Perjanalan Seperti Badai.

1105 Kata
"Saya yang harus berterima kasih pada Tuan Langit, karena telah menolong saya. Saya tidak tahu harus bagaimana kalau tidak ada tuan," jawab Selin dengan tulus. Suaranya lembut, nyaris berbisik, tetapi penuh dengan ketulusan yang membuat ruangan itu terasa lebih hangat. Langit memandang Selin, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis yang sulit ditebak artinya. Cahaya lampu di ruangan itu membingkai wajahnya yang tampan, seolah-olah alam semesta sengaja menciptakan momen itu untuk mengukuhkan karismanya. "Lalu setelah itu apa yang terjadi?" tanya Vasko tiba-tiba, suaranya datar namun sarat dengan ketegangan yang tersembunyi. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya, menahan sesuatu yang tampak seperti amarah atau... cemburu? Langit terkekeh, suara itu rendah dan sedikit serak, seperti seseorang yang menyimpan segudang rahasia. "Ayolah, Vasko... Tidak ada yang terjadi. Aku tidak menyentuhnya. Aku bukan lelaki hidung belang," jawab Langit, nadanya penuh dengan sindiran yang membuat Vasko menatapnya dengan tajam. Vasko mendengus kecil, tetapi di dalam hatinya, ada rasa lega yang perlahan menyelinap. Helaan napasnya yang panjang tak luput dari perhatian Tedy, yang sedang duduk di depan kemudi menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajah Tedy memancarkan kelelahan yang bercampur dengan rasa geli. Ia melihat dengan jelas bagaimana cemburu menguasai Vasko, meskipun lelaki itu berusaha keras menyembunyikannya. "Jadi, Selin, kenapa kamu bisa bersama Vasko?" tanya Langit lagi, kali ini nadanya lebih serius, namun tetap lembut, seperti angin sore yang membawa ketenangan. Selin menundukkan kepalanya, kedua tangannya meremas ujung gaunnya dengan gugup. "Saya... saya pelayan Tuan Vasko. Saya bekerja di mansionnya," jawabnya pelan. Suaranya terdengar stabil, tetapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat Langit mengernyit, sementara Vasko melirik Selin dengan tajam. Namun, Vasko tidak mungkin mengoreksi ucapan itu. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa Selin bukan sekadar pelayan, melainkan sesuatu yang lebih gelap? Sesuatu yang tidak akan pernah dia akui di hadapan Langit. Itu akan membuatnya terlihat seperti monster, pikirnya, meskipun dia tahu, sebagian dari dirinya memang demikian. Langit mengangguk pelan, tatapannya tetap pada Selin. "Kalau kamu tidak keberatan, aku akan membayar Selin dan membiarkannya bebas," ujarnya, membuat ruangan itu seketika terasa lebih dingin. Vasko langsung mendengus, menolak mentah-mentah. "Cari saja orang lain. Jangan merebut pelayan orang lain," balasnya dengan nada jengah. Langit terkekeh lagi, tangannya mengusap rambutnya yang agak panjang, membuat beberapa helai jatuh menutupi keningnya. Dia sangat tampan dalam momen itu, seperti seorang pahlawan yang baru saja melangkah keluar dari buku cerita. "Berapa kamu membelinya dari Soraya?" tanya Vasko pada akhirnya, suaranya berat dan penuh dengan nada menantang. Langit tersenyum tipis, tatapannya penuh teka-teki. "Ada lah," jawabnya santai. "Aku akan menggantinya," tegas Vasko, suaranya semakin meninggi. Namun, Langit tetap tenang, seperti batu karang yang tak tergoyahkan di tengah badai. "Tidak perlu. Uang itu tidak ada artinya dibandingkan dengan pertemananku dengan Selin," jawab Langit dengan nada yang tulus, tetapi tegas. "Pertemanan apa? Kamu seorang pengacara hebat, dan Selin hanyalah seorang pelayan. Jangan membuat hidup orang menjadi lebih rumit," ujar Vasko dengan nada dingin. Langit mengangkat bahunya, senyumnya kali ini lebih tipis. "Justru karena itu, aku ingin membebaskannya. Dia bisa kuliah, menjadi sesuatu yang lebih besar. Dia tidak harus terperangkap dalam hidup seperti ini," ujarnya, setiap kata penuh dengan keyakinan yang mengguncang Vasko. Vasko terdiam, matanya tajam menatap Langit. Namun, di balik tatapan itu, ada sesuatu yang retak. Sesuatu yang tidak ingin dia akui—rasa takut kehilangan. Akhirnya, mobil kembali meluncur dengan tenang, membelah keramaian kota yang berkilauan dalam cahaya lampu jalanan. Selin duduk di kursinya, tubuhnya bersandar dengan anggun, matanya tertuju pada kaca jendela. Lampu-lampu jalanan tampak seperti bintang-bintang kecil yang menari di tengah malam. Gedung-gedung tinggi menjulang dengan elegansi dingin, menciptakan siluet kota yang megah. Keramaian itu, meskipun bising, justru memberikan kehangatan yang aneh, seperti pelukan yang tak terlihat. "Kamu kenapa enggak bawa mobil?" tanya Vasko, nadanya dingin tetapi tetap menyiratkan perhatian yang tak terucap. Langit terkekeh ringan, suaranya rendah tetapi penuh percaya diri. "Aku dikejar wartawan tadi. Makanya aku keluar dari mobil dan mengendap-endap ke mobil kamu," jelasnya, seolah-olah insiden itu hanyalah bagian kecil dari rutinitas hariannya. "Kacau sekali kamu," desis Vasko dengan nada mencibir, matanya menyipit tajam. "Ya, begitulah kalau orang terkenal dan tampan," jawab Langit dengan nada narsis yang sengaja dibuat-buat. Wajahnya dihiasi senyuman jahil yang mampu membuat orang lain tertawa meski sedang kesal. Tedy, yang sedang fokus mengemudi, terkekeh kecil. Suara tawanya ringan, seperti angin yang menyelinap di antara celah pintu. Selin, yang sejak tadi terdiam, hanya tersenyum tipis. Senyuman itu sederhana, tetapi ada kehangatan yang terpancar darinya, seperti matahari pagi yang malu-malu menyelinap di balik awan. "Selin, aku suka melihatmu tersenyum," ujar Langit tiba-tiba, suaranya lembut tetapi tajam, menusuk hingga ke dasar hati. Selin terpaku, wajahnya memerah seketika seperti mawar yang baru saja mekar. Dia segera menundukkan kepala, berusaha mengembalikan ekspresinya menjadi datar. Namun, getaran kecil di ujung bibirnya mengkhianati perasaannya. Langit tersenyum puas, tatapannya lembut tetapi penuh arti. Di sisi lain, Vasko tampak seperti singa yang siap menerkam, matanya menatap Langit dengan tajam, tetapi dia tidak mengatakan apapun. Tedy, yang duduk di depan, hanya menggelengkan kepalanya sekali lagi, seolah-olah ini hanyalah drama lain yang harus dia saksikan sebagai asisten. "Kamu sedang dzikir, Tedy?" goda Langit, senyuman jahil kembali menghiasi wajahnya. "Iya, Tuan Pengacara, agar jalannya lancar," balas Tedy dengan santai, nada bicaranya tak kalah menggoda. Meskipun hanya seorang asisten, Tedy memiliki aura yang memikat. Wajahnya yang tampan, dengan garis rahang yang tegas dan mata yang tajam, membuatnya terlihat seperti karakter anime yang hidup di dunia nyata. Mendengar jawaban itu, Langit tergelak, tawanya meluncur bebas seperti arus sungai yang deras. Namun, Vasko hanya berdecak pelan, matanya tertuju ke depan tetapi pikirannya jelas melayang jauh. Amarah dan frustrasi bergejolak dalam dirinya, seperti badai yang mencoba ia tahan dengan sekuat tenaga. Semua ini bukan salah Langit atau Tedy, pikirnya. Semua ini salah Soraya. Perempuan itu yang telah menjual Selin, membuat gadis itu masuk ke dalam kehidupan Langit. Dan kini, Vasko harus berhadapan dengan pria yang terlalu percaya diri untuk kebaikannya sendiri. "Tedy, usir Soraya dari mansion!" ujar Vasko tiba-tiba, suaranya rendah tetapi penuh ketegasan, seperti perintah dari seorang raja. Tedy mengerjap, matanya sedikit melebar karena terkejut. "Maaf, Tuan?" tanyanya, memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Langit menautkan kedua alisnya, ekspresi serius mulai menghiasi wajahnya. "Usir Soraya? Kenapa tiba-tiba, Vasko?" tanyanya, nada santainya berubah menjadi penasaran. Vasko tidak menjawab langsung. Matanya menatap lurus ke jalanan di depan, tetapi sorot itu dingin dan penuh dendam yang membara. "Karena dia tidak pernah tahu kapan harus berhenti membuat kekacauan," gumamnya pelan, tetapi cukup keras untuk didengar semua orang di dalam mobil. Hening melingkupi mereka sejenak, seperti selimut berat yang menekan. Langit melirik Selin, yang kini tampak semakin kecil di kursinya, seolah-olah ingin menghilang dari pandangan. Ada sesuatu yang gelap dalam atmosfir di mobil itu, sesuatu yang terasa seperti bayangan besar yang perlahan-lahan menyelimuti mereka semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN