"Pergilah, Selin, maka kamu akan mati!"
Desis Vasko bergema seperti kutukan yang menusuk jiwa. Cekikan di leher Selin semakin menguat, membuat gadis itu terbatuk dan terengah-engah. Rasa sakit menjalari tenggorokannya, dan seolah-olah udara telah meninggalkannya. Hingga akhirnya, Vasko mendorongnya kuat-kuat ke lantai, tubuhnya terhempas tanpa daya seperti boneka yang kehilangan tali.
"Ma... maafkan saya..." Selin memohon, suaranya penuh isak dan ketakutan. Tangannya meraba lantai dingin, berharap ada sedikit belas kasih dari pria yang berdiri di hadapannya seperti dewa penghukum.
Namun, Vasko hanya membelakanginya. Punggung tegapnya tampak bergetar ringan, bukan karena emosi, tapi karena ia menahan sesuatu yang tak terungkapkan. Napasnya terdengar berat, seperti badai yang bersiap untuk menghancurkan apa saja yang ada di depannya.
Lalu pintu terbuka. Soraya melangkah masuk, wajahnya penuh keterkejutan saat melihat Selin terduduk di lantai dengan mata yang memerah dan Vasko yang tampak seperti gunung berapi yang siap meletus.
"Ada apa, Tuan? Apa kalian bertengkar?" tanya Soraya dengan suara bergetar. Matanya bergantian menatap Selin dan Vasko, mencoba mencari jawaban di tengah situasi yang mencekam.
Vasko berbalik perlahan, matanya yang tajam seperti pisau menusuk pandangan Soraya. "Kenapa dia keluar dari mansion?" tanyanya, nadanya rendah tapi penuh ancaman.
Soraya menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah mencari kekuatan. "Karena... karena dia menginginkannya. Dia ingin bebas, Tuan," jawabnya dengan suara pelan.
Vasko tertawa kecil, tawa yang tak membawa keceriaan, hanya kehancuran. "Oh, iya?" gumamnya dengan nada sinis. "Dia ingin bebas? Kamu tahu, Soraya, dia adalah budakku. Tidak ada kebebasan untuk seorang budak."
"Saya tahu, Tuan," jawab Soraya buru-buru, kepalanya semakin menunduk hingga hampir menyentuh lantai.
"Kalau begitu kenapa kamu mengizinkannya?" Suara Vasko melonjak, dan dalam sekejap, tangannya mencengkeram kerah baju Soraya, mengangkatnya dengan mudah seperti boneka kain.
"Ma... maafkan saya, Tuan... saya hanya—"
"Dia terlihat kucel dan menyebalkan!" potong Vasko dengan tajam, suaranya penuh penghinaan. Matanya membara saat menatap Soraya, tapi mungkin juga lebih dari itu—ada rasa frustrasi yang tak terungkap di sana. "Kamu tidak memberikan dia pakaian? Kamu membiarkannya keluar dengan penampilan memalukan seperti itu?"
Soraya terdiam, tubuhnya bergetar di genggaman Vasko. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Vasko melemparkannya ke lantai. Tubuhnya terjatuh dengan bunyi yang memekakkan, tapi Soraya hanya bisa meringkuk, menahan rasa sakit di tubuhnya dan mungkin juga di hatinya.
"Keluar dari sini," desis Vasko, matanya menyala seperti bara api. "Dan pastikan dia tidak mencoba lari lagi."
Soraya segera berdiri dengan susah payah, membungkuk dalam sebelum bergegas keluar ruangan. Namun, di sudut matanya, ia sempat melirik Selin yang masih terduduk di lantai dengan wajah pucat. Dalam hatinya, Soraya tak bisa menepis rasa takut. Tidak hanya pada Vasko, tapi juga pada perasaan yang mungkin mulai tumbuh di hati pria itu untuk gadis bernama Selin.
Ketika pintu tertutup, Vasko berdiri di sana dalam diam. Matanya menatap kalung di leher Selin, seperti melihat rantai yang mengikat sesuatu yang tak seharusnya ia lepaskan. "Selin," katanya akhirnya, suaranya lebih lembut tapi penuh kekuatan, "kamu milikku. Ingat itu. Selamanya."
Dan Selin hanya bisa menangis dalam diam, mengerti bahwa kebebasan adalah mimpi yang takkan pernah ia capai.
Vasko mendekat, tubuhnya yang tegap menciptakan bayangan gelap di atas tubuh Selin yang gemetar. Dengan gerakan yang perlahan, ia mengulurkan tangan, menarik Selin berdiri. Jemari kuatnya menyentuh lengan gadis itu, dingin namun terasa membakar.
Ia menatap wajah Selin lekat-lekat, mata kelamnya menyusuri setiap garis di wajah yang kini terlihat pucat dan lelah. Dengan sentuhan yang hampir lembut, ia mengusap pipinya, seolah mencoba memahami sesuatu yang tersembunyi di balik kulitnya yang dingin.
"Apa yang kamu lakukan di luar, hmmm?" bisiknya, suara itu lembut namun penuh ancaman yang tersirat.
"Sa... saya..." Selin mencoba menjawab, namun suaranya tertahan di tenggorokan.
"Kamu bertemu dengan seorang lelaki," potong Vasko, nadanya berubah tajam, bagaikan pisau yang siap menghujam.
"Ti—"
"Siapa laki-laki itu? Apa dia menyentuhmu?" Suaranya kini berubah menjadi geraman, dan jemarinya mencengkeram pipi Selin dengan sedikit tekanan, memaksa gadis itu untuk menatapnya langsung.
Selin menelan ludahnya, merasa jantungnya berdegup begitu kencang hingga nyaris melompat dari dadanya. Jika ia mengatakan yang sebenarnya—mengaku bahwa ia bertemu Biru—ia tahu Vasko tidak akan segan-segan menghukumnya.
"Saya hanya pergi ke panti asuhan," akhirnya ia berkata, suaranya bergetar. "Dan ternyata panti asuhan itu sudah digusur. Itu sebabnya saya ingin menjual kalung ini."
Vasko terdiam sejenak. Tangannya perlahan melepas cengkeraman di pipi Selin, dan ekspresi di wajahnya berubah. Tidak lagi semata-mata kemarahan, tapi sesuatu yang lebih kompleks—seperti seseorang yang dihadapkan pada kenangan lama yang ingin ia lupakan.
"Panti asuhan," gumamnya pelan, seolah mengecap kata-kata itu di lidahnya. Ia menatap Selin dengan sorot yang berbeda, tidak lagi penuh ancaman, tapi seperti mencoba memahami. "Jadi, itu alasanmu?"
Selin mengangguk kecil, meski tubuhnya masih gemetar. Ia tidak tahu apakah pria itu bersimpati atau hanya mempermainkannya. Namun, tatapan Vasko semakin dalam, seperti mencoba menembus pertahanan terakhir dalam diri Selin.
"Kamu tahu, Selin," katanya perlahan, nadanya dingin tapi penuh ketegasan, "kalung itu bukan sekadar benda. Itu adalah simbol, pengingat bahwa kamu milikku. Jadi, menjualnya berarti mengkhianatiku."
Selin merasa matanya memanas, air mata mulai menggenang. "Saya tidak bermaksud mengkhianati Anda," bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar. "Saya hanya... tidak punya pilihan lain."
Vasko tersenyum kecil, senyum yang tidak mengandung kehangatan, tapi juga bukan sepenuhnya penghinaan. Ia meletakkan tangannya di bahu Selin, lalu berkata dengan suara yang lebih rendah, "Kamu selalu punya pilihan, Selin. Dan pilihan yang salah akan selalu berakhir buruk untukmu."
Ia berbalik, punggungnya yang tegap menjadi pemandangan terakhir yang dilihat Selin sebelum ia terjatuh berlutut, menahan air mata yang tak lagi bisa ia tahan. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah Vasko benar-benar peduli, atau ia hanya memainkan perasaan gadis itu untuk kesenangan semata.