Sebuah Permintaan Kakek.

1097 Kata
Selin kembali ke ruangannya dengan perasaan campur aduk. Matanya terpaku pada kalung perak yang diberikan oleh Langit, benda kecil itu bersinar lembut di bawah cahaya lampu meja. Tangannya perlahan meraih kotak berisi kalung tersebut, lalu ia membuka lacinya dan menyimpannya di sana. “Mana mungkin aku membuangnya,” gumam Selin dengan nada yang penuh keraguan dan sedikit kesedihan. Perasaan aneh menguasai hatinya—bukan karena cinta, bukan karena harapan, tetapi karena sesuatu yang terasa lebih dalam dari sekadar pemberian. Kalung itu terasa... berarti, seperti sebuah pertanda yang sulit ia pahami. “Aku tidak akan membuangnya, namun aku akan menyimpannya dan mengembalikannya pada Tuan Langit,” ujarnya pelan, memutuskan dalam hati. Selin menutup laci, menyembunyikan kalung itu dari pandangan, dan bergegas keluar dari ruangannya. Sementara itu, Vasko berada di dalam kamar kakeknya, mendapati sang kakek sedang duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar dengan pandangan kosong. Udara malam yang tenang membuat suasana terasa lebih hening, dan Vasko memutuskan untuk menemui kakeknya setelah berjam-jam mengurung diri di kantor. “Kakek sedang apa?” tanya Vasko sambil perlahan duduk di kursi di samping ranjang, matanya memperhatikan wajah tua sang kakek yang penuh kerutan. “Kakek sedang berpikir...” jawab kakeknya pelan, menatap jauh ke luar. “Gadis yang tadi kakek temui di taman itu sangat baik dan juga cantik.” Vasko menautkan alisnya, sedikit heran. “Kenapa kamu memilih pelayan secantik itu?” tanya kakeknya, langsung menatap cucunya dengan penuh perhatian. “Karena dia membutuhkan pekerjaan,” jawab Vasko tegas, suaranya datar, tetapi ingatannya kembali ke saat pertama kali gadis itu datang ke rumahnya—diusir begitu saja oleh dua orang yang tanpa ampun membuangnya bagaikan barang tak berguna. Vasko masih ingat betul bagaimana gadis itu bisa berada di mansion ini. Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang membawanya dengan paksa, dan jika tidak ada dirinya yang melihat, mungkin gadis itu sudah menjadi korban yang lain. “Kakek menyukai gadis itu. Bolehkah dia jadi perawat kakek saja? Kakek ingin banyak bercerita, sedangkan kamu sangat sibuk,” ujar kakek dengan penuh harapan. Vasko terdiam, sedikit terkejut dengan permintaan kakeknya. “Mmm... kenapa harus dia?” tanya Vasko, mencoba menahan emosinya. “Kamu enggak suka kalau dia dekat sama kakek?” tanya sang kakek dengan penuh curiga. “Bukan begitu...” Vasko menghela napas. “Dia hanya seorang anak panti asuhan. Dia tidak tahu menahu soal menjaga seorang lansia. Aku takut dia tidak bisa menjaga kakek,” jawab Vasko jujur. Namun, sang kakek menggeleng dengan lembut. “Tapi menurut kakek, dia bisa menjaga kakek. Dia sangat baik dan juga sopan. Dia tadi menyelamatkan kakek, kamu tidak melihatnya?” Vasko terdiam, memikirkan kembali kejadian di taman tadi, di mana Selin dengan cekatan menahan kakeknya yang hampir jatuh. Ya, dia memang dengan cepat melindungi kakeknya, bahkan sebelum pelayan lain bisa bereaksi. “Justru pelayan yang kamu berikan itu malah pergi begitu saja, dia tidak menjaga kakek,” lanjut kakek, suaranya lembut tetapi penuh keyakinan. Vasko terdiam, menarik napas panjang. Hatinya berkecamuk. Ada sesuatu yang harus dia putuskan dengan segera. Saat ini, kakeknya sedang dalam bahaya. Paman dan ayahnya mungkin sedang merencanakan sesuatu yang sangat berbahaya. “Nanti aku akan pikirkan. Sekarang kakek tidur ya, karena ini sudah malam,” kata Vasko, akhirnya memutuskan. Sang kakek mengangguk perlahan, tetapi masih dengan senyum penuh harap. Vasko berdiri dan melangkah keluar dari kamar, meninggalkan kakeknya dengan pikirannya yang berkecamuk. Di sisi lain, Selin kembali ke ruangannya, menyimpan ingatan tentang kalung yang diberikan Langit. Di balik tanya-tanya yang berkelebat di pikirannya, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar menunggunya di mansion ini—sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya. Selin keluar dari kamarnya dan secara tidak sengaja bertemu dengan Vasko di ruang tengah. Laki-laki itu tampak begitu tenang, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang dalam. Vasko menghampirinya, tatapannya lembut, namun tidak kehilangan kesan dominannya. “Kamu belum tidur?” tanya Vasko, suaranya lembut, namun tetap mengandung sebuah perintah yang tidak bisa disangkal. “Belum, Tuan. Saya mau minum dulu,” jawab Selin sopan. “Oh, buatkan saya kopi. Bawa ke kamar saya,” ujar Vasko tanpa ragu. Selin mengangguk dengan patuh, kemudian perlahan melangkah ke arah dapur. Sementara Vasko melenggang santai ke ruang kerjanya, meninggalkan suasana yang begitu hening, namun terasa cukup tegang. Tedy yang sedang berada di ruang kerja melihat punggung Vasko yang penuh keangkuhan itu. Tanpa pikir panjang, Tedy langsung memberikannya beberapa rekaman dan foto. “Tuan, ternyata pengusuran itu dilakukan oleh Soraya,” ujar Tedy sambil menyodorkan bukti-bukti berupa rekaman dan potongan gambar. Vasko meraih tablet yang disodorkan Tedy. Matanya memindai dengan penuh perhatian, menemukan Soraya sedang berbicara dengan seseorang. Di layar itu, tampak jelas bagaimana tangan kanan Soraya mengarahkan suruhannya untuk memporak-porandakan panti asuhan tempat Selin pernah tinggal. Vasko mengepalkan tangannya dengan keras, perasaan kesal yang sulit terbendung. “Perempuan itu...” gumam Vasko dengan suara penuh amarah, tatapannya membara. “Nona Soraya sepertinya memang cemburu dengan kedekatan Anda bersama Nona Selin,” ujar Tedy dengan suara lembut tapi cukup menyengat, penuh ejekan tersirat. “Saya tidak memiliki hubungan apapun dengan Soraya. Perempuan itu kelakuannya aneh-aneh saja,” Vasko menjawab, suaranya dingin tetapi dalamnya penuh ketidaksabaran. “Tuan, saya punya saran. Bagaimana kalau kita temui lelaki suruhannya Soraya?” Tedy mengusulkan, menawarkan solusi. “Aku malas berurusan dengan banyak omong kosong. Kamu saja yang lakukan. Selesaikan cepat dan bangun kembali panti asuhan itu. Aku lelah,” Vasko memutuskan, suaranya penuh keputusasaan dan letih. “Baik, Tuan,” jawab Tedy patuh, sedikit tersenyum dengan penuh kemenangan kecil. Tiba-tiba, dari luar terdengar ketukan yang cukup pelan, membuat kedua laki-laki itu menatap ke arah pintu. Pintu itu perlahan terbuka, dan di sana berdiri Selin dengan membawa nampan kecil berisi kopi hangat. Wajahnya terlihat ramah, tetapi tak bisa disembunyikan sedikit pun ketulusan yang terpancar dari matanya. “Anda menyuruhnya membuat kopi?” Tedy bersuara sinis, menggerutu dengan nada kecewa yang dibuat-buat. “Bukankah saya yang selalu membuatkan kopi untuk Anda?” tanyanya lagi, dengan nada memprotes, tetapi Vasko hanya menekan keningnya, berusaha menahan diri agar laki-laki itu segera diam. Selin tersenyum kecil melihat tingkah konyol kedua laki-laki itu. Ia perlahan meletakkan nampan berisi kopi di atas meja, aroma kopi yang hangat mulai memenuhi ruangan. “Kamu ada waktu sebentar?” tanya Vasko, suaranya mengandung sebuah maksud tersembunyi ketika Selin hendak pergi. “Oh, iya, Tuan,” jawab Selin sopan. “Kamu keluar, saya ingin bicara dengan Selin!” ujar Vasko tegas, suaranya penuh wibawa, membuat Tedy hendak protes. Namun, akhirnya laki-laki itu terpaksa menyerah dan pergi dengan langkah berat, meninggalkan Vasko bersama Selin. Selin hanya menatap Tedy dengan anggukan hormat, sedikit mengejek di dalam hati melihat kelakuan mereka berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN