Sepasang Bibir Yang Begitu Menggoda.

731 Kata
"Apa Tuan menyukainya?" Tedy menunduk sedikit seraya meletakkan kotak berisi dress di atas meja. Nada suaranya penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang tahu bahwa kata-katanya bisa menjadi jebakan. "Jangan sembarangan bicara," tegas Vasko, tatapannya tajam menusuk seperti pisau. Tedy merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Ia berdeham pelan, mencoba mengusir kegugupan yang menyelinap ke tenggorokannya. Namun, rasa penasaran tetap menguasainya. "Oh, tapi tadi Tuan mengatakan bahwa Tuan ingin memiliki hatinya. Bukankah itu...?" "Jangan bodoh!" potong Vasko dengan suara yang hampir mendesis, seperti ular yang siap menyerang. Ia melangkah mendekat, membuat Tedy merasa kecil di bawah bayangan majikannya. "Kesetiaan seorang b***k juga berarti aku memiliki hatinya, bukan?" Tedy terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Ia mengangguk pelan, meski kebingungan masih terlihat di wajahnya. "Oh, seperti itu maksud Tuan..." gumamnya, meski nada ragu tak bisa ia sembunyikan. "Jangan terlalu banyak berpikir, Tedy," ujar Vasko dengan nada dingin yang mengiris. Ia memutar tubuh, punggungnya yang tegap seolah menjadi perisai dari rasa ingin tahu bawahannya. "Keluar dari sini. Aku bosan melihat wajahmu." Tedy tersenyum kecil, meski dalam hati ia merasa lega bisa pergi sebelum kemarahan Vasko benar-benar meledak. "Baik, Tuan," jawabnya dengan sopan sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Begitu pintu tertutup, Vasko menghela napas panjang, membiarkan keheningan menguasai ruangan. Matanya tertuju pada kotak di atas meja, dress di dalamnya menjadi simbol dari rencana yang belum sepenuhnya ia ungkapkan. "Apa aku menyukainya?" gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang sulit diartikan. "Tidak. Aku tidak menyukai siapa pun. Aku hanya... menginginkannya. Dan itu sudah cukup." Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, ada sesuatu yang menggeliat—perasaan yang tidak ia pahami, perasaan yang mungkin lebih berbahaya daripada kemarahannya sendiri. Selin keluar dari kamar mandi dengan langkah ragu, tubuh mungilnya dibalut kimono satin yang jatuh tepat di atas lutut. Cahaya lampu kamar membuat kulitnya yang lembut tampak bersinar, dan rambut basahnya menjuntai di bahu, meninggalkan jejak air yang membasahi kain halus itu. Vasko yang tengah berdiri di dekat jendela memutar tubuhnya, matanya langsung terkunci pada sosok gadis itu. Sejenak, suasana menjadi hening. Tatapan Vasko berubah gelap, seakan menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar keingintahuan. Ia melangkah mendekat dengan perlahan, membuat Selin otomatis mundur satu langkah, tapi keberadaannya di ruangan itu seperti perangkap yang tak memberinya jalan keluar. "Suamimu tidak pernah melihatmu seperti ini?" tanya Vasko dengan nada yang dingin namun memancing, membuat Selin merasa tubuhnya semakin kecil di hadapannya. "T-tidak, Tuan," jawab Selin pelan, suaranya hampir tenggelam oleh dentuman jantungnya sendiri. Vasko mendengus pelan, lalu mengangkat dagu gadis itu dengan dua jarinya. Sentuhannya dingin namun penuh otoritas, membuat Selin tak berani menolak. Mata mereka bertemu, dan Selin merasa seolah tenggelam dalam sorot mata gelap itu—mata yang mengintip ke dalam dirinya dengan cara yang tak pernah dilakukan siapa pun sebelumnya. "Aku rasa suamimu gila," ujar Vasko, suaranya seperti bisikan tajam yang memecah keheningan. Selin menatapnya dengan bingung, alisnya bertaut. "Gila?" "Iya, gila," ulang Vasko dengan sinis. Ia terkekeh kecil, menggelengkan kepalanya seolah tidak habis pikir. "Siapa yang bisa melepaskan sesuatu yang seindah ini?" Wajahnya semakin mendekat, napas hangatnya menyapu kulit wajah Selin. Mata Vasko beralih dari sepasang mata besar Selin ke bibirnya yang merah alami, seperti mawar yang mekar di musim semi. Ada keinginan yang berkilat di matanya, sesuatu yang mendalam dan liar. Namun, momen itu terputus oleh suara ketukan di pintu. "Tuan! Saya sudah siap untuk merias Nona Selin!" suara pelayan wanita memecah ketegangan, membuat Vasko menarik diri dengan gerakan cepat namun tetap anggun. Ia menghela napas panjang, berusaha meredakan sesuatu yang membara di dalam dirinya. Tatapannya kembali dingin, seperti lapisan es yang menutupi api yang hampir tak terkendali. "Masuk," ujarnya dengan nada tegas. Pelayan itu melangkah masuk dengan membawa perlengkapan rias, pandangannya sekilas melirik ke arah Selin yang masih berdiri dengan wajah bingung dan pipi yang memerah. Vasko melangkah mundur, mengalihkan pandangannya dari Selin, meskipun bayangan gadis itu masih tertanam kuat di pikirannya. "Buat dia terlihat seperti seorang putri," katanya dengan nada datar, namun ada intensitas tersembunyi di balik perintah itu. Pelayan itu mengangguk cepat. "Baik, Tuan." Selin tetap berdiri di tempatnya, perasaan campur aduk antara takut, bingung, dan sesuatu yang tak bisa ia sebutkan. Ia melirik ke arah Vasko, yang kini berdiri dengan punggung menghadapnya, seolah sedang berperang dengan sesuatu di dalam dirinya. "Kenapa... dia melakukan ini?" pikir Selin dalam diam, merasa dirinya semakin terjerat dalam permainan pria itu, permainan yang ia tidak tahu aturan atau akhirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN