Si Gadis Yang Memikat.

1152 Kata
Selin menatap bayangannya sekali lagi, matanya tak lepas dari pantulan dirinya yang terasa begitu asing. Gaun satin ungu yang berkilauan di bawah lampu membuat kulitnya tampak bersinar lembut, seperti pualam yang baru dipoles. Rambutnya disanggul tinggi dengan hiasan mutiara kecil yang berkilau setiap kali ia menggerakkan kepala. Bibirnya, merah bak kelopak mawar yang baru mekar, sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak ada kata yang keluar. Ia menghela napas pelan, mencoba meredam getar di dadanya. "Apakah benar ini aku?" gumamnya pada dirinya sendiri, nyaris tak terdengar. "Nona sangat cantik!" suara pelayan itu menginterupsi lamunannya, penuh kekaguman yang tulus. Selin berbalik, memberi senyum tipis yang penuh rasa canggung. "Saya pikir tuan sangat menyukai Anda, nona," lanjut perempuan itu sambil membenarkan letak anting-anting berlian yang bergoyang manis di telinganya. Selin tertawa kecil, getir, seolah mencoba mengusir ketegangan yang tiba-tiba melingkupi ruangan itu. "Tidak mungkin," ujarnya dengan nada yang lebih keras daripada yang ia maksudkan. Pelayan itu mengangkat alisnya, seolah tidak percaya. "Nona tidak mempercayainya?" tanyanya dengan lembut. Selin menggelengkan kepala. "Iya, karena itu tidak mungkin," jawabnya, kali ini suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan yang enggan didengar siapa pun. Pelayan itu menghela napas, berat dan penuh rasa prihatin. Ia mendekat, seperti seorang teman yang hendak membisikkan rahasia. "Nona," katanya, suaranya rendah tetapi penuh tekad. "Saya rasa tuan memang menyukai Anda. Buatlah dia menyukai Anda lebih lagi. Agar tuan bisa lebih memperhatikan Anda daripada Nona Soraya!" Nama itu, Soraya, menusuk seperti jarum dingin di hati Selin. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa yang menggelegak dalam dadanya. Namun, di dalam cermin, bayangannya tampak tersenyum kecil, samar, penuh rahasia yang hanya ia tahu. "Kita sudah jengah dengan sikapnya, Nona Soraya. Dia jahat dan selalu ingin menang sendiri," ujar gadis tukang rias itu dengan nada penuh amarah yang tak lagi ditutupi. Ujung jarinya gemetar saat membenarkan kerah gaun Selin, seolah kata-katanya mengalir bersama emosi yang telah lama ia pendam. Selin menatapnya, matanya melebar, bingung sekaligus terkejut. Selama ini, ia mengira semua orang di mansion itu tunduk pada Soraya, memujanya seolah ia adalah ratu takhta yang tak tergoyahkan. "Kamu tidak menyukainya?" tanyanya dengan nada ragu, seperti tak percaya ada orang yang berani terang-terangan menentang perempuan itu. Gadis tukang rias itu mendengus pelan, wajahnya memerah, entah karena amarah atau keberanian yang baru saja ia kumpulkan. "Iya. Saya sangat membencinya," katanya tegas, tatapannya tajam seperti pisau yang diarahkan pada bayangan Soraya di benaknya. "Soraya itu iblis. Dia dan gengnya akan berbuat semena-mena semaunya, menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalannya." Selin terdiam sejenak, mencoba mencerna pengakuan itu. "Dan Tuan Vasko membiarkannya?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruangan. "Tuan Vasko sangat mempercayainya," jelas gadis itu, suaranya melembut, namun tak mampu menyembunyikan nada getir yang menyertainya. "Dia menutup mata pada semua keburukan Soraya. Entah karena apa, dia terlalu terlena oleh pesonanya." Selin terdiam lagi. Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti riak di permukaan air yang baru saja dilempari batu. Tuan Vasko mempercayai Soraya. Lebih dari siapa pun, lebih dari dirinya. Hatinya mencelos. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba mencari jawaban dalam bayangan wajahnya yang kini tampak lebih suram. Cahaya dari kristal gantung di atas kepala mereka berkilauan, memantulkan bayangan gemerlap di dinding. Namun, di mata Selin, semua itu terasa hampa, hanya tirai mewah yang menyembunyikan kenyataan pahit yang kini terkuak. "Jika Tuan Vasko mempercayainya," gumam Selin perlahan, lebih kepada dirinya sendiri, "apa yang bisa kulakukan?" Gadis tukang rias itu menghela napas, tangannya terhenti di atas bahu Selin. "Kadang, Nona, yang terlihat kuat hanya perlu seseorang yang cukup berani untuk menantangnya," katanya, suaranya lirih namun penuh makna. "Dan saya rasa, orang itu adalah Anda." Selin melangkah pelan menuju taman, memecah kebosanan yang sejak tadi mengungkungnya di dalam kamar. Udara sore terasa sejuk, bunga-bunga mawar di sekelilingnya bermekaran dengan warna merah menyala, seolah ingin mencuri perhatian dari semua yang memandang. Tapi Selin hanya berjalan tanpa tujuan, pikirannya melayang entah ke mana. "Hey, b***k!" suara tajam yang begitu dikenalnya memecah keheningan. Soraya berjalan mendekat, gaunnya yang berwarna cerah melambai angkuh di belakangnya. Soraya tersenyum sinis, senyum yang menyiratkan niat buruk, seperti harimau yang mengintai mangsanya. Mata Soraya menyapu tubuh Selin, menilai dengan pandangan tajam penuh kebencian. Selin menghentikan langkahnya dan menatap Soraya. "Iya, Nona Soraya," jawabnya dengan suara tenang, mencoba menahan gejolak yang mulai muncul di dadanya. "Kamu senang memakai baju bekasku?" ujar Soraya, nada bicaranya penuh racun. Ia menyeringai kecil, melihat reaksi Selin yang tampak terkejut. "Ya, ini baju bekas milikku, kalau kau ingin tahu," lanjutnya, menekankan setiap kata dengan nada menghina. Padahal, ia tahu itu bohong. Tetapi kebohongan itu terasa begitu manis untuk dilontarkan. Selin menatap Soraya, alisnya sedikit terangkat. "Oh ..." hanya itu yang keluar dari bibirnya. Sederhana, tapi cukup membuat Soraya merasa terganggu. Soraya mendekat, menunduk sedikit untuk memastikan Selin bisa mendengar setiap kata yang ia ucapkan. "Jangan berlagak kaget. Itu memang baju bekas milikku. Tuan Vasko begitu menyukai aku, sehingga tidak ada satu pun perempuan yang boleh memakai baju baru selain aku," katanya sambil menyeringai, matanya berkilat-kilat seperti belati yang ingin menancap. "Oh ..." gumam Selin lagi, suaranya datar. Ia mencoba menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya, tetapi ekspresi tenangnya justru membuat Soraya semakin gusar. "Kamu tahu," lanjut Soraya, suaranya semakin sinis, "Tuan Vasko hanya ingin meledekmu. Karena kau terlihat seperti pengemis. Makanya kau disuruh berdandan dan memakai baju mahal." Selin menundukkan kepala sejenak, seperti memikirkan sesuatu. Lalu ia mengangkat wajahnya dan berkata, "Iya. Tidak apa-apa." Jawabannya sederhana, hampir tanpa emosi, seperti embusan angin yang lewat tanpa meninggalkan bekas. Tapi justru karena itu, Soraya merasa seperti baru saja ditampar. Ia ingin membuat Selin marah, ingin melihat gadis itu kehilangan kendali, tetapi Selin tetap tenang seperti batu karang di tengah gelombang. Soraya mengepalkan tangannya, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri. "Hmph! Lihat saja nanti," gumamnya sebelum berbalik pergi, gaunnya melambai angkuh seperti dirinya. Selin menghela napas pelan, menatap ke arah langit yang mulai berubah jingga. Hatinya tidak benar-benar tenang, tapi ia tahu, memberikan reaksi hanya akan memberi Soraya kemenangan kecil yang tidak layak untuk ia dapatkan. Langit dan Vasko berjalan santai di sepanjang jalan berbatu menuju taman setelah keluar dari mansion. Mereka berbicara dengan santai, membahas hal-hal ringan yang membuat keduanya sesekali tertawa. Udara sore yang sejuk membawa aroma lembut dari bunga mawar yang bermekaran di sekeliling taman, menciptakan suasana yang tenang namun penuh kehidupan. Namun, langkah Langit tiba-tiba melambat. Pandangannya tertuju pada sosok seorang gadis di kejauhan, berdiri di antara semak mawar. Cahaya matahari senja menyentuh dress ungu gadis itu, membuat kainnya berkilauan seperti permata yang hidup. Gadis itu terlihat begitu anggun, rambutnya tertata rapi, dan posturnya memancarkan keanggunan yang sederhana namun memikat. "Siapa dia?" tanya Langit, nada suaranya berubah serius, penuh rasa ingin tahu. Vasko menghentikan langkahnya, menoleh ke arah yang ditunjukkan Langit. Begitu ia melihat gadis itu, jantungnya seperti berhenti sesaat. Matanya membelalak, menandakan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. Selin? pikirnya, dadanya mendadak terasa sesak. Apa yang gadis itu lakukan di taman? Dan mengapa ia terlihat seperti itu—terlalu menonjol, terlalu memikat? "Dia..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN