"Mandi!"
Vasko mendorong Selin ke dalam kamar mandi dengan kasar, hampir membuat gadis itu tersandung. Uap hangat dari air yang sudah mengalir menyambutnya, tapi tidak cukup untuk mengusir dinginnya rasa takut yang menjalari tubuhnya. Selin tidak berani melawan, hanya menunduk sambil meremas kedua tangannya, mencoba meredam gemetar yang tidak bisa ia kendalikan.
"Dandanlah. Bersihkan dirimu," suara Vasko terdengar dari ambang pintu, dingin dan tajam, seperti cambuk yang menyayat telinga Selin. "Aku tidak mau melihatmu dalam keadaan seperti ini lagi."
Tanpa menunggu jawaban, Vasko menutup pintu kamar mandi dengan keras. Suara itu bergema, membuat Selin terpaku di tempat. Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri yang terlihat kusam, rambut yang acak-acakan, dan mata yang memerah karena air mata.
"Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?" gumamnya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh suara air yang mengalir.
Sementara itu, di luar kamar mandi, Vasko berdiri dengan punggung menghadap pintu, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ia menghela napas panjang, mencoba meredam amarah yang membara di dadanya.
"Tedy!" serunya tiba-tiba.
Panggilan itu langsung direspons oleh seorang pria berambut panjang yang segera memasuki kamar dengan sikap penuh hormat. "Iya, Tuan," jawab Tedy sambil menundukkan kepala.
"Carikan dress yang bagus untuk Selin. Dan panggil penata rias," perintah Vasko tanpa basa-basi, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Tedy.
Tedy mengangkat alis, sedikit bingung dengan permintaan itu. "Untuk... b***k itu, Tuan?" tanyanya ragu.
Mata Vasko menyipit, dan senyum sinis terukir di wajahnya. "Kamu panggil apa tadi?"
Tedy buru-buru meralat, suaranya bergetar. "Nona Selin, Tuan. Maafkan saya."
Vasko mendekat, langkahnya pelan namun penuh ancaman, membuat Tedy semakin menunduk. "Ingat ini baik-baik, Tedy. Di mansion ini, hanya aku yang boleh memanggilnya b***k. Mengerti?"
"Ba-baik, Tuan," jawab Tedy cepat, hampir tergagap.
"Bagus. Sekarang pergi dan lakukan apa yang kuminta," ujar Vasko dingin sambil melambaikan tangannya, mengusir Tedy dari ruangan.
Tanpa membuang waktu, Tedy bergegas keluar, kakinya nyaris tersandung saat ia menutup pintu. Ia tahu betul betapa berbahayanya kemarahan Vasko. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi antara tuannya itu dan Selin.
Ketika ruangan kembali sunyi, Vasko duduk di sofa besar, menatap kosong ke arah pintu kamar mandi. Suara gemericik air terdengar dari dalam, seperti pengingat akan kehadiran gadis itu. Ada sesuatu yang mengusik hatinya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
"Malam ini," gumamnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan, "dia akan belajar apa artinya menjadi milikku."
Selin berdiri di kamar mandi yang dipenuhi uap air panas, tubuhnya gemetar bukan karena dingin, melainkan karena rasa takut dan kebingungan yang tak kunjung hilang. Air mengalir di atas kepalanya, membasuh tubuhnya yang lelah, namun tak mampu membersihkan perasaan terpenjara yang menghantuinya. Suara Vasko yang tegas tadi masih terngiang di telinganya, memerintah tanpa ruang untuk menolak.
Sementara itu, di kamar utama, Vasko berdiri dengan tangan bersilang di d**a, memandang kosong ke arah jendela besar yang menghadap taman belakang mansion. Saat Tedy pergi, ruang itu kembali sunyi, namun pikirannya terus bergemuruh.
"Apa yang membuatku begini?" gumam Vasko pada dirinya sendiri, suara baritonnya nyaris tertelan oleh angin yang berembus pelan dari celah jendela. Wajahnya tetap dingin, namun di balik itu ada gejolak yang sulit ia kendalikan. Selin bukan siapa-siapa, pikirnya, hanya seorang b***k yang ia beli untuk mengisi kekosongan di mansion ini. Namun, kenapa ia begitu terusik setiap kali melihat gadis itu menderita?
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka, membawa Tedy kembali dengan kotak besar di tangannya, serta seorang wanita paruh baya yang membawa peralatan rias.
"Ini gaun yang Anda minta, Tuan," kata Tedy dengan nada hati-hati.
Vasko berbalik, matanya menyapu kotak itu dengan tatapan menilai sebelum ia mengangguk kecil. "Bagus. Pastikan dia terlihat seperti seorang putri malam ini."
"Seorang putri, Tuan?" tanya Tedy, mencoba memahami maksud dari permintaan aneh itu.
Vasko menatapnya tajam, senyum tipis yang penuh misteri terukir di wajahnya. "Ya, seorang putri. Karena malam ini, dia akan menjadi milikku sepenuhnya—tidak hanya tubuhnya, tapi juga hatinya."
Tedy menelan ludah, merasa bulu kuduknya meremang mendengar kata-kata itu. Ia tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Vasko, tapi satu hal yang pasti: ketika tuannya itu memutuskan sesuatu, tidak ada seorang pun yang bisa menghentikannya.
Wanita penata rias melangkah masuk dengan langkah kecil, tampak gugup di hadapan Vasko. Ia menunduk hormat sebelum menyiapkan peralatannya di meja rias besar yang berlapis emas.
"Mulai bekerja begitu dia selesai mandi," perintah Vasko tanpa basa-basi.
"Baik, Tuan," jawab wanita itu sambil membungkuk.
Vasko melirik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup, uap keluar sedikit dari celahnya. Ia tahu Selin mungkin sedang bertanya-tanya apa yang sedang direncanakannya, tapi ia tidak peduli. Baginya, Selin adalah teka-teki yang ingin ia pecahkan, dan ia akan melakukannya dengan caranya sendiri—meski itu berarti memaksa gadis itu masuk ke dalam dunia yang sepenuhnya miliknya.
"Dress itu cocok untuknya?" tanya Vasko kepada Tedy sambil menunjuk kotak di tangannya.
Tedy mengangguk cepat. "Saya memastikan itu yang terbaik, Tuan."
"Bagus," kata Vasko sambil melirik cermin besar di sudut ruangan. Ia melihat bayangan dirinya—seorang pria yang dingin, berkuasa, tapi juga terganggu oleh sesuatu yang tak bisa ia sebutkan namanya.
"Malam ini," bisiknya pada dirinya sendiri, "Selin akan tahu di mana tempatnya—dan siapa yang benar-benar memiliki dirinya."