Selin kembali ke ruangannya dengan perasaan campur aduk. Matanya terpaku pada kalung perak yang diberikan oleh Langit, benda kecil itu bersinar lembut di bawah cahaya lampu meja. Tangannya perlahan meraih kotak berisi kalung tersebut, lalu ia membuka lacinya dan menyimpannya di sana. “Mana mungkin aku membuangnya,” gumam Selin dengan nada yang penuh keraguan dan sedikit kesedihan. Perasaan aneh menguasai hatinya—bukan karena cinta, bukan karena harapan, tetapi karena sesuatu yang terasa lebih dalam dari sekadar pemberian. Kalung itu terasa... berarti, seperti sebuah pertanda yang sulit ia pahami. “Aku tidak akan membuangnya, namun aku akan menyimpannya dan mengembalikannya pada Tuan Langit,” ujarnya pelan, memutuskan dalam hati. Selin menutup laci, menyembunyikan kalung itu dari pand

