"Saya mau ke kantor, kamu tolong jaga Kakekku," ujar Vasko dengan nada tenang namun tegas.
"Oh, baiklah, Tuan," jawab Selin patuh, mengangguk sopan.
Tatapan Vasko berpindah sekilas ke Tedy sebelum akhirnya ia melangkah pergi lebih dulu menuju lift, meninggalkan Selin dan Kakek yang tengah menikmati makan siang mereka. Seperti biasa, Vasko hanya ke kantor di siang hari—hanya setelah memastikan bahwa Kakek ada di mansion dalam kondisi baik. Ia tidak mau menghabiskan terlalu banyak waktu di luar dan meninggalkan lelaki tua itu sendirian dalam sakitnya.
Begitu lift tertutup di balik Vasko dan Tedy, Kakek mendesah pelan, meletakkan sendoknya di pinggir piring. Matanya yang penuh pengalaman menatap lurus ke arah pintu lift yang kini sunyi.
"Kamu lihat anak itu," gumamnya, suaranya mengandung keluhan bercampur kehangatan. "Dia cuek sekali padaku."
Selin tersenyum kecil seraya meniupkan uap dari semangkuk sup di tangannya. Ia menunduk sedikit, lalu dengan lembut meniup sup itu sebelum menyodorkannya kepada Kakek.
"Tuan Vasko sepertinya hanya sedang sibuk, Kakek," ucapnya dengan suara menenangkan. "Tapi beliau selalu memperhatikan Anda, meskipun caranya mungkin tidak selalu terlihat."
Kakek mendengus kecil, matanya menyipit penuh protes. "Ah, kamu ini, selalu saja membelanya," katanya dengan nada gemas.
Selin terkikik, lalu dengan cekatan mengambil sepotong pepes ikan dari piring dan menunjukkannya kepada Kakek. "Kakek mau lagi ikannya?" tanyanya penuh antusias.
Mendengar itu, Kakek mengerutkan dahi, mulutnya bergerak membentuk ekspresi protes yang menggemaskan. "Kamu ini! Kenapa semuanya serba dipepes?" keluhnya, melipat tangan di d**a. "Aku juga mau ikan goreng atau ikan yang di-lodeh."
Selin sedikit melebarkan mata indahnya, seolah tak percaya mendengar keluhan itu. "Karena ini lebih sehat untuk Kakek," ujarnya mantap. "Nutrisinya lebih baik untuk kesehatan Kakek."
Kakek menghela napas panjang, lalu menatap Selin dengan ekspresi sulit ditebak. "Kamu sama saja seperti anak itu," katanya akhirnya, meskipun ada sesuatu dalam suaranya—bukan benar-benar kesal, melainkan kehangatan yang samar. Ada rasa haru yang menyelusup di dadanya, menyadari betapa Selin memperhatikannya, merawatnya, seperti almarhum istrinya dulu.
Namun, kehangatan itu tak bertahan lama.
Bersamaan dengan bunyi dentingan lift yang terbuka, suasana ruangan mendadak terasa berubah. Kehangatan makan siang seakan-akan diselimuti hawa dingin yang tiba-tiba menyusup masuk. Selin yang tengah menuangkan teh untuk Kakek refleks menoleh, dan mendapati dua sosok yang selama ini menjadi bayang-bayang gelap bagi Vasko—ayah dan pamannya.
Gadis itu terkejut, namun dengan cepat ia menguasai dirinya. Dengan sopan, ia segera berdiri dan menundukkan kepala sedikit.
"Selamat siang, Tuan Besar," sapanya, suaranya tetap tenang meskipun ada ketegangan halus yang menyelusup di baliknya.
Ayah Vasko melangkah masuk dengan langkah lambat dan penuh wibawa, matanya yang tajam langsung mengamati Selin dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah menilainya dalam sekejap.
"Siang," ucapnya akhirnya, suaranya berat dan dalam. Lalu, dengan nada yang lebih rendah, ia bertanya, "Namamu?"
"Saya Selin, Tuan Besar," jawab Selin cepat, menegakkan punggungnya sedikit, menunjukkan sikap profesional.
"Oh…" pria itu mengangguk kecil, ekspresinya sulit ditebak. "Saya ayahnya Vasko. Kamu pasti sudah tahu itu."
Selin hanya mengangguk sopan, tidak berani mengatakan lebih.
Tanpa menunggu lebih lama, lelaki tua itu menarik kursi dan duduk tepat berhadapan dengan Kakek, diikuti oleh adiknya yang ikut duduk di sampingnya. Keduanya menatap lelaki tua yang tengah makan siang dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan—apakah itu rasa hormat, kepedulian, atau justru sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap?
Selin menelan ludah. Suasana yang semula hangat kini terasa dingin, seolah ada sesuatu yang mengintai di udara, sesuatu yang belum terucap, tetapi begitu nyata keberadaannya.
Ruangan yang semula hanya dipenuhi suara denting sendok dan piring kini diselimuti ketegangan yang begitu pekat. Udara terasa lebih berat, seolah dihimpit oleh kehadiran dua sosok yang membawa hawa dingin ke dalam mansion.
"Bisa kah kamu meninggalkan kami berdua?" suara berat ayah Vasko memecah keheningan, nadanya penuh perintah, bukan permintaan.
Selin menegakkan punggungnya, matanya menatap pria itu dengan hormat, tetapi tetap teguh dalam pendiriannya. Ia menggelengkan kepala pelan, tetapi pasti. "Maaf, Tuan Besar. Tuan Muda melarang saya untuk meninggalkan Kakek," jawabnya, nada suaranya tetap sopan, meskipun ada ketegasan yang tak bisa disembunyikan.
Sejenak, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Ayah Vasko menatapnya tajam, ekspresinya sulit ditebak, tetapi jelas menunjukkan ketidaksenangan.
"Saya ini bos di rumah ini juga," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih rendah, tetapi memiliki tekanan yang lebih tajam. "Bagaimana bisa kamu menolak semua permintaan saya?"
Di sampingnya, sang adik—paman Vasko—ikut menimpali dengan nada yang tak kalah menusuk. "Iya. Kami ini keluarganya Vasko. Kalau kamu bisa menghormati Vasko, itu artinya kamu juga harus menghormati kami," ujarnya, matanya menatap Selin dengan sorot meremehkan.
Selin menelan ludah, merasa tekanan yang begitu besar mengimpitnya. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur begitu saja. Ia menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian yang ia miliki, sebelum akhirnya berkata, "Maaf, Tuan Besar. Saya tidak bisa meninggalkan Kakek. Kalau kalian ingin bicara di sini, maka bicaralah di sini."
Tak ada yang menyangka bahwa jawaban itu akan menyulut amarah.
Dengan gerakan cepat, paman Vasko tiba-tiba berdiri, lalu tanpa peringatan, tangannya melayang dan menampar wajah Selin dengan keras.
*Plak!*
Suara tamparan itu menggema di dalam ruangan, menghantam udara dengan begitu brutal hingga membuat waktu terasa berhenti sesaat. Selin terhuyung ke belakang, merasakan panas yang membakar di pipinya. Napasnya tercekat, tetapi ia tetap berdiri tegak, menolak untuk menunjukkan kelemahan.
"Lancang kamu!" suara paman Vasko meledak, penuh kemarahan dan arogansi.
Di meja makan, Kakek yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menatap kedua anaknya dengan kesedihan yang begitu dalam. Entah sejak kapan mereka berubah menjadi monster seperti ini—manusia yang kehilangan hati mereka sendiri.
Ia mengalihkan pandangannya pada Selin, melihat bagaimana gadis itu berusaha menahan air matanya, meskipun luka di bibirnya yang pecah dan pipinya yang memerah tak bisa disembunyikan. Hatinya mencelos.
"Nak, kamu keluar saja," suara Kakek bergetar, penuh kasih sayang. "Biar Kakek bicara dengan mereka."
Namun, Selin menggeleng. Kali ini lebih kuat. Matanya, meskipun masih berkabut oleh air mata yang tertahan, tetap teguh. Ia menegakkan punggungnya, lalu menatap lurus ke arah dua pria di depannya.
"Anda memang paman dan ayahnya Tuan Muda," suaranya terdengar tenang, tetapi ada api yang membara di dalamnya. "Tapi bukan kalian berdua yang memberikan upah pada saya. Jadi, kalian tidak bisa seenaknya memperlakukan saya seperti ini!"
Suaranya bergetar sedikit, tetapi bukan karena takut—melainkan karena kemarahan yang ia tahan sekuat tenaga. Ia bisa merasakan darahnya yang mulai mengalir dari bibir yang pecah, tetapi ia tidak peduli.
Ia tidak akan mundur.
Di hadapannya, kedua pria itu menatapnya dengan tatapan tajam, tetapi Selin tidak bergeming. Ia bukan siapa-siapa, bukan orang penting di rumah ini. Namun, ia memiliki harga diri. Dan harga dirinya tidak akan pernah bisa diinjak-injak oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang menganggap dirinya berkuasa.
"Dasar lancang!" Pamannya Vasko kembali hampir menampar Selin, namun lift terbuka menghadirkan Vasko di ikuti oleh Tedy.
"Ada apa ribut ribut!"