"Jadi kamu ingin menjual kalung yang saya berikan?"
Pertanyaan Vasko meluncur dengan lembut, namun tajamnya menusuk seperti pisau belati. Selin menunduk, kedua tangannya menggenggam erat pinggiran rok lusuhnya. Ia merasakan udara di sekitarnya mendadak berubah dingin, seperti es yang merayap perlahan ke tulang-tulangnya.
"Jawab aku," suara Vasko kembali terdengar, kini lebih dalam, lebih dingin. Ia bersandar di kursi kayu ukir yang megah, satu kakinya menyilang, tampak begitu tenang, namun Selin tahu di balik wajah tampan itu ada badai yang siap meledak kapan saja.
"Saya..." Selin mengangkat pandangannya dengan ragu, bibirnya bergetar sebelum akhirnya berkata, "saya butuh uang."
Sebuah senyuman samar, penuh makna, terukir di wajah Vasko. Ia berdiri perlahan, tubuh tinggi dan kekar itu menimbulkan bayangan panjang yang seolah menelan Selin.
"Butuh uang?" ulangnya, langkahnya mendekat, setiap gerakan terasa seperti ancaman. "Kau sudah lupa siapa dirimu sekarang, Selin? Kau milikku. Aku memberimu tempat tinggal, makanan, pakaian. Bahkan memberimu kalung itu."
Ia mengangkat tangannya, menunjuk kalung sederhana yang menggantung di leher Selin. Kalung itu memang bukan hiasan mewah, tapi kehadirannya seperti belenggu yang tak kasat mata.
"Tidak cukup bagimu?" lanjut Vasko, matanya menatap Selin seperti serigala yang mengintai mangsanya. "Apa kau berpikir, setelah menyerahkan segalanya padaku, kau masih punya hak untuk menjual apa yang aku berikan?"
Selin mundur perlahan, jantungnya berdegup kencang. Setiap kata Vasko terasa seperti cambuk yang menghantam harga dirinya. Tapi ia butuh uang. Ia butuh kebebasan.
"Aku..." suaranya pecah. "Aku tidak punya pilihan lain."
"Oh, kau punya pilihan, Selin," kata Vasko dengan nada rendah, hampir seperti bisikan. "Kau selalu punya pilihan. Hanya saja, kau tahu apa yang akan terjadi jika kau memilih jalan yang salah."
Dia mendekat, sangat dekat, hingga Selin bisa merasakan napasnya yang panas dan tajam. "Kalung itu adalah pengikatmu, Selin. Jangan pernah berpikir untuk melepaskannya, kecuali kau siap kehilangan segalanya."
Selin terdiam, air matanya menggenang. Ia tahu Vasko tidak hanya bicara tentang kalung itu, tapi tentang dirinya.
Kalimat terakhir Vasko meledak di udara seperti cambuk yang mencambuk jiwa Selin. Gadis itu terhuyung, dadanya berdenyut nyeri seolah jantungnya dihimpit oleh cakar besi. Ia ingin menjawab, ingin membela dirinya, tapi lidahnya kelu, seperti dikunci oleh ketakutan yang melingkupi tubuhnya.
"Saya... saya hanya..." Selin tergagap, suaranya serupa bisikan angin yang nyaris tak terdengar. Pandangannya tertuju pada lantai, tak berani menatap mata laki-laki itu yang kini tampak seperti dua bara api yang siap melahapnya.
Vasko tertawa, namun tawa itu tak membawa kehangatan. Tawa itu dingin, penuh penghinaan, seperti bayang-bayang kegelapan yang merayap perlahan untuk menelan dunia Selin. "Ah, jadi benar. Kau ingin menjual apa yang aku beri, untuk kembali kepada kehidupan lamamu? Apa kau lupa bagaimana kau datang padaku? Terkapar, memohon untuk aku menyelamatkanmu?"
Selin menggeleng lemah. Ingatannya seperti luka yang terus berdarah, mengingat malam itu—malam saat ia menyerahkan segalanya pada pria ini. Tubuhnya, jiwanya, bahkan kebebasannya.
"Aku... aku hanya ingin merasa bebas, Vasko," bisiknya akhirnya, suaranya bergetar seperti daun yang ditiup angin.
Vasko mendekat lagi, tangannya terulur mencengkeram dagu Selin, memaksa gadis itu mendongak dan menatapnya. "Bebas? Kau pikir kebebasan itu murah? Kebebasan adalah kemewahan, Selin. Dan kau, sayangku, sudah menjual hak itu padaku. Sekarang kau milikku, seluruhnya, hingga aku sendiri yang memutuskan untuk melepaskanmu."
Air mata bergulir di pipi Selin, tapi ia tak berani menyingkirkannya. Ia hanya bisa menatap pria itu, pria yang pernah ia anggap penyelamat, tapi kini tampak tak lebih dari monster yang menyamar dalam wajah sempurna.
"Jadi, kalung itu, Selin," Vasko berbisik, suaranya seperti racun yang meresap pelan-pelan. "Apakah kau masih ingin menjualnya? Atau kau akan terus mengingat bahwa setiap rantai, setiap ikatan di tubuhmu adalah bukti kebaikanku?"
Selin tak mampu menjawab. Ia tahu, tak peduli apa pun yang ia katakan, ia tetap akan terjebak dalam jeratan pria ini. Seperti burung dalam sangkar emas, ia hanya bisa berharap pada keajaiban yang tak pernah datang.
"A ... anda memang baik. Ta ... tapi ..." Selin terdiam karena cekikan Vasko terasa kuat di lehernya. Laki laki itu menyeringai dan mendekat lalu berbisik.
"Pergilah selin! Dan kamu akan mati!"
Desis Vasko, membuat Selin melebarkan kedua mata jelitanya.