"Siapa yang menyuruhmu ke sini!"
Suara Vasko menggelegar, mengiris udara seperti petir yang menyambar malam yang tenang. Selin terhenti, langkahnya tergantung di ambang ketidakpastian. Wajahnya yang biasanya cerah kini diliputi keraguan, sementara tubuhnya menegang seolah angin dingin membungkus dirinya. Di sudut ruangan, Tedy memalingkan pandangan dengan sengaja, wajahnya tak terbaca. Tanpa sepatah kata, ia melangkah keluar, meninggalkan Selin seorang diri, terperangkap dalam badai emosi yang baru saja dimulai.
Selin mendengus kesal dalam hati. *Bagaimana bisa ia meninggalkanku seperti ini?* pikirnya. Hatinya bergetar antara kemarahan dan rasa takut, terlebih saat mata dingin Vasko tak lepas menatapnya, seperti serigala lapar yang menemukan mangsa.
"Mmm... Tuan, saya hanya—"
"Sini!"
Kata itu meluncur dengan tegas, membuat Selin membeku. Tunggu, apakah dia salah dengar? Bukankah sebelumnya Vasko seperti ingin mengusirnya?
"Kamu tidak dengar apa yang saya katakan?" Nada suara Vasko menurun, namun tetap memerintah. Mata gelapnya bersinar dengan intensitas yang tak terbantahkan.
"I-iya, Tuan." Langkah Selin terasa berat, seperti kaki kecilnya dipaku ke lantai. Namun, ia memaksakan diri mendekat. Baru saja ia berjarak beberapa langkah, tangan Vasko yang kuat menyambar pergelangannya. Dalam sekejap, tubuh mungilnya tertarik ke dalam lingkar pelukan pria itu.
Tubuh Vasko yang kokoh terasa hangat, hampir membakar. Tangannya melingkari pinggang ramping Selin, dan tanpa peringatan, ia menyembunyikan wajahnya di balik perut gadis itu. Selin terpaku, kaget dan bingung bercampur menjadi satu.
"Tuan..." ucapnya dengan suara nyaris berbisik.
"Sebentar saja," potong Vasko, suaranya serak, penuh lelah yang tak terucapkan. "Saya lelah sekali."
Selin merasa ada sesuatu yang basah merembes di kain blusnya. Jantungnya berdetak kencang. Tunggu. Apakah mungkin—*apakah seorang Vasko sedang menangis?*
Suasana berubah, dari tegang menjadi penuh teka-teki. Ruangan itu, meski luas, tiba-tiba terasa terlalu kecil, terlalu intim. Selin menatap kepala Vasko yang tertunduk, rambut hitamnya berantakan, seperti jiwa pria itu yang sedang kacau. Ia ingin bertanya, namun ragu. Hatinya yang polos tak bisa menahan rasa penasaran.
"Apakah semuanya baik-baik saja, Tuan?" tanyanya hati-hati, suaranya lembut seperti bisikan angin.
"Semuanya ingin menyingkirkan Kakek..." Suara Vasko terdengar bergetar, pecah seperti gelas yang jatuh ke lantai. Tubuhnya tak bergerak, namun tangan yang memeluk Selin semakin erat, seolah ia sedang menggenggam satu-satunya yang bisa memberinya ketenangan.
Selin membeku. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Tapi ia merasa, untuk pertama kalinya, Vasko adalah pria yang rapuh, jauh dari sosok tangguh dan tak tergoyahkan yang selalu ia kenal. Perutnya terasa hangat, bercampur basah. Dan entah bagaimana, ia tahu... air mata itu nyata.
"Anda menangis?" Selin bertanya dengan polos, tanpa menyaring kata-katanya.
"Jangan cerewet!" jawab Vasko cepat, nadanya kesal, namun tak ada taji dalam ucapannya. Selin mengerjap, lalu bibirnya melengkungkan senyuman kecil yang tak bisa ia tahan. Suara itu, meski ketus, entah bagaimana membuat hatinya hangat.
"Semuanya akan baik-baik saja," ujarnya tiba-tiba, suara lirih namun penuh keyakinan. Dengan keberanian yang tak ia mengerti, jemarinya yang kecil terulur, menyentuh lembut pucuk kepala Vasko. Ia mengusapnya, perlahan, seolah ingin menenangkan badai di dalam pria itu.
Sentuhan itu membuat Vasko terdiam. Waktu terasa berhenti. Dalam keheningan yang hening, Selin bisa merasakan denyut jantung pria itu, seiring dengan miliknya sendiri yang berdetak tak menentu. Momen itu, meski singkat, terasa seperti keabadian.
"Tuan! Kakek Anda sudah sadar!"
Suara dokter yang penuh semangat itu memecah udara dingin di koridor rumah sakit. Tanpa pikir panjang, Vasko melangkah masuk ke ruang perawatan, meninggalkan Selin di belakang. Selin yang mendengar percakapan itu hanya diam di tempat, menatap pintu yang perlahan tertutup di hadapannya. Hatinya sedikit bergejolak, namun ia memilih untuk tetap di ruang tunggu, membiarkan Vasko menikmati waktu berharga bersama sang kakek.
Di dalam ruangan, aroma antiseptik bercampur dengan harapan yang samar-samar. Kakek Vasko duduk di tempat tidur, tubuhnya yang ringkih bersandar pada bantal putih. Mata tuanya memancarkan kehangatan yang rapuh, namun cukup kuat untuk membuat Vasko merasa seperti anak kecil lagi.
"Kakek tampan sekali..." ujar Vasko dengan suara yang lirih, namun penuh perasaan. Air mata yang ia coba tahan akhirnya mengalir, membentuk jalur tipis di pipinya.
Kakek tertawa kecil, tangannya yang keriput mengusap wajah Vasko. "Kamu ini pandai sekali merayu, tapi kakek tahu siapa yang sebenarnya paling tampan di sini," jawabnya sambil mencubit pipi Vasko dengan lembut.
Vasko tertawa, meski hatinya terasa remuk melihat kakeknya yang begitu rapuh. Dengan penuh hormat, ia mencium tangan kakeknya. "Ayo, Kek, segera pulang dari sini. Kita tinggal bersama di mansionku. Aku akan menjagamu."
Namun kakek menggeleng pelan. "Tidak, Nak. Rumah tua kakek lebih dari sekadar tempat tinggal. Di sana, setiap sudutnya menyimpan kenangan bersama nenekmu. Kakek ingin di sana, bersama bayangannya."
Sejenak, Vasko terdiam. Ia mengerti apa yang dirasakan kakeknya, namun ia tidak ingin menyerah begitu saja. "Kalau begitu, kita pindahkan semua kenangan nenek ke mansionku. Aku ingin menjaga kakek, dengan segala yang kakek cintai."
Kakek tersenyum lembut, sorot matanya penuh kasih. "Baiklah, Vasko. Tapi kakek ingin bertanya, kapan kamu akan membawa seorang cucu menantu untuk kakek? Masa tampan begini tidak ada yang mengikat hatimu?" godanya sambil terkekeh.
Vasko tersenyum simpul, pipinya sedikit memerah. "Kakek sabar dulu. Nanti, kakek pasti bertemu dengannya," jawabnya singkat.
"Oh? Benarkah? Apa dia cantik?"
Pertanyaan itu membuat Vasko terdiam sejenak. Ia menempelkan tangan kakek ke pipinya, menunjukkan sisi manja yang jarang ia tunjukkan. Dalam benaknya, wajah Selin tiba-tiba muncul, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Kenapa dia terus ada di pikiranku? Apa ini sebuah pertanda? gumamnya dalam hati.
Namun sebelum ia sempat menemukan jawaban, senyuman manis di bibirnya telah berkata lebih dari yang ia sadari. Dan di luar pintu, Selin tetap menunggu dalam diam, tanpa tahu bahwa ia baru saja menjadi pusat dari lamunan pria yang diam-diam mulai merasakan sesuatu yang berbeda.