanya pecah. Ketika Flora mengingat masa lalunya yang menyakitkan. Flora masuk kamar mandi dengan kepala sedikit pusing. Lantai agak basah. Ia tidak memperhatikan. Licin. Tubuhnya terpeleset ke belakang hingga kepalanya terbentur lantai cukup keras. Kegelapan menyapu. Dan ketika ia membuka mata, semuanya datang kembali seperti badai. Teriakan Anita. Wajah Bara yang muak melihatnya. Deritanya setelah menikah dengan Bara. Dijadikan mesin uang oleh ibu mertuanya. Menderitanya saat ia hamil hingga melahirkan. Pesan singkat perceraian. Ruang NICU. Bayi kecilnya. Darah. Hujan. Cahaya mobil. “Ngg—!!” Flora menjerit sambil memegang kepalanya. “Anakku… anakku… di NICU… aku harus ke rumah sakit! aku harus ke sana!” Ia berlari ke luar kamar, langkahnya limbung, napas terengah. Asisten rumah tangga terkejut melihat Flora jatuh bangun menghantam dinding, menangis histeris. “Bu Flora! Hati-hati! Ada apa?” Flora mengguncang bahu salah satu dari mereka. “Anakku! Tolong antar aku ke rumah sakit! Anakku di NICU! Dia sendirian! Dia pasti takut!” Asisten rumah tangga itu saling pandang, panik. “Bu… Bu, tolong tenang dulu—” “JANGAN SURUH AKU TENANG!” Flora berteriak sampai suaranya pecah. “Anakku butuh aku! Aku harus pergi! LEPASKAN AKU!” Ia terduduk sambil memegangi kepala, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya jatuh terus, tak ada jedanya. Beberapa menit kemudian, langkah kaki cepat terdengar memasuki rumah. Naren—tergesa pulang setelah menerima telepon panik dari asisten. Ia melihat Flora di lantai, menangis tanpa kendali. “Flora…” suara Naren langsung pecah. Ia berlutut di depan putrinya. “Sayang… ada apa? Kamu kenapa? Bilang ke Ayah” Flora menatapnya, mata merah, napas tersengal. “Anakku…” katanya lirih, “Ayah… aku punya anak… dia di rumah sakit… dia sendirian… aku harus ke sana…” Naren membeku. Seperti ditarik sesuatu yang dingin dari d**a. “Sayang…” ia mencoba menyentuh wajah Flora, tapi Flora menepis. “Aku harus kesana!” Flora bangkit, tapi nyaris jatuh. Naren memeluknya erat. “Cukup… cukup… kau akan terluka…” Flora menghantam d**a Naren. “Lepas! Jangan halangi aku! Aku harus menemui anakku!” Saat itu Maureen datang tergesa, wajahnya pucat melihat keadaan Flora. “Flora…” Ia langsung memeluk putrinya dari belakang. “Mama di sini, sayang… Tolong jangan begini..” “Anakku…” Flora terisak, “Mana anakku, Ma? Aku… aku harus ke rumah sakit… aku harus—” Maureen hampir menangis mendengar itu. Ia menatap Naren, wajahnya terguncang. Naren menggigit bibir, menahan diri agar tidak hancur. Ia tidak tahu apapun tentang kehidupan kelam yang dialami putrinya selama lima tahun menghilang. Tapi ia tahu jika Flora punya bayi. Karena saat kecelakaan Flora pertama kali dibawa ke rumah sakit tempat bayinya dirawat. Dan sekarang, Flora kembali dengan lubang menganga di hatinya. Naren menarik napas panjang, mengangkat Flora dalam pelukannya. “Sayang… Ayah akan bantu kamu. Tapi kamu harus tenang dulu, ya? Kita pergi ke dokter. Kita cari tahu semuanya bersama-sama.” Flora menggeleng keras. “Aku tidak mau dokter! Aku mau anakku…!” “Flora…” Maureen membelai rambutnya, menahan air mata. “Mama ikut… Mama temani kamu… tolong… percayalah pada Mama sebentar saja…” Histeria Flora belum mereda, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Akhirnya, Naren membawanya ke mobil. Maureen duduk di belakang sambil memeluk Flora erat-erat, menahan tremornya. “Tidak apa-apa, sayang… kamu aman sekarang… Mama di sini… Mama tidak akan biarkan kamu sendirian lagi…” Di depan ruang dokter psikiater, Flora masih gemetar. “Aku ingin anakku…” bisiknya berkali-kali. Naren menutup mata, dadanya sesak. Maureen menggenggam tangan Flora erat sekali. “Kita akan melewati ini bersama, sayang…” ucapnya. Dan pintu ruang psikiater pun tertutup pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN