Ketegangan Di Pagi Hari.

1077 Kata
Saat matahari tiba dan menyibakkan tirai langit dengan semburat keemasan, Vasko masih terdiam di balik jendela kamarnya yang besar, jendela yang menjadi satu-satunya saksi bisu dari pagi-pagi yang selalu ia habiskan dengan diam. Sorot matanya yang teduh namun menyimpan badai, tertuju pada sosok mungil di kejauhan—Selin—gadis bergaun putih gading yang tengah berjalan perlahan di taman yang perlahan disiram cahaya lembut mentari pagi. Gadis itu akhir-akhir ini memang lebih sering berada di taman, seolah taman itu adalah pelabuhan terakhir tempat ia membuang segala resah, menggantungkan harap pada pucuk daun yang berembun. “Tuan masih saja melihatnya! Mau sampai kapan?” Suara Tedy pecah di antara keheningan pagi, disertai aroma kopi hangat yang menari pelan di udara. Vasko menoleh, pandangannya masih seperti tertinggal di taman, lalu ia mengisyaratkan dengan satu gerakan tangannya yang anggun agar Tedy membawa kopi itu mendekat. “Ah, kalau sudah melihat yang bening, memang tidak mau pergi!” sindir Tedy, meski tawanya hanya sekilas, tertelan oleh ketegangan samar yang menggantung di ruangan itu. Namun tetap saja, ia menghampiri dan menyodorkan cangkir berisi kopi yang mengepul pelan, seperti asap kenangan yang sulit menguap. Vasko tidak menggubris desisan itu. Tangannya yang panjang dan kokoh meraih cangkir porselen itu, lalu menyeruput perlahan. Asap kopi menghangatkan wajahnya, tapi tidak cukup kuat untuk menenangkan pusaran di dadanya. “Semalam, Kakek mengatakan sesuatu padaku,” ujarnya lirih, seolah kata-katanya adalah benang tipis yang bisa putus kapan saja. Tedy mencondongkan tubuh. “Apa itu?” tanyanya, kini suaranya pun menurun, terseret arus rasa ingin tahu yang mulai menggelayuti. Namun, alih-alih menjawab, Vasko justru terdiam. Matanya kembali menatap ke taman, tempat di mana Selin sekarang sedang duduk di bangku rotan, membiarkan sinar matahari menyusup lembut di sela-sela rambutnya. Ia menghela napas—panjang, dalam, dan berat, seperti membawa beban yang tak kasatmata. “Kalau Ayah dan Paman tahu, dia bisa dalam bahaya,” ucap Vasko akhirnya, suaranya seperti bisikan malam yang menyelinap pelan di sela dinding hati. Tedy terdiam. Karena kalimat itu, seumpama pintu tua yang terbuka perlahan, memperlihatkan lorong rahasia yang selama ini tersembunyi di balik wajah tenang tuannya. "Apa itu, Tuan? Anda membuat saya penasaran saja." Keluhan Tedy meluncur seperti desir angin yang menyentuh permukaan danau—ringan, tapi cukup mengusik ketenangan. Vasko kembali mendesah, desahan yang terdengar seperti bunyi pintu tua yang terbuka pelan di tengah malam. “Kakek mengatakan kalau… warisannya akan diberikan padanya,” ucapnya pelan, tapi tiap suku katanya seperti palu yang memukul udara. Dan tentu saja, kata-kata itu meledak dalam kesadaran Tedy. Matanya melebar, seolah-olah dunia yang ia kenal selama ini mendadak terbalik—langit jatuh, bumi terbelah, dan logika pun hancur berkeping. “Apa Tuan tidak salah dengar?” tanyanya dengan suara tercekat, hampir seperti gumaman doa dalam kebingungan. “Kau pikir aku tuli?” Vasko memotong tajam, nadanya menggores udara seperti belati yang dilempar tanpa aba-aba. Ia meletakkan cangkir kosong di atas meja marmer dengan suara denting kecil, tapi gema dari dentingan itu terasa seperti petir yang menyambar dalam keheningan. “Lalu... apakah Kakek sudah mengatakannya pada Tuan Besar?” suara Tedy kini menurun, penuh keraguan dan ketakutan. Vasko menggeleng, lambat namun tegas. “Belum. Dan itu sebabnya, kita harus menjaga rahasia ini… Jangan sampai Ayah dan Paman tahu sebelum waktunya. Jika mereka tahu lebih awal, Selin bisa… hancur dalam sekejap. Mereka tidak akan segan menghancurkannya.” Angin pagi kembali berhembus dari celah jendela, membawa aroma mawar dari taman di luar. Tedy terdiam. Ia hanya bisa berdiri di samping tuannya, lalu mengarahkan pandangannya ke luar—ke arah gadis yang duduk di bawah pohon flamboyan yang sedang bermekaran. Selin. Gadis yang tampak tak tahu apa-apa. Gadis yang mungkin tidak sadar bahwa dirinya kini menjadi poros dari pusaran takdir yang lebih besar dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Tedy menatapnya, tak sanggup berkata apa-apa, kecuali menghela napas pendek—napas yang mengandung kecemasan akan masa depan yang mulai bergetar dari titik ini. *** Sementara itu, Selin masih berada di taman, di antara rerimbun bunga yang tengah merekah seperti hati yang pelan-pelan mekar oleh sinar mentari. Kicauan burung berpadu dengan semilir angin yang menari di ujung rambutnya, membentuk irama pagi yang nyaris sempurna. Ia melangkah perlahan ke arah pintu masuk, hendak kembali ke dalam rumah ketika suara deru halus mobil mengusik lamunannya. Sebuah mobil mewah berwarna hitam mengilap perlahan memasuki gerasi kediaman keluarga Vasko, seperti seekor panther yang tenang tapi mengancam. Kening Selin berkerut pelan, rasa penasaran menyelimuti matanya. Langkah kakinya pun membawanya mendekat, nyaris tanpa ia sadari. Pintu gerasi dibuka oleh seorang satpam, dan benar saja—dari balik kaca bening, muncullah sosok yang tak asing baginya. Langit. Laki-laki itu turun dengan langkah ringan namun penuh percaya diri. Senyumnya mengembang, hangat dan menyentuh seperti mentega yang meleleh di atas roti panggang. “Tuan…” sapa Selin, suaranya jernih seperti aliran sungai kecil di musim semi. “Wah, aku senang sekali kamu menyapaku pagi ini,” balas Langit sambil meraih sesuatu dari dalam mobil. Sebuah paper bag putih dengan pita satin mengayun ringan di genggamannya. “Untuk kamu,” ujarnya, suara itu seperti bisikan rahasia yang membelai pelan relung hatinya. Selin menerimanya dengan senyum tulus yang mengembang, senyum yang tak dibuat-buat, seolah hatinya benar-benar disentuh. “Apa ini, Tuan?” tanyanya dengan nada lembut. “Ini gaun cantik, yang sangat pantas kamu pakai. Kamu itu… sangat berharga, dan karena itu, kamu harus memakai pakaian yang pantas,” ucap Langit, lirih namun tegas, seolah tiap kata keluar dari dasar hatinya yang terdalam. Selin mengintip isi tas itu—gaun berwarna biru muda dengan detail renda yang halus, seperti awan tipis yang dijahit oleh tangan para dewa. Tapi bukan harganya yang membuat dadanya menghangat. Bukan pula kemewahan kainnya. Melainkan kalimat itu. *“Kamu sangat berharga.”* Kata-kata yang, entah bagaimana, terdengar seperti pelukan hangat di pagi yang dingin. Namun tanpa ia sadari, dari jendela lantai atas, sepasang mata tajam tengah memperhatikan mereka. Mata itu milik Vasko, dan dari sela gorden tipis, ia melihat semuanya. Termasuk senyum itu. Termasuk tatapan Langit yang terasa terlalu dalam, terlalu lama. “Huh, dia ngapain sih ke sini pagi-pagi!” keluh Vasko dengan nada yang susah dibedakan antara jengkel dan cemburu. Suaranya rendah, hampir seperti gumaman. Tedy menoleh dan hanya menjawab dengan gelengan polos, tidak ingin ikut campur dalam badai yang mulai membentuk pusarannya sendiri di hati tuannya. Vasko mendengus jengah. Namun tatapannya tetap terpasung di bawah sana, pada sosok Selin yang kini tertawa kecil sambil menggenggam paper bag itu, "Gadis itu kadang kadang sangat menyebalkan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN