"Aku sepertinya pernah bertemu dengan gadis itu," ujar Langit sambil mengerutkan dahi, tatapannya masih terpaku pada sosok Selin yang berdiri di tengah taman. Ada kerutan kecil di alisnya, tanda bahwa ia benar-benar mencoba mengingat.
Ucapan itu membuat Vasko terkejut. Ia berusaha tetap tenang, tetapi matanya sedikit melebar. "Di mana kamu bertemu dengannya? Ah... mungkin saja kamu bertemu dengan gadis yang wajahnya mirip dengannya," jelasnya dengan nada datar, mencoba menutupi kegelisahan yang mulai merayap.
Langit menggeleng pelan, ekspresinya tetap serius. "Iya, mungkin. Tapi aku merasa bahwa wajahnya ini memang sangat familiar," katanya, nada suaranya rendah namun sarat dengan keyakinan.
Vasko mendengus pelan, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kamu ini memang sering bertemu dengan seorang gadis. Pengacara terhormat yang tampan sekaligus penggoda wanita," sindirnya, setengah bercanda.
Langit terkekeh mendengar ucapan itu. "Kau tahu, minggu ini saja banyak model yang ingin bertemu denganku," balasnya dengan nada penuh kebanggaan, sebuah senyuman lebar menghiasi wajahnya.
"Mereka minta berbagi ranjang denganmu?" tanya Vasko, kali ini dengan nada sarkastis yang jelas terdengar.
"Tidak, tidak," balas Langit, mengangkat tangannya seolah menepis tuduhan itu. "Mereka ingin aku mengurus perceraiannya," ujarnya dengan suara lelah, seolah topik itu terlalu sering ia dengar.
Vasko tergelak puas mendengar jawaban itu, tawanya menggema di udara sore yang mulai meredup. "Bahagia kamu?" tanya Langit dengan nada sinis, meski ada sedikit senyum di sudut bibirnya.
"Iya, aku sangat bahagia," ledek Vasko tanpa ragu, membuat Langit menggelengkan kepala sambil tertawa kecil.
Setelah beberapa candaan ringan, keduanya akhirnya sampai di tempat mobil Langit diparkir. Langit melangkah masuk ke dalam mobil mewahnya, sementara Vasko berdiri di samping, menunggu hingga kendaraan itu meluncur pergi.
Begitu mobil itu menghilang di tikungan, senyum di wajah Vasko perlahan memudar. Ia menghela napas panjang, lalu berbalik menuju taman. Langkahnya cepat, tetapi ada sesuatu dalam gerakannya yang terasa tegang. Matanya langsung mencari sosok Selin di antara bunga-bunga mawar yang mulai terselubung bayangan senja.
Ketika akhirnya ia menemukannya, Selin masih berdiri di tempat yang sama, matanya memandang kosong ke arah langit yang berwarna jingga. Gaun ungu itu masih berkilauan lembut, seperti memantulkan cahaya terakhir hari itu. Vasko berhenti sejenak, menatapnya dari kejauhan, sebelum akhirnya melangkah mendekat. Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ia harus berbicara dengannya, meski ia sendiri tak tahu harus mulai dari mana.
"Kenapa kamu sangat cantik sekali!" ujar Vasko tiba-tiba, suaranya tegas, hampir seperti sebuah tuduhan. Kata-kata itu meluncur begitu saja, membuat Selin yang sedang asyik memandangi bunga mawar di taman menoleh cepat. Matanya yang lebar, sebening dan sejernih embun pagi, membulat karena terkejut. Wajahnya yang lembut segera memerah, seperti kelopak mawar yang tersiram sinar matahari senja.
"Sa-saya cantik?" gumam Selin dengan suara pelan, penuh kebingungan. Pipinya memerah semakin dalam, dan ia menunduk, berusaha menghindari tatapan Vasko yang begitu tajam, begitu sulit untuk diartikan.
Vasko, menyadari apa yang baru saja ia katakan, segera menggeleng cepat. "Tidak! Maksudku... lupakan saja!" katanya tergagap. Ia meraih tangan Selin secara spontan, jari-jarinya yang hangat menggenggam tangan Selin yang dingin. Namun, begitu ia menyadari apa yang dilakukannya, ia buru-buru melepaskannya, seolah tersengat listrik. "Jalan sendiri!" perintahnya dengan nada datar, namun ada kilatan canggung yang tak bisa ia sembunyikan.
Vasko berbalik dan melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan Selin yang masih terpaku di tempatnya. Selin hanya bisa menghela napas pelan, kebingungannya masih tersisa, tetapi ia memilih untuk tidak berkata apa-apa. Ia mulai melangkah pelan, mengikuti Vasko dari belakang, mencoba memahami perubahan sikapnya yang tiba-tiba.
Namun dari kejauhan, di balik deretan semak mawar, Soraya menyaksikan semuanya dengan tatapan yang gelap. Matanya menyipit penuh kemarahan, sementara bibirnya yang merah melengkung membentuk senyum sinis. Di sampingnya, seorang pelayan setianya berdiri dengan sikap waspada. "Nona, sepertinya Tuan Vasko menyukai Nona Selin," ujar pelayan itu dengan nada pelan, seperti menyampaikan sebuah rahasia penting.
Soraya mendengus, suara yang penuh penghinaan. "Jangan sembarangan bicara!" ujarnya tajam. "Vasko tidak akan pernah menyukai seorang gadis biasa seperti Selin." Soraya melipat tangannya di depan d**a, matanya tetap terpaku pada Selin yang berjalan di belakang Vasko.
"Dia bahkan tidak menyukai aku, yang merupakan anak seorang menteri. Apalagi Selin yang tidak lebih dari seorang b***k!" tambahnya dengan nada penuh kebencian. Ada sesuatu yang terbakar di matanya, bukan hanya kemarahan tetapi juga rasa sakit yang terpendam. Soraya adalah putri dari seorang menteri yang telah lama kehilangan reputasi. Ayahnya, seorang penjilat haus kekuasaan, pernah datang kepada Vasko, memohon bantuan dan perlindungan, sehingga Soraya pun tinggal di mansion ini atas nama kepercayaan.
Namun, kepercayaan itu tidak pernah menjadi cinta. Tidak ada kasih sayang, tidak ada penghormatan. Dan kini, melihat Vasko bahkan sekilas memberikan perhatian pada Selin—seorang gadis sederhana yang dianggap tak berarti—membuat rasa iri dan dendam menguasainya.
"Aku akan memastikan dia tahu tempatnya," gumam Soraya dingin, senyumnya yang kejam melengkung seperti mata pisau, siap menusuk kapan saja.