Ampun tuan! Seruan itu menggema di antara dinding-dinding megah mansion yang mendadak terasa menyempit. Soraya bersimpuh di atas lantai marmer yang dinginnya menembus hingga ke tulang, seperti mencengkeram tubuhnya yang gemetar. Matanya yang penuh kebencian sesekali menatap Selin, gadis polos yang berdiri kaku di sudut ruangan, tak tahu harus berbuat apa.
Vasko, pria dengan aura dingin dan otoritas yang tak terbantahkan, berdiri menjulang di hadapannya. Suaranya menggelegar, memecah keheningan. "Siapa yang menyuruh kamu menjual Selin?"
Kata-katanya seperti petir yang menggelegar di tengah badai. Ruangan yang sebelumnya sunyi kini dipenuhi dengan ketegangan yang hampir bisa dirasakan. Soraya menundukkan kepala lebih dalam, tangannya gemetar.
"Saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak bermaksud—" ucapnya terbata-bata. "Saya pikir Tuan sudah tidak menginginkan gadis itu lagi."
Kalimat itu terdengar bergetar, namun matanya yang menyala penuh kebencian menyapu wajah Selin. Di sudut pandangannya, gadis itu hanyalah pengganggu yang tak tahu diri, berdiri dengan wajah bingung yang memuakkan. Sementara itu, Tedy berdiri di dekat pintu, diam tak bergerak, seperti patung hidup yang sengaja ditugaskan untuk mengamati tanpa ikut campur.
"Kamu telah melakukan kesalahan besar," ujar Vasko tajam, wajahnya memancarkan kedinginan yang menusuk. "Kamu keluar dari mansion ini."
"Tidak, Tuan!" Soraya memohon, suara seraknya penuh kepanikan. Ia berlutut lebih dalam, mencoba meraih ujung jubah Vasko. "Saya sungguh minta maaf. Saya tidak akan melakukannya lagi."
Vasko tidak menoleh, hanya menggelengkan kepala dengan jijik. "Saya tidak peduli."
Dengan gerakan tegas, dia meraih tangan Selin, menarik gadis itu keluar dari ruangan. Suara langkah kakinya yang berat menggaung, meninggalkan Soraya yang masih terduduk di lantai dengan wajah merah padam. Kedua tangannya terkepal, amarah membakar dadanya.
Tedy akhirnya membuka suara. "Kamu keluar malam ini," katanya dengan nada tegas namun dingin, seperti sedang menjatuhkan hukuman terakhir.
"Tidak, Mas Tedy. Aku harus di sini. Aku masih harus melayani Tuan!" Soraya memohon lagi, matanya yang penuh air mata kini menatap Tedy dengan desperation.
"Tuan sudah tidak membutuhkanmu," balas Tedy, suaranya seperti palu yang menghantam.
Soraya mendengus, bibirnya bergetar karena amarah. "Pasti gara-gara gadis miskin itu," gumamnya penuh kebencian.
Tedy menggelengkan kepala, jelas merasa muak dengan drama ini. "Nona Selin adalah wanita Tuan. Kamu telah melewati batas. Pergilah sekarang, atau kami akan mengusirmu dengan cara yang tidak hormat."
Soraya terdiam, tubuhnya yang gemetar kini memancarkan dendam yang mendidih. Ia tahu, hidupnya di mansion ini sudah berakhir. Namun, ia bersumpah dalam hatinya, jika ia harus pergi, maka ia tidak akan pergi dengan tangan kosong. Selin akan membayar semuanya.
Selin melangkah perlahan menuju dapur, suara langkah kakinya yang ringan hampir tenggelam oleh keheningan malam. Aroma kayu manis dan vanila yang samar memenuhi udara, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan hawa dingin mansion yang megah namun kaku. Sesampainya di dapur, seorang pelayan muda dengan wajah ceria mendekatinya, membawa senyum yang tampak tulus namun menyimpan sedikit rasa iri yang tak terucapkan.
“Anda sangat beruntung sekali, Nona,” ucap pelayan itu, nadanya seperti bisikan rahasia yang hanya dimaksudkan untuk telinga Selin.
Selin menatapnya dengan mata penuh tanya. Ia mengambil gelas kosong dari meja, bermaksud mengisinya dengan air. Tangannya yang mungil terlihat gemetar ringan, mungkin karena rasa canggung yang masih menguasai dirinya di tempat asing ini.
“Anda telah berhasil mengusir Soraya dari sini. Dia benar-benar toksik,” lanjut pelayan itu sambil mengisi gelas Selin dengan air yang bening seperti kristal. “Sejak lama, kami semua menginginkan perempuan jahat itu pergi dari mansion. Dan sekarang, kami merasa Anda adalah cahaya baru di tempat ini. Anda pantas menjadi ketua pelayan kami.”
Selin terdiam, gelas di tangannya terasa berat. Kata-kata itu menggema di benaknya, menimbulkan rasa bingung yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menatap pelayan itu dengan ragu, mencoba mencerna maksud di balik kalimat pujiannya.
“Kamu sudah lama di sini?” tanya Selin akhirnya, suaranya terdengar hati-hati, seperti takut menyentuh luka lama yang tersembunyi.
Pelayan itu mengangguk, matanya menyiratkan keletihan yang hanya dimiliki oleh mereka yang sudah terlalu lama bertahan. “Iya, Nona. Kami semua sudah lama di sini. Tapi, kami hanyalah bayangan di mansion ini. Tuan Vasko hampir tidak pernah melirik kami, dan kami pun tidak peduli. Yang penting, kami tetap bekerja dan makan enak,” katanya sambil tersenyum kecil.
Selin menghela napas pelan. Matanya menatap permukaan air di gelas, seolah mencari jawaban di kedalaman bening itu. “Aku hanyalah pelayan biasa. Dan—”
“Tidak, Nona,” potong pelayan itu dengan nada tegas namun lembut. “Anda berbeda. Tuan sangat menyayangi Anda.”
Selin mengangkat wajahnya, menatap pelayan itu dengan bingung. “Oh, iya? Apakah terlihat seperti itu?” tanyanya, setengah tidak percaya.
“Iya. Selama ini, Tuan tidak pernah peduli pada kami, bahkan tidak pada Soraya. Tapi, sejak Anda datang, beliau sering menatap Anda diam-diam. Itu membuat kami senang, karena akhirnya Tuan tampak lebih hidup. Dan mungkin, beliau bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Soraya,” jelas pelayan itu dengan mata berbinar.
Namun, kegembiraan di wajahnya segera memudar, digantikan oleh ekspresi serius. “Tapi, Nona Selin tidak boleh santai dulu. Karlota masih di sini. Dia adalah bawahan Soraya yang setia. Perempuan itu licik dan berbahaya. Anda harus hati-hati.”
Selin mengangguk pelan, hatinya mulai dipenuhi kewaspadaan. Kata-kata pelayan itu seperti angin dingin yang menyelinap ke dalam jiwanya, mengingatkannya bahwa di balik dinding-dinding mewah mansion ini, ada bahaya yang mengintai dalam bayang-bayang.