Tatapan Elang Yang Membakar.

1130 Kata
Tiba-tiba ruangan menjadi hening setelah Tedy pergi. Selin dengan ragu memasuki ruang kerja Vasko, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam atmosfer ruangan itu—entah karena aroma kayu cendana yang memenuhi udara atau tatapan tajam yang segera tertuju padanya. "Apakah aku terlalu menyeramkan?" Suara Vasko terdengar tenang, tetapi ada nada menggoda yang terselip di sana. Laki-laki itu duduk di kursi kebesarannya, tampak seperti seorang pangeran dari dongeng lama, dengan aura aristokrat yang begitu mengintimidasi. Cahaya dari lampu kristal di langit-langit membiaskan kilauan lembut di wajahnya yang tampan—rahang tegas, mata tajam, dan bibir yang melengkung tipis, seolah menyimpan seribu rahasia. Selin tersenyum gugup, bibirnya sedikit bergetar ketika ia menggeleng kecil. "Tentu saja tidak, Tuan. Anda sangat menawan." Ia langsung menyesali ucapannya begitu kata-kata itu meluncur dari bibirnya. Sial, bagaimana mungkin ia mengatakannya dengan begitu blak-blakan? Wajahnya merona dalam sekejap, sementara tangannya dengan refleks menutupi mulutnya, seakan bisa menarik kembali perkataannya yang terlanjur terdengar. Vasko berdeham kecil, seolah menelan sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya. Ada kilatan aneh di matanya, campuran antara terkejut dan... tertarik? "Oh, maaf, Tuan. Saya salah bicara," gumam Selin, menundukkan kepalanya. Vasko tersenyum samar. "Oh, baiklah. Kita lanjut ke intinya saja." Selin mengangguk pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berlarian tak tentu arah. "Apa itu, Tuan?" "Begini." Vasko bersandar sedikit di kursinya, jemarinya yang panjang mengetuk permukaan meja dengan irama pelan. "Kakekku ingin sekali menjadikan kamu sebagai perawat pribadinya." Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka. Selin mendengarkan dengan seksama, tetapi yang lebih mengganggunya bukanlah permintaan itu, melainkan cara Vasko menatapnya. Mata kelam itu menelusuri wajahnya dengan begitu intens, seolah hendak membaca pikirannya, menyelami setiap emosi yang berusaha ia sembunyikan. Jantung Selin mencelos, dan dengan buru-buru ia mengalihkan tatapannya ke arah lain, pura-pura tertarik pada vas bunga di sudut ruangan. Vasko memperhatikannya dengan tajam. "Apa kamu tidak nyaman berada satu ruangan dengan saya?" tanyanya, suaranya sedikit lebih pelan, lebih dekat, seolah ingin menembus pertahanannya. Selin menelan ludah. Ia tahu jawabannya. Bukan karena ia merasa takut, tapi justru karena ada sesuatu dalam kehadiran Vasko yang membuatnya gelisah—sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang bisa mengguncang hatinya jika ia tidak berhati-hati. Berikut versi yang telah dilengkapi dengan prosa ungu: --- Mau berkata nyaman, Selin takut Vasko menyalahartikannya. Begitu pun jika ia bilang tidak nyaman, ia tidak ingin Vasko tersinggung. Alhasil, gadis jelita itu hanya terdiam dengan bibirnya yang sedikit terbuka, seakan kata-kata telah tersangkut di tenggorokannya. Udara di ruangan itu terasa lebih berat, seolah dipenuhi ketegangan yang tak kasatmata. "Ah, menyedihkan sekali," gumam Vasko, suaranya rendah namun tajam seperti pisau yang mengiris keheningan. Selin terkejut, matanya yang bening membesar, memantulkan cahaya lampu kristal yang menggantung megah di atas kepala mereka. "Jadi, kakekku ingin kamu menjadi perawatnya. Apa kamu mau?" tanya Vasko, suaranya terdengar datar, namun sorot matanya menelusuri wajah Selin dengan intensitas yang sulit diartikan. Selin menggigit bibirnya ragu. "Saya merasa tidak cukup berpengalaman, namun saya akan mencoba dengan sebaik mungkin," ujarnya dengan suara yang nyaris bergetar. Vasko mengangguk pelan, ekspresinya sulit ditebak. "Yah, itu bagus. Jadi, apakah kamu sudah membuang kalung pemberian laki-laki itu?" Tiba-tiba, ingatannya melayang pada kilauan perak yang pernah tergantung di leher Selin—hadiah dari Langit. "Oh, itu ya..." Selin mengerjap, kebingungan menyelimuti wajahnya yang lembut. "Kamu belum membuangnya?" Nada suara Vasko naik sedikit, ada keterkejutan yang ia tak bisa sembunyikan. "Apakah saya benar-benar harus membuangnya?" tanyanya ragu, jemarinya saling meremas di pangkuannya. "Tentu saja." Selin menunduk, sudut bibirnya menegang. "Saya merasa jahat," bisiknya lirih, seperti ada sesuatu yang menyayat batinnya. "Kamu ini..." Vasko mendesis, suaranya mengandung butiran emosi yang sulit diterka. Dia menghela napas berat, lalu mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Ya sudahlah, kamu pergi saja ke ruanganmu. Jangan lupa, mulai besok kamu harus menjaga kakekku." "Baiklah, Tuan. Kalau begitu, saya izin keluar dulu," ujar Selin dengan nada sopan sebelum melangkah keluar dari ruangan Vasko. Vasko hanya mengangguk, lalu bersandar ke kursinya dengan desahan napas pendek. Matanya menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu bergumam pelan, "Gadis itu jahat sekali." Suaranya dipenuhi sesuatu yang lebih dari sekadar kekecewaan—ada getir yang samar, ada perasaan yang enggan ia akui. Berikut adalah versi yang telah dilengkapi dengan prosa ungu: --- Pagi merekah dengan lembut, diiringi embun yang berkilauan di atas kelopak bunga dan dedaunan. Udara segar membawa aroma tanah basah dan bunga yang baru bermekaran. Selin berdiri di tengah taman, jemarinya yang ramping memetik bunga mawar satu per satu dengan hati-hati. Ia ingin membawanya ke ruangan kakek, membiarkan warna merah jambu yang lembut itu menghangatkan suasana di dalam sana. Dari jendela besar di kamar mewahnya, Vasko mengamati pemandangan itu dengan intensitas yang nyaris menelanjangi setiap gerakan Selin. Cangkir kopi hangat berada di tangannya, uapnya mengepul perlahan, menyatu dengan embusan napasnya yang dalam. Mata elangnya menelusuri setiap gerakan gadis itu—cara rambutnya tertiup angin pagi, bagaimana jemarinya yang mungil menyentuh kelopak bunga dengan kelembutan yang hampir puitis. Ada sesuatu di sana yang membuat Vasko terpaku, seolah ada magnet tak kasatmata yang menahannya untuk beranjak. "Sampai kapan Anda akan terus menatapnya?" Tedy menyela dengan nada menggoda, sebuah senyum penuh arti bermain di sudut bibirnya. Vasko menoleh sekilas, menatapnya tajam seperti bilah belati. "Apa kamu sedang tidak ada kerjaan?" balasnya dengan nada yang menyiratkan peringatan halus. Tedy hanya terkekeh, tak gentar sedikit pun. "Pekerjaan?" Ia mendengus geli. "Sepertinya Anda yang sedang tidak ada pekerjaan. Anda sadar jadwal Anda hari ini sangat padat, bukan?" Vasko mendengus malas, lalu meletakkan cangkir kopinya di atas meja dengan sedikit lebih kasar dari yang seharusnya. "Ah, kamu memang sangat menyebalkan!" Tedy menatapnya penuh kemenangan. "Gadis itu bisa hancur karena tatapan Anda, Tuan," ledeknya lagi, sengaja menekan kata-katanya seakan ingin membuat Vasko semakin gelisah. Vasko menatapnya dengan sorot kesal, tapi ada sesuatu di matanya yang terselubung rapat, sesuatu yang bahkan tak ingin ia akui. "Kamu pikir aku menatapnya?" desisnya, tapi suaranya terdengar lebih seperti bantahan untuk dirinya sendiri. Tedy mengangkat alis, seolah telah menangkap sesuatu yang tersembunyi. "Apa Anda sungguh tidak mau mengakuinya?" Vasko mendengus frustrasi, menyapu wajahnya dengan satu tangan. "Ah, sejak kapan kamu jadi sangat menyebalkan seperti ini?" keluhnya. "Sepertinya kamu minta dipotong gaji." Tedy merengut, tapi tatapan jahilnya masih melekat di wajahnya. Vasko hendak menjauhi jendela, namun langkahnya terhenti seketika. Kedua matanya membesar saat melihat Selin hampir limbung, tubuhnya oleng seolah kehilangan keseimbangan. Seketika, napas Vasko tertahan. Tubuhnya menegang, jantungnya berdetak lebih cepat dari yang seharusnya. "Ayolah, Tuan... dia bukan anak kecil," bisik Tedy, matanya mencuri pandang ke arah ekspresi Vasko yang kini tampak jauh lebih cemas dari sebelumnya. Wajah tampan Vasko mendadak memerah, dan ia menatap Tedy dengan geram. Karena sialnya, ia tahu bahwa kata-kata itu tepat mengenai sasaran—menikam tepat di dalam hatinya. "Sepertinya aku benar-benar harus memotong gajimu!" tukasnya tajam, tapi kali ini, suaranya mengandung sesuatu yang lain. Sesuatu yang bahkan ia sendiri masih berusaha untuk mengabaikannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN