Perebutan Aset!

907 Kata
"Tuan! Pengacara Langit sudah datang!" suara Tedy menggema dari balik pintu, menginterupsi keheningan di dalam ruangan mewah itu. Vasko yang tengah berdiri dengan anggun, matanya tak beralih dari Selin yang sedang dirias oleh penata rias profesional, mengangkat alisnya dengan sedikit jengkel. Ia memang sengaja tidak meninggalkan ruangan itu—ia ingin memastikan semuanya sempurna. Atau mungkin, lebih tepatnya, ia tidak ingin Selin keluar dari pandangannya. "Biarkan dia menunggu di ruang tamu," ujarnya dengan nada datar namun penuh otoritas. "Baik, Tuan," jawab Tedy sebelum melangkah pergi, meninggalkan pintu megah dari kayu mahoni yang kokoh. Vasko menghela napas perlahan, seolah enggan beranjak. Matanya kembali melirik Selin, yang kini tampak seperti boneka porselen hidup dalam balutan kain mewah. Namun, ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu, langkahnya tegas namun penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan. Di ruang tamu, Biru Langit, seorang pria tampan dengan mata biru sedalam samudra, duduk santai. Kemejanya yang berpotongan sempurna mencerminkan statusnya sebagai salah satu pengacara paling bergengsi di negara itu. Wajahnya yang memikat seolah mampu memikat siapa saja yang melihatnya, namun ada ketenangan dalam sikapnya yang membuatnya tampak lebih dari sekadar wajah tampan. "Pak Biru, sebentar lagi Tuan akan ke sini," ujar Tedy dengan sopan. "Terima kasih," jawab Biru, suaranya tenang namun penuh keyakinan. "Anda mau minum kopi seperti biasa?" tawar Tedy. "Ah, iya, boleh," jawab Biru sambil tersenyum kecil. Tedy segera pergi ke dapur kecil yang terletak di lantai itu, meninggalkan Biru yang kembali tenggelam dalam pikirannya. Beberapa menit kemudian, suara lift berbunyi, menandai kedatangan Vasko. Pintu lift terbuka, dan Vasko keluar dengan langkah yang memancarkan kekuasaan. Jas hitamnya membingkai tubuhnya dengan sempurna, membuatnya terlihat seperti raja di antara rakyat jelata. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Biru, yang hanya menatapnya dengan senyum santai. "Kenapa kau baru datang?" tanya Vasko sambil duduk di kursi berhadapan dengan Biru. "Aku ada sedikit urusan," jawab Biru, santai namun tetap penuh dengan karisma. "Paling-paling urusan perempuan," sinis Vasko, membuat sudut bibirnya terangkat tipis. Biru tertawa kecil, suara tawanya rendah namun penuh kepercayaan diri. "Kamu sudah tahu, lalu kenapa bertanya?" balasnya dengan nada yang sama sinisnya. Vasko mendengus jengah, menyandarkan punggungnya di kursi. Ia tahu kebiasaan sahabat lamanya itu, seorang pria flamboyan yang gemar menjadikan cinta sebagai permainan. Namun, ia juga tahu bahwa di balik sikap santai Biru, ada otak tajam yang menjadikannya pengacara paling dihormati di negeri ini. "Bagaimanapun," pikir Vasko sambil memandang sahabatnya, "meskipun dia menjengkelkan, dia adalah sekutu yang tak ternilai." Tedy kembali dengan secangkir kopi, meletakkannya di depan Biru. "Silakan, Pak Biru," katanya dengan sopan sebelum mundur perlahan. Biru menyesap kopinya dengan tenang, lalu menatap Vasko. "Jadi, apa urusan penting yang membuatmu memanggilku ke sini? Jangan bilang ini soal bisnis biasa." Vasko menyeringai tipis, matanya berkilat dengan sesuatu yang gelap. "Tidak ada yang biasa kalau aku yang memintanya, Biru. Kali ini, aku butuh lebih dari sekadar pengacara." Biru mengangkat alisnya, tertarik. "Oh? Apa itu?" Namun, alih-alih menjawab langsung, Vasko hanya menatapnya lama, seolah merencanakan sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang bisa dibayangkan Biru. "Kakekku sedang sakit. Dan semua keluarga memperebutkan perusahaannya," ujar Vasko dengan nada dingin, namun mata tajamnya mengisyaratkan emosi yang sedang ia tekan. Biru, yang sedang menikmati kopi hangatnya, mengangkat alis sedikit. "Lalu?" tanyanya dengan nada datar, seolah urusan itu bukan sesuatu yang layak menarik perhatiannya. "Aku ingin kau bicara dengan kakek," lanjut Vasko tanpa mempedulikan sikap santai sahabatnya. "Dia harus segera menyiapkan semuanya, termasuk kepada siapa dia akan memberikan asetnya. Aku tidak mau keluargaku gaduh terus." Biru tersenyum sinis, menyesap kopinya lagi sebelum berkata, "Ah, memiliki uang memang sangat merepotkan." Vasko mendengus, mengangkat sudut bibirnya dalam ekspresi yang tak sepenuhnya senyum. "Dan kau tidak memiliki uang, begitu?" tanyanya dengan nada sarkastik. "Aku memiliki uang," jawab Biru santai, meletakkan cangkirnya di atas meja kaca. "Tapi aku tidak ada yang ribut. Aku tidak punya ayah ataupun ibu. Jadi aku bebas!" Tawa Biru meledak di ruangan itu, menggema seperti musik yang mengganggu telinga Vasko. Vasko hanya menggelengkan kepalanya, terlihat muak sekaligus terhibur. "Terserah!" ujarnya dengan nada pasrah. Meski tampak santai, pikirannya sedang berputar-putar, mencoba mencari solusi untuk masalah yang membuatnya pusing. Ia memijat pelipisnya, mengingat kembali bagaimana pertengkaran antara ibunya, ayahnya, dan pamannya memuncak di meja makan keluarga minggu lalu. Semua berteriak, saling menuding siapa yang lebih pantas mendapatkan perusahaan kakeknya. Dan di tengah itu semua, kakeknya hanya duduk diam, menatap mereka dengan tatapan lelah yang menusuk hati Vasko. "Aku tidak peduli pada aset itu," gumam Vasko lebih kepada dirinya sendiri. "Yang aku pedulikan adalah ketenangan. Keluargaku seperti binatang liar yang saling mencakar demi sesuatu yang bahkan belum pasti mereka dapatkan." Biru menatapnya dengan sorot mata yang lebih serius, meskipun bibirnya masih menyimpan sisa senyuman. "Jadi, kau ingin aku meyakinkan kakekmu untuk segera menentukan pewarisnya?" "Ya," jawab Vasko tegas. "Kau tahu dia menghormatimu. Kau satu-satunya orang di luar keluarga yang dia percayai." Biru terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Baiklah, aku akan bicara dengannya. Tapi aku punya satu syarat." "Apa?" tanya Vasko, matanya menyipit curiga. "Aku ingin makan malam mewah di restoran favoritku setelah ini. Kau yang bayar." Biru menyeringai, matanya berkilau penuh keisengan. Vasko menghela napas berat, menatap sahabatnya dengan ekspresi setengah marah, setengah tak percaya. "Kau benar-benar menyebalkan." "Dan kau menyedihkan," balas Biru ringan. "Tapi begitulah kita bertahan di dunia ini, bukan? Saling melengkapi." Meskipun ucapan itu dilontarkan dengan nada bercanda, Vasko merasakan sesuatu yang jujur di dalamnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengangguk, menerima syarat Biru dengan pasrah. Toh, ini demi kedamaian keluarga—atau setidaknya, sesuatu yang mendekati itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN