Gengsi Setinggi Himalaya

1281 Kata
Pagi itu, matahari baru saja menyapa bumi dengan sinar lembutnya. Udara masih segar, aroma kopi dan roti panggang mengalun tenang di antara deru suara sendok dan cangkir. Selin dan Langit duduk bersisian di sudut kafe yang hangat, membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih banyak dari seribu kata. Namun kedamaian itu seketika retak, seperti kaca yang dibanting ke lantai tanpa ampun. Tiba-tiba, tangan seorang perempuan mencengkeram rambut Selin dengan kasar, seperti badai yang datang tanpa aba-aba. Rambut hitam Selin terjambak, tubuhnya tertarik ke belakang, dan makian menghujani telinganya seperti hujan asam yang menyakitkan. Selin terkesiap. Matanya membelalak, jantungnya melonjak tak karuan. Ia tidak sempat membela diri, hanya bisa terpaku dalam keterkejutan yang membeku. Langit sontak berdiri. Napasnya memburu, sorot matanya mengeras seperti baja. Dengan sigap, ia memisahkan tangan si perempuan dari rambut Selin, gerakannya tegas dan penuh amarah yang ditahan. “*Anda sepertinya gila!*” ucap Langit, nadanya dingin namun menusuk. Matanya mengunci pandangan perempuan itu, tak sedikit pun memberi ruang untuk bermain perasaan. Perempuan itu menggertakkan gigi, matanya basah namun penuh api. “*Kamu kenapa selingkuh! Dia ini siapa?!*” Suaranya gemetar, perpaduan antara cemburu dan kepedihan. Ada nada merajuk, seperti anak kecil yang merasa mainannya dirampas. Selin terdiam. Suaranya tercekat di tenggorokan. Dari tatapan perempuan itu, ia mengerti—mungkin wanita ini adalah kekasih Langit. Dan pemikiran itu menghantamnya seperti gelombang pasang. Ia pun segera menarik diri, menjauh dari Langit, seperti daun gugur yang tertiup angin musim gugur. Langit menyaksikan itu dengan getir. Ada luka di matanya yang tak sempat ia sembunyikan. Ia ingin menggenggam tangan Selin, ingin mengatakan bahwa perempuan itu bukan siapa-siapa, bahwa hatinya hanya berlabuh pada Selin. Tapi ia tahu, ia tak punya hak. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah menarik napas pendek, menahan badai dalam dadanya sendiri. “*Ada apa, Pak Langit? Apa ada masalah?*” suara seorang pria gemuk memecah ketegangan. Manajer kafe itu datang, wajahnya bingung, matanya menelusuri situasi yang penuh bara. “*Tolong usir perempuan ini,*” kata Langit, suaranya tegas, nyaris dingin. Ia menatap wanita itu tanpa ragu, seolah telah menutup pintu yang sempat ia buka. Perempuan itu, ternyata, adalah klien terakhirnya. Ia baru saja selesai dibimbing Langit melewati perceraian yang penuh luka. Namun siapa sangka, dari percakapan-percakapan hangat dan perhatian profesional itu, tumbuh benih rasa yang tak seharusnya. Langit menghela napas, berat seperti langit mendung yang menahan hujan. Ia tidak pernah mengizinkan hatinya bermain dalam urusan klien. Tapi dunia kadang berjalan tanpa aturan, dan hari itu, segalanya meledak seperti bom waktu yang tak sempat ia jinakkan. --- Sementara itu, di balik tembok kaca yang tinggi menjulang dan dinding ruangan kerja yang dipenuhi aura kekuasaan dan teknologi tercanggih, Vasko bersandar santai di kursi kulit hitamnya. Senyum tipis menggantung di sudut bibirnya, penuh teka-teki, seperti malam yang menyembunyikan rahasia di balik bintang. Di pangkuannya, sebuah tablet menayangkan rekaman CCTV dari sebuah kafe yang kini riuh oleh drama kecil—drama yang hanya menjadi hiburan sepele bagi lelaki sepertinya. Tentu saja, ia bisa melihat semuanya. Vasko memiliki akses ke setiap sudut kota ini, seperti dewa modern yang mengendalikan mata-mata digitalnya dari menara gading. Tidak ada yang luput dari pengamatannya. Tidak Selin, tidak Langit, tidak pula perempuan pengganggu yang emosinya meledak di tengah pagi yang harusnya damai. “Tuan, sepertinya Nona Selin akan trauma,” ujar Tedy dengan nada tenang namun penuh empati. Pria tampan itu berdiri seperti patung kesetiaan, sosok yang setia pada perintah namun tetap menyimpan naluri perasaan. Vasko hanya mengangkat satu alis. Kekehannya terdengar ringan, tapi menyimpan sinisme yang menusuk. “Siapa suruh dia dekat-dekat sama buaya itu?” ucapnya dingin, seolah semua ini hanya potongan kecil dari permainan catur yang telah ia rancang sejak lama. Ia menyandarkan tubuhnya—tegap, kuat, penuh wibawa—ke punggung kursi yang terbuat dari kulit Italia. Matanya mengarah pada langit-langit ruangan, sejenak membiarkan pikirannya melayang ke arah gadis yang kini mungkin sedang menggenggam kepedihan. “Apakah saya harus menjemputnya?” tanya Tedy, tetap sopan dan siaga, suaranya serupa desiran angin sebelum badai. “Tidak perlu,” jawab Vasko, datar, nyaris dingin. Tak ada getaran ragu dalam ucapannya. Ia bukan pria yang mudah tergerak oleh emosi, bahkan untuk seorang Selin. Tedy mengangguk pelan, memahami ritme batin atasannya yang kerap berjalan di antara batas logika dan keangkuhan. “Jelaskan semua agenda saya hari ini,” ujar Vasko kemudian, suaranya seperti perintah dari singgasana raja modern. Tedy segera meraih tab-nya, jemarinya lincah menari di atas layar. Di layar itu tercantum seluruh pergerakan Vasko hari ini—setiap pertemuan, setiap keputusan, bahkan waktu untuk diam. “Kita akan meeting dengan pihak Gold Entertainment,” ujar Tedy, suaranya seperti pembuka tirai panggung yang lebih besar. “Hanya itu saja?” tanya Vasko, alisnya terangkat, menyiratkan ketidakpuasan. “Oh, masih banyak, Tuan. Itu hanya salah satunya,” jawab Tedy, dengan nada setengah menggoda, setengah waspada. Vasko meliriknya tajam, memberikan tatapan yang dingin tapi menggoda—seperti kilatan petir di langit malam. “Menyebalkan,” gumamnya, namun tak bisa menyembunyikan senyum setipis pisau yang melintas di sudut bibirnya. Dan pagi itu, di balik tirai dunia yang tampak tenang, Vasko kembali mengatur langkahnya. Seorang pria yang tahu terlalu banyak, memiliki terlalu banyak, dan menyimpan terlalu dalam. --- “Saya kasihan sama Nona Selin,” ucap Tedy lirih, namun cukup jelas untuk menggetarkan udara di ruangan mewah itu. Suara yang jatuh seperti bulir hujan di atas kaca—hati-hati, penuh perhitungan, namun tak bisa menyembunyikan kekhawatiran tulus di dalamnya. Tatapan Vasko segera menajam, menyipitkan mata seperti elang yang merasa wilayahnya terusik. Wajahnya menegang, bibirnya menegang, dan dingin menyelimuti atmosfer ruangan itu. “Kamu menyukainya?” tanyanya, dingin seperti angin kutub, setiap katanya membawa ancaman yang tidak terucapkan. Tedy nyaris tersedak. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, seperti seorang pendosa yang tertangkap basah dalam gereja kosong. “No, Tuan! Mohon, jangan salah paham,” ujarnya tergesa, nada suaranya nyaris panik, seperti anak buah yang takut terpeleset di atas kapal yang nakhodanya mudah murka. Vasko hanya menatapnya sejenak, lalu tertawa—tapi bukan tawa bahagia. Tawa itu sinis, tipis, tajam seperti sembilu. Ia menggeleng perlahan, seolah menertawakan betapa dunia ini bisa menjadi begitu bodoh. “Saya tidak peduli,” katanya datar. Ucapannya jatuh seperti palu godam, menghancurkan ruang untuk diskusi. Namun tentu saja, Tedy tahu lebih banyak dari yang ia tunjukkan. Ia sudah terlalu lama berada di sisi lelaki itu. Ia tahu, di balik sikap dingin dan suara yang nyaris tanpa intonasi itu, tersembunyi sesuatu yang lebih dalam. Perasaan yang tak disebutkan, tak pernah diakui, namun mendidih pelan-pelan seperti lahar di balik dinding batu. Tedy yakin—lebih dari yakin—bahwa Vasko menyimpan sesuatu pada Selin. Sesuatu yang rapuh, tapi kuat. Perasaan yang tak bisa diucapkan karena gengsi, karena luka, karena Vasko adalah Vasko: pria yang gengsinya menjulang lebih tinggi dari Gunung Himalaya, dan hatinya lebih terkunci daripada brankas paling aman di dunia. Tiba-tiba, suara mesin mobil menembus keheningan. Lembut, tapi cukup untuk membuat keduanya saling menoleh. “Tuan, itu sepertinya Nona Selin,” ujar Tedy pelan, nyaris berharap. “Lalu?” jawab Vasko, nadanya tetap seperti es, tak berubah barang sedetik. Tedy membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian ia mengurungkan niatnya. Tak ada gunanya melawan dinding batu yang keras kepala. Maka ia hanya mengangguk kecil, menelan niatnya bersama napas. “Biarkan saja dia,” ujar Vasko akhirnya. Namun pandangannya sudah beralih ke layar lain. CCTV di gerbang rumahnya memperlihatkan pemandangan yang membuat detaknya tak sengaja melambat: Selin berdiri di sisi Langit, dan lelaki itu—dengan penuh kelembutan yang menjengkelkan—mengusap puncak kepala Selin dengan gerakan yang terlalu akrab untuk ditoleransi. Vasko terdiam. Ada senyum kecil di bibirnya, tapi senyum itu lebih mirip luka yang tersamar. Tangannya mengepal perlahan di atas sandaran kursi, jari-jarinya menegang seolah menahan sesuatu yang tak boleh meledak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN