Rasa Sakit Yang Dalam.

1221 Kata
Membawa bunga ke ruang Kakek, Selin tiba-tiba merasakan kepalanya berdenyut ringan, seperti ada gelombang halus yang beriak di dalamnya. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar, dan ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengusir rasa pening yang mendadak menyergap. "Kenapa kepalaku pusing?" gumamnya dalam hati. Ia menepuk-nepuk pelan keningnya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aroma mawar yang masih melekat di jemarinya terasa menenangkan, seperti embusan angin senja yang membelai lembut daun-daun di taman. Namun, ia tak ingin membuang waktu lebih lama. Dengan menguatkan dirinya, Selin mengetuk pintu perlahan, lalu mendorongnya terbuka. Cahaya keemasan pagi menyusup dari jendela besar, melukis siluet tubuh Kakek yang duduk diam, menatap ke luar dengan sorot mata yang seakan menembus waktu. Di luar sana, taman kecil itu tampak indah dalam bias cahaya, kelopaknya bergetar diterpa angin, seolah menari dalam bisikan kenangan. "Kakek sudah bangun?" suara Selin terdengar lembut saat ia melangkah masuk. Dengan hati-hati, ia meletakkan bunga-bunga mawar ke dalam vas, jemarinya merapikan susunannya dengan penuh kelembutan, sebelum akhirnya menempatkan vas itu di atas meja kecil di samping Kakek. Lelaki tua itu menoleh perlahan, senyum hangat mengembang di wajahnya yang telah dihiasi guratan waktu. "Anak nakal," ujarnya dengan nada menggoda, matanya yang penuh kebijaksanaan memicing sejenak. "Siapa yang menyuruhmu memetik bunga-bunga itu, hmm?" Selin tersenyum simpul, matanya berbinar seperti bias cahaya di permukaan sungai. "Apakah tidak boleh, Kakek?" tanyanya polos. Kakek tertawa kecil, suara seraknya terdengar seperti gesekan lembut daun kering di musim gugur. "Boleh, kok. Kakek suka," katanya sambil menepuk kursi di sebelahnya, memberi isyarat agar Selin duduk. Selin menurut, membiarkan keheningan sesaat menyelimuti mereka, hanya suara angin yang bermain di antara dedaunan di luar jendela. "Kamu tahu," ujar Kakek tiba-tiba, suaranya penuh kelembutan. "Dulu, istriku juga sangat suka memetik bunga-bunga itu. Melihatmu melakukannya… mengingatkanku padanya." Selin menatap wajah Kakek yang kini diliputi bayang-bayang kenangan. Ada sesuatu di sana—sebuah kerinduan yang dalam, tersimpan di balik sorot matanya yang berkabut nostalgia. Gadis itu terdiam, membiarkan kata-kata Kakek menggantung di udara, seperti kelopak mawar yang jatuh perlahan ke tanah, membawa harum kenangan yang tak pernah benar-benar pudar. "Nenek pasti sangat cantik," ujar Selin, suaranya lembut, sehalus bisikan angin yang menyentuh kelopak bunga di taman. Kakek mengangguk pelan, sorot matanya mengembara ke masa lalu, ke kenangan yang telah lama terpatri di lubuk hatinya. Ada kesedihan di sana, samar namun dalam, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang. "Kamu lihat kan Vasko? Dia sangat tampan. Itu di wajahnya, anak nakal itu… ada wajah neneknya yang sangat cantik," lanjut Kakek, suaranya mengandung nada haru yang tak bisa disembunyikan. Selin tersenyum, matanya berbinar kagum. Bayangan seorang wanita lembut dan anggun tergambar dalam benaknya, seseorang yang telah menjadi bagian dari sejarah keluarga ini, meninggalkan jejak abadi dalam darah dan wajah keturunannya. "Nenek meninggal saat melahirkan pamannya Vasko," lanjut Kakek, suaranya semakin lirih, seakan setiap kata yang keluar membawa serpihan rasa sakit yang belum sepenuhnya pudar. "Setelah kepergiannya, Kakek tidak mau lagi menikah. Aku hanya ingin merawat kedua anakku, memberikan mereka kasih sayang yang tersisa dalam diri ini. Tapi..." Kakek terdiam. Bahunya yang renta tampak bergetar pelan, matanya menunduk, seperti menatap beban berat yang tak terlihat di tangannya yang kini ikut bergetar. Seakan-akan kesedihan yang selama ini ia pendam terlalu lama kini mulai merembes keluar, seperti air yang akhirnya meluap dari bendungan yang retak. "Kedua anak itu…" suara Kakek pecah, bibirnya bergetar menahan emosi. "Sepertinya mereka membenciku… dan ingin membunuhku." Kata-kata itu meluncur seperti pisau yang merobek keheningan ruangan. Selin terdiam, hatinya mencelos mendengar pengakuan yang begitu memilukan. Tanpa ragu, ia meraih kedua tangan Kakek, menggenggamnya dengan erat, memberikan kehangatan yang tersisa dari dirinya. Jemarinya yang kecil terasa lembut di kulit keriput lelaki tua itu, seolah-olah ingin menyalurkan kekuatan yang telah lama hilang darinya. Air mata jatuh dari sudut mata Kakek, dua tetes yang meluncur perlahan seperti embun di ujung daun. Selin segera mengusapnya dengan ujung jarinya, senyum lembut mengembang di wajahnya. "Kakek…" panggilnya dengan nada penuh kasih. "Ayo kita jalan-jalan ke taman. Matahari pagi sangat bagus untuk Kakek." Ia tersenyum, secerah cahaya yang menembus jendela, mencoba mengusir mendung yang menggantung di hati lelaki tua itu. Kakek menatapnya, mata berkabut itu sedikit lebih jernih sekarang. Ia mengangguk pelan, menghela napas panjang sebelum akhirnya menerima uluran tangan Selin. Di balik pintu, Vasko berdiri diam. Wajahnya datar, tak menunjukkan ekspresi apa pun, namun matanya berkata sebaliknya. Ada kesedihan di sana, tertahan, mendalam. Ia menyaksikan kakeknya dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—patah hati, terluka oleh orang-orang yang seharusnya mencintainya. Giginya terkatup rapat, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Sebuah tekad mulai berakar dalam hatinya, sebuah api kecil yang menyala, menyalakan sesuatu dalam dirinya—keinginan untuk melakukan sesuatu, untuk tidak membiarkan kakeknya terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kesedihan. *** Vasko memasuki ruang kerjanya, langkahnya tegap namun penuh beban yang tak kasat mata. Cahaya matahari sore menerobos dari jendela besar di belakang meja, menciptakan siluet tajam di ruangan yang dipenuhi rak-rak buku dan tumpukan dokumen. Di sana, Tedy sudah lebih dulu sibuk dengan berkas-berkas yang harus segera ditangani. Lelaki itu bekerja dengan cekatan, jemarinya bergerak cepat di atas tumpukan kertas, matanya fokus pada layar laptop, namun begitu melihat Vasko masuk, ia segera berdiri. "Saya baru saja menerima telepon dari security," kata Tedy, nada suaranya terukur, seolah berusaha membaca reaksi tuannya sebelum melanjutkan. "Ayah dan paman Anda meminta izin untuk masuk ke dalam." Ruangan mendadak terasa lebih sunyi. Vasko tidak langsung menanggapi, hanya berdiri diam dengan tatapan kosong yang sulit diterjemahkan. Ada sesuatu di matanya—bukan keterkejutan, bukan kemarahan yang meledak-ledak, melainkan sesuatu yang lebih dingin, lebih dalam. Ia sudah lama melarang ayah dan pamannya datang ke mansion ini, bukan tanpa alasan. Semua ini ia lakukan demi keamanan Kakek. Demi seseorang yang benar-benar peduli padanya, yang tidak pernah menganggapnya sebagai sekadar pewaris atau alat. "Untuk apa mereka ke sini?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Tedy menelan ludah sebelum menjawab. "Saya tidak tahu. Mungkin… mereka ingin menengok Kakek." Vasko tertawa kecil—bukan tawa bahagia, bukan pula tawa yang mencerminkan kehangatan keluarga, melainkan tawa yang getir, penuh ironi. Ia mengangkat alisnya sedikit, sudut bibirnya tertarik ke atas, tetapi bukan dalam ekspresi gembira. "Sejak kapan mereka mengkhawatirkan Kakek?" gumamnya sinis, suaranya bergetar halus, hampir seperti angin dingin yang berbisik di tengah malam. Tedy terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia tahu, lebih dari siapa pun, bahwa hubungan keluarga ini lebih rumit dari yang terlihat di permukaan. Luka lama yang belum sembuh, dendam yang masih tertanam, dan kepercayaan yang telah lama hancur. "Jadi bagaimana, Tuan? Apakah saya harus mengizinkan mereka masuk?" tanyanya hati-hati, matanya memandang wajah Vasko yang tetap dingin, tak tergoyahkan. Vasko menghela napas panjang, kemudian melangkah menuju sofa besar di sudut ruangan. Ia menjatuhkan dirinya dengan elegan, bersandar santai, meskipun ada ketegangan yang jelas di garis rahangnya. Mata tajamnya menatap langit-langit sebentar sebelum akhirnya ia memejamkan mata sesaat, seperti sedang menimbang sesuatu yang sebenarnya tak perlu dipertimbangkan. Kemudian, dengan suara rendah namun penuh ketegasan, ia berkata, "Usir saja." Jawaban itu membuat Tedy terdiam, matanya mengerjap bingung. Ia hampir tak percaya dengan betapa mudahnya Vasko mengucapkannya, seolah yang diusir bukanlah ayah dan pamannya sendiri, melainkan orang-orang asing yang tak pernah memiliki ikatan darah dengannya. Tetapi, mungkin memang begitulah adanya. Mungkin bagi Vasko, mereka memang tak lebih dari sekadar orang asing—orang asing yang pernah memberinya luka yang tak bisa dihapus oleh waktu. "Baik, tuan." ujar Tedy dengan segera meraih ponselnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN