"Apa! Tuan Vasko pergi mengajak b***k itu?" suara Soraya menggema di dalam ruangan megah itu, menciptakan getaran yang membuat para pelayan di sekitarnya menunduk lebih rendah. Wajahnya memerah, campuran antara amarah dan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan.
"Benar, Nona," jawab salah satu pelayan dengan suara pelan, penuh kehati-hatian. "Tuan Vasko menarik tangannya b***k itu masuk ke dalam mobilnya, kemudian mereka pergi."
Kata-kata itu seperti minyak yang disiram ke dalam api. Soraya, yang sudah berdiri dengan tangan terkepal, meraih vas bunga yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke lantai dengan kekuatan penuh. Pecahan keramik berhamburan, meninggalkan jejak berantakan di lantai marmer putih.
"Gadis itu sungguh tidak tahu malu!" dengus Soraya dengan suara tinggi, napasnya tersengal seperti habis berlari. Matanya menyipit penuh kebencian, seolah bayangan Selin kini berdiri di depannya.
"Nona, apa mungkin Tuan menyu—"
"DIAM!" potong Soraya dengan tajam. Matanya berkilat, penuh peringatan kepada pelayan yang nekat mencoba bersuara. "Vasko tidak pernah menyukai seorang perempuan. Dia bahkan tidak peduli akan hal-hal semacam itu. Satu-satunya alasan dia membawa gadis itu adalah karena dia cantik, itu saja. Tapi bukan berarti Vasko menginginkannya... selamanya."
Nada suaranya penuh dengan sinisme yang dingin, seperti pedang yang baru diasah. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti tusukan, bukan hanya untuk gadis yang ia benci tetapi juga sebagai pengingat bagi dirinya sendiri, seolah ia harus terus percaya bahwa Selin tidak akan pernah berarti apa-apa bagi Vasko.
Para pelayan di sekitarnya hanya bisa menunduk dalam-dalam, tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun lagi. Soraya berdiri di tengah ruangan, nafasnya masih memburu. Namun, di balik semua itu, ada bayangan ketakutan yang samar di matanya—takut bahwa kata-katanya sendiri mungkin suatu hari akan menjadi bohong.
Di rumah sakit, suasana terasa kaku dan penuh ketegangan. Vasko berdiri di sudut ruang tunggu, matanya menatap kosong ke arah pintu ruang perawatan kakeknya. Tiba-tiba, langkah berat terdengar, dan dua sosok laki-laki memasuki ruangan. Ayah dan pamannya—kedua pria yang selama ini tak pernah menunjukkan rasa kasih sayang tulus padanya—berjalan mendekat dengan ekspresi yang terkesan penuh kepura-puraan.
"Nak, kamu sudah ada di sini?" tanya ayahnya, suaranya seperti embusan angin yang lemah, mencoba terdengar hangat. Namun Vasko hanya diam, tidak menjawab. Ia sudah tahu betul apa yang ada di balik sikap mereka berdua. Semua ini tidak lebih dari drama untuk memperjuangkan harta peninggalan sang kakek.
Ayahnya melanjutkan dengan nada yang lebih mendalam, seolah-olah mencoba menyentuh hati Vasko. "Nak, kakekmu sudah tua. Ayah rasa, dia tidak perlu pulang pergi ke rumah sakit. Biarlah... relakan saja. Kasihan dia hidup terus ditopang dengan obat-obatan."
Kata-kata itu membuat Vasko menahan amarah yang hampir meledak. Bagaimana mungkin mereka berbicara seperti itu tentang kakeknya? Seakan-akan nyawa sang kakek hanya sekadar masalah kesulitan untuk dipertahankan. Namun Vasko memilih untuk tetap diam, matanya tajam menatap ayahnya yang berbicara dengan wajah penuh kepura-puraan.
"Iya, nak," ujar pamannya yang tidak kalah dinginnya. "Kamu tahu, semua teman-teman kakekmu itu sudah meninggal. Bagaimana bisa dia masih saja bertahan di dunia ini?"
Vasko menatap pamannya dengan tatapan sinis, seolah melihat wajah yang sama sekali tidak pernah peduli padanya ataupun kakeknya. "Kalian sebaiknya pulang," ujarnya dengan nada datar namun penuh arti.
"Pulang?" Ayahnya terkekeh dengan nada datar, mencoba terdengar tenang. "Ayah ingin bertemu dengan kakekmu."
Vasko tidak tahan lagi. "Untuk apa? Untuk sebuah warisan?" tanyanya, suaranya penuh sinisme, penuh keengganan.
Ayahnya terdiam sejenak, matanya menatap Vasko dengan penuh amarah yang disembunyikan. "Nak... jangan seperti itu menatap ayah. Hanya ayah yang selalu menemani kakekmu. Jadi wajar kalau ayah menginginkan sebuah warisan."
Kata-kata itu seperti menyiramkan minyak ke dalam api yang sudah berkobar. Vasko merasa sesuatu dalam dirinya hampir meledak. "Apa uang dariku kurang?" jawabnya dengan nada yang penuh sindiran.
Ayahnya menarik napas panjang, kemudian berbicara dengan nada yang lebih lembut namun tetap penuh tuntutan. "Tentu saja tidak, nak. Tapi ayah ini seorang anak untuk kakekmu. Apa tidak boleh seorang anak meminta sesuatu dari ayahnya?"
Vasko hanya menatap ayahnya dengan penuh kebencian, namun ia memilih untuk diam. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Dalam pikirannya, semua sudah jelas. Mereka tidak peduli pada keluarga, pada kakek yang sekarat, atau bahkan padanya. Semua yang mereka inginkan hanyalah kekayaan, dan itu adalah satu-satunya alasan mereka hadir.
Keheningan menyelimuti ruangan, dan Vasko hanya berdiri, menatap ayah dan pamannya dengan tatapan yang penuh amarah yang terpendam dalam diam.
Tiba tiba Dokter ke luar dan mengatakan bahwa kakeknya benar benar kritis dan mereka sudah tidak bisa menolongnya lagi. Vasko meraih tangan Dokter itu dan memohon padanya.
"Tolong lah dokter tolong ...."
Dokter Lexy meraih tangannya Vasko dengan sebuah helaan napas. "Kami akan berusaha." dia tidak pernah melihat Vasko sampai seperti ini. Kemudian Dokter Lexy melihat ke arah kedua anaknya kakek, ia hanya menghela napas pelan, karena ia tahu berul apa yang diharapkan kedua anaknya itu, mereka hanya mau warisan kakek saja.
Miris ... bisik hati Dokter Lexy.
Empat jam sudah berlalu ayah dan pamannya Vasko pulang karena mereka beralasan ada urusan. Vasko hanya mengangguk kecil saja. Ia tahu kalau mereka berdua memang tidak peduli pada kakeknya.
"Kenapa Tuan lama sekali?" tanya Selin pada Tedy.
"Aku tidak tahu." jawab Tedy. "Ayo kita masuk saja." ujar tedy.
Kemudian keduanya masuk dan Selin melihat Vasko sedang menunduk lesu. Selin tidak pernah memlihat pemandangan ini sebelumnya.
Gadis itu berdiri kaku karena ia sangat bingung. Kemudian tiba tiba vasko melihatnya dengan tatapan tajam sehingga Selin kaget, ia melihat kilatan marah di kedua sinar matanya Vasko.
"T-tuan vasko ... saya---"
"Siapa yang menyuruh mu ke sini!"