Dua tahun berlalu seperti sekejap. Tapi bagi Flora, tiap harinya adalah langkah panjang untuk membangun dirinya dari luka yang pernah menghancurkannya.
Ia belajar bisnis dengan disiplin yang bahkan membuat para mentor terkesan. Ruang belajar besar di lantai tiga rumah keluarga Madhava selalu dipenuhi suara diskusi, tumpukan catatan, dan laptop yang selalu terbuka.
“Flora, kamu menangkap struktur laporan ini dengan cepat sekali,” ujar Prof. Selma, salah satu pengajar yang didatangkan Naren khusus untuk Flora.
Flora tersenyum sopan. “Saya hanya belajar apa yang harus saya kuasai, Prof.”
Ia tidak pernah menjelaskan bahwa dorongan terbesarnya bukan ambisi, tapi dendam yang disimpan rapi di dasar dadanya.
Namun, semangatnya belajar tetap tulus. Ia menemukan dirinya menikmati bisnis, strategi, dunia yang dulu tidak pernah bisa dicapainya.
Naren selalu memperhatikan dari jauh, tapi dengan wajah bangga.
“Kamu cepat sekali berkembang, Nak,” katanya suatu malam ketika Flora baru selesai meeting kecil.
Flora hanya tersenyum kecil. “Karena aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ayah beri.”
Naren menepuk bahunya. “Ayah bangga.”
Dan itu bukan kalimat kosong. Naren benar-benar bangga.
Setelah berbulan-bulan belajar akhirnya Flora masuk ke perusahaan milik ayahnya, Madhava Creative Group—perusahaan raksasa yang menaungi seni, hiburan, kontrak artis, produksi film, dan event internasional. Orang-orang awalnya ragu. Namun keraguan itu tidak bertahan lama.
Dalam enam bulan, nama Flora Sabina Madhava mulai muncul dalam banyak rapat penting. Ia memimpin beberapa proyek seni besar, ikut menyusun strategi kontrak artis, bahkan ikut dalam pembahasan unit usaha baru.
Kenalannya meluas dengan sangat cepat. Direktur-direktur industri hiburan, produser film besar, selebriti papan atas, hingga beberapa pemilik galeri internasional. Flora masuk lingkaran mereka dengan mudah.
Bukan karena koneksi.
Tapi karena kemampuannya.
Maureen sering memeluknya sepulang kerja. “Anak Mama hebat sekali…” Flora tersenyum, balas memeluk. “Aku hanya melakukan yang harus kulakukan.”
Di setiap keberhasilan yang ia raih, Maureen dan Naren merasa Flora sudah benar-benar pulih dan bahagia.
Mereka tidak tahu luka itu tidak hilang. Hanya… membeku.
Sunyi. Diam. Tapi tetap ada.
Lima bulan setelah masuk ke perusahaan milik sang ayah, Flora bertemu dengan seorang lelaki. Perkenalan mereka terjadi di sebuah acara seminar hukum yang diselenggarakan perusahaan Naren. Kaindra Praditya, pengacara ternama yang selalu membela masyarakat kecil, menjadi pembicara utama.
Flora awalnya hanya mengamati dari kejauhan. Pria itu terlihat tenang, sangat teratur, berwibawa, dan bicaranya lugas. Tatapannya teduh, tapi kuat. Sikapnya profesional tapi ramah. Tidak ada kesan arogan.
Setelah acara, ia menyapa Flora lebih dulu.
“Bu Flora Sabina?” Ia mengulurkan tangan. Flora menjabatnya. “Ya. Dan Anda Kaindra Praditya?”
Kaindra tersenyum kecil. “Boleh hanya Kaindra saja. Ayah Anda banyak cerita tentang kerja keras Anda di perusahaan.”
Flora sempat terkejut. “Ayah saya?”
“Ya.” Kaindra menunduk sopan. “Beliau bangga.”
Kalimat sederhana itu membuat Flora kehilangan kata-kata sejenak. Bukan karena bangga—melainkan karena terasa hangat, hangat dengan cara yang membuatnya sedikit takut.
Pertemuan itu menjadi awal dari banyak percakapan, banyak tawa singkat, dan kebersamaan yang perlahan tumbuh.
Beberapa bulan kemudian… Kaindra melamar.
Namun di balik perayaan malam itu, Flora sempat mengatakan kebenaran pahitnya.
“Aku pernah menikah,” ucap Flora lirih malam sebelum lamaran disetujui. “Aku… sudah tidak suci. Aku pernah disakiti, dianiaya, dan aku punya masa lalu buruk.”
Kaindra menatapnya dengan mantap.
“Flora,” katanya lembut, “aku ingin menikahi dirimu. Bukan masa lalumu.”
Itu kalimat yang membuat Flora untuk pertama kalinya… menangis bukan karena sakit, tapi karena dihargai.
Dan pernikahan mereka menjadi salah satu pesta termewah yang pernah diadakan keluarga Madhava. Wajar, Flora adalah anak sulung sekaligus anak perempuan satu-satunya Naren dan Maureen.
Dua bulan setelah menikah, mereka tinggal di perumahan elit yang tidak jauh dari rumah orang tua Flora. Rumah modern, hangat, luas, dan sangat nyaman.
Pagi-pagi sering diisi suara Kaindra membaca berkas hukum di ruang kerja, sementara Flora membuat kopi sambil memulai rapat daring.
Kadang Kaindra memeluk dari belakang.
“Kamu bekerja terlalu keras,” katanya.
Flora menghela napas. “Aku suka pekerjaanku.”
“Kamu juga punya suami, tahu?”
Flora tertawa kecil. “Suamiku penyabar.”
Kaindra tersenyum lembut. “Untukmu, selalu.”
Kehidupan mereka tenang, teratur, penuh rasa saling mendukung.
Maureen dan Naren sering berkunjung. Mereka yakin dendam Flora sudah sirna.
Mereka salah.
Karena suatu sore, saat Flora menata dokumen di ruang kerja rumah, ia menemukan sebuah artikel lawas—artikel tentang seorang perempuan muda bernama Flora yang mengalami kecelakaan lima tahun silam. Artikel itu memuat sedikit nama rumah sakit yang pernah merawat bayinya.
Tangan Flora berhenti bergerak.
Pandangan kosong bergeser menjadi tajam.
Sekejap saja, seluruh luka itu muncul kembali.
Tanpa suara.
Tanpa amarah yang meledak.
Hanya dingin.
Benar-benar dingin.
Flora duduk, memejamkan mata, dan tersenyum tipis—senyum yang sangat jauh dari kebahagiaan.
“Sudah waktunya,” bisiknya.
Ia membuka mata, tatapannya tajam seperti bilah pisau.
“Aku akan membuat mereka membayar semuanya.”
Dan untuk pertama kalinya setelah hidup dalam kemewahan dan ketenangan…
Dendam itu mulai bangkit.
Pelan.
Tapi pasti.
.Keesokan paginya. Tanpa diketahui oleh Kaindra, Flora pergi ke rumah Anita. Rumah ibunya Bara, tempat yang pernah ia tinggal dulu.
Flora datang ke sana dengan pakaian branded berkelas, wajahnya kini jauh lebih cantik, postur tubuhnya tegap dan langkah kakinya mantap.
Setibanya di depan rumah Anita. Flora menatap rumah keluarga Bara masih sama seperti ingatan Flora dulu—halaman sempit, pagar besi yang mulai berkarat, dan bunga adenium yang dulu selalu dibanggakan Anita kini tampak mengering. Flora berdiri di depan pintu dengan langkah mantap, mengenakan coat hitam elegan yang kontras dengan lingkungan sederhana itu.
Ia menarik nafas panjang. “Ini hanya langkah pertama,” bisiknya pada diri sendiri.
Bel pintu ditekan. Dua kali. Tak lama, pintu terbuka.
Anita muncul. Wajahnya masih sama: tajam, penuh gugup yang disembunyikan, dan sifat menghakimi yang dulu membekas di jiwa Flora selama bertahun-tahun.
Namun kali ini, Anita tidak mengenalinya.
“Maaf, Anda siapa ya?” tanya Anita dengan senyum basa-basi yang dipaksakan.
Flora mengangkat dagu sedikit.
Senyuman kecil muncul, tenang… sangat terkontrol.
“Saya bosnya Flora Sabina,” ujarnya lembut.
“Katanya Anda mertuanya, benar?”
Anita terperanjat.
“Me—mertua? Ya, dulu…” suaranya mengecil. “Ada urusan apa, Bu?”
“Saya datang untuk mengambil dokumen milik Flora.”
Mata Anita menyipit. Seperti merasa ada yang tidak beres. “Dokumen apa?”
“Dokumen seperti kartu identitas dan ijazah,” jawab Flora ringan, seolah itu adalah permintaan formal biasa. “Kami memerlukannya untuk kepentingan administrasi.”
Anita tersentak. “Dokumen itu… sudah tidak ada.”
Flora memiringkan kepala sedikit. “Tidak ada?”
Anita menarik napas, lalu menjawab dengan nada menahan kesal, “Bara sudah membakarnya. Dia bilang… tidak ingin menyimpan sedikit pun kenangan tentang Flora.”
Ada denyutan kecil di d**a Flora. Namun wajahnya tetap tak berubah.
Dan di saat itulah, bayangan masa lalu menyeruak dengan begitu kuat.
“Gugurkan kehamilanmu!” bentak Anita. “Kau dengar!? Gugurkan sekarang juga! Anak ini tidak boleh lahir!”
Flora mundur setapak. Dadanya terasa sesak.
“Bu… Bara… ini anak kita,” katanya hampir berbisik.
Bara menatapnya seperti melihat sesuatu yang kotor.
“Kita tidak butuh anak. Aku butuh kamu kerja biar kita dapat uang!”
Air mata Flora menetes. Namun ia menggeleng tegas.
“Aku tidak akan menggugurkan anakku.”
Anita mendekat, menuding Flora tepat di wajahnya.
“Kau keras kepala, Flora! Jangan salahkan siapa-siapa kalau Bara menceraikanmu!”
Suara lantang itu menggema di hati Flora sampai hari ini.
Kembali ke masa kini. Flora menatap Anita, kini dengan tatapan yang sama sekali berbeda dari perempuan lemah dulu.
“Bara membakar semuanya, ya?” ulang Flora dengan suara pelan tapi sangat dingin.
“Iya,” jawab Anita. “Sudah lama kami tidak membahas Flora lagi. Dia juga sudah tidak penting.”
Flora tersenyum samar. Elegan. Berbahaya.
Flora melirik ke ruang tamu yang pernah menjadi tempat ia diperbudak, dihina, bahkan tidak diberi makan sampai kelaparan.
“Terima kasih, Bu Anita,” katanya sambil tersenyum anggun.
“Sudah tidak menyisakan apa pun dari masa lalu.”
Flora kemudian berbalik dan melangkah pergi.
Heels-nya berketuk pelan menyusuri pagar.
Setiap langkah adalah satu keping dendam yang matang.
Namun Anita mengejar Flora dan menghadang Flora, ”Tunggu! Jangan dulu pergi.”
Flora menyipitkan matanya dan bertanya, “ada apa?”
Flora mengira Anita mengenalinya.