Rencana Besar Flora

838 Kata
Butuh waktu berminggu-minggu sebelum tangis Flora tidak lagi berubah menjadi jeritan. Psikiater, Naren, dan Maureen bekerja keras mengembalikan jiwanya yang terbelah. Setiap sesi terapi dipenuhi kesedihan, tapi juga kehangatan. Hari pertama ia mau duduk tenang, psikiaternya memujinya. “Ini kemajuan besar, Flora,” kata dr. Sanji, psikiater. Flora mengangguk sedikit. Matanya masih sembab, tapi tatapannya tidak seburam sebelumnya. Maureen menggenggam tangan Flora. “Kamu hebat, sayang. Mama bangga sekali.” Flora menarik nafas pelan. “Aku hanya… lelah.” “Kelelahan bukan kelemahan,” kata Maureen lembut. “Itu tanda kamu manusia.” Perlahan Flora pun membaik. Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan. Flora mulai bisa tidur tanpa mimpi buruk. Ia juga mulai belajar bernapas ketika serangan panik datang. Naren selalu ada di sebelahnya—diam, tapi kokoh. Suatu malam, Flora duduk di sofa ruang keluarga, mengusap tangan. “Ayah…” panggilnya lirih. Naren menoleh. “Ya, sayang?” “Kalau… aku nangis terus… Ayah capek tidak?” Naren tersenyum lembut, sebuah senyum yang menyembunyikan seribu luka. “Tidak. Ayah hanya takut… kau menahan semuanya sendirian.” Flora menunduk, air mata jatuh tanpa suara. “Dulu… aku memang sendirian.” Naren memeluk bahu putrinya. “Sekarang tidak. Tidak akan pernah.” Itu bukan janji kosong. Ia menepatinya setiap hari. Flora mulai diceritakan jika sejak lima tahun ia terpisah dari keluarganya. Setelah hampir dua bulan terapi, dokter Sanji merasa waktunya tiba. “Flora,” ucapnya perlahan, “ada satu hal penting yang harus kau dengar. Tapi aku ingin kau tidak sendirian.” Flora merasakan nafasnya tercekat. Ia menatap Naren dan Maureen yang duduk di sampingnya. “Kalau kenanganmu sudah kembali,” lanjut Sanji, “maka kau pasti tahu… kau mengalami kecelakaan lima tahun lalu. Bayimu…” Flora menggenggam ujung bajunya dengan kuat. Sanji menatapnya lembut. “Bayimu tidak bertahan. Dia meninggal beberapa jam setelah kamu mengalami kecelakaan.” Udara terasa hilang dari paru-paru Flora. Tapi ia tidak menjerit. Tidak histeris. Hanya diam. Lama sekali. Kemudian air matanya jatuh satu per satu. “Anakku… meninggal?” bisiknya. Maureen memeluk Flora dari sisi kanan, gemetar. “Sayang… maaf…” Naren duduk lebih dekat dan memegang kedua tangan Flora. “Ayah pun baru tahu dua hari setelah kamu kecelakaan. Kami… sama-sama terlambat menemuimu. Tapi bayimu belum ada yang menjemput jadi kami yang makamkan.” Flora menutup wajahnya. Tangisnya pelan—bukan lagi gejolak gila, bukan kepanikan—tapi kesedihan seorang ibu yang akhirnya menemukan kebenaran pahit yang ia harus peluk… bukan lawan. “Dimana… dia?” suaranya serak, hampir tidak keluar. Naren menatap Maureen, lalu kembali ke Flora. “Di tempat yang indah.” Flora menangis lebih keras—tapi tetap tidak berteriak. Kesedihan itu kini lebih… dewasa. Lebih terarah. Ia memeluk kedua orang tuanya, sementara hatinya pelan-pelan menerima patah itu. Setelah tenang dan hatinya siap. Flora pun ke makam bayinya. Kawasan pemakaman elit itu sunyi, teduh, dan tertata. Langit sore membentang lembut. Flora berjalan perlahan, ditemani Maureen, Naren, dan Almer yang selalu menjaga jarak tapi tidak ingin pergi jauh. Di antara deretan batu nisan yang indah, langkah Flora berhenti di sebuah makam kecil. Namanya tertulis di sana Ahmad Abhra Madhava. Tanggal lahir dan tanggal meninggal tertulis di sana. Tanggalnya berdekatan tepat lima tahun yang lalu. Begitu singkat. Naren angkat suara, “kami beri nama anakmu Ahmad karena laki-laki dan ayah sematkan nama belakang ayah di belakang namanya.” Flora berlutut perlahan, menyentuh batu nisan yang dingin. “Maaf… Mama baru datang sekarang,” bisiknya, suaranya pecah. “Maaf… Mama tidak bersamamu waktu itu… Maaf Mama tidak bisa menjagamu…” Naren menunduk, menyeka air mata tanpa suara. Maureen menangis pelan di balik tubuh Flora. Almer menatap kakaknya dengan mata merah. Flora mengusap nisan itu pelan-pelan. “Aku janji… kamu tidak akan sia-sia. Mama hidup untukmu. Mama berdiri lagi untukmu.” Ia memejamkan mata, membiarkan angin sore menyentuh wajahnya. Dan ketika ia bangkit perlahan, ada sesuatu yang berubah. Matanya tidak kosong lagi. Ada ketegasan. Ada arah. Ada… tekad. Dalam mobil perjalanan pulang, Flora menatap keluar jendela. Tangannya mengepal di pangkuan. Naren memperhatikan diam-diam. “Kamu baik-baik saja, sayang?” Flora mengangguk pelan. “Tidak… tapi aku akan baik.” Maureen menyentuh punggung tangannya. “Kalau kamu butuh apa pun—” “Aku ingin balas dendam.” Naren terdiam. Maureen menatap Flora dengan hati-hati. “Sayang…” “Mereka… merendahkan aku, menyiksaku, membuangku, dan menyebabkan anakku mati sendirian.” Suara Flora tidak gemetar. “Aku tidak akan membiarkan mereka hidup tenang.” Maureen menghela nafas pelan. “Balas dendam itu berat, Flora…” Flora menatap ibunya dengan mata jernih—jernih tapi tajam. “Aku sudah memikul yang jauh lebih berat, Ma.” Naren akhirnya bicara, tenang, tapi tegas. “Kalau kau memilih jalan itu… Ayah tidak akan menghalangi. Tapi Ayah akan ada di sampingmu. Selalu.” Flora tersenyum kecil—pahit tapi kuat. “Tidak apa-apa, Ayah. Aku tidak butuh mereka takut padamu.” Ia menatap pantulan wajahnya di jendela. “Aku ingin mereka takut… padaku.” Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Flora merasakan sesuatu yang membangunkan dirinya yang lama hilang: Kekuatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN