Selin Merasa Mual.

1639 Kata
Saat ini, di ruang rapat paling eksklusif yang terletak di lantai tertinggi gedung kaca menjulang itu, Vasko tengah duduk di ujung meja panjang berlapis kayu mahoni gelap yang mengilap seperti permukaan air sebelum badai. Matanya yang tajam seperti elang mengawasi setiap lembar laporan yang dibuka perlahan namun pasti, seperti sedang menelanjangi rahasia-rahasia yang coba disembunyikan angka-angka dingin di atas kertas. Cahaya sore yang masuk melalui jendela tinggi menjatuhi bahunya, menciptakan aura agung yang memperkuat wibawa dan kesan tak tersentuh. Di sekelilingnya, duduk para petinggi perusahaan—mereka yang secara teori adalah tangan kanan, kiri, bahkan napas strategis sang CEO. Ada Leo Dirgantara, sang COO yang dikenal perfeksionis tapi mulai kehilangan ketenangan dalam diamnya. Wajahnya tegang, seolah hitungan detik adalah dentuman palu godam yang mengarah ke jantungnya. Di sebelahnya, Senan Liandra, sang CFO, memutar-mutar pulpen peraknya dengan gugup, matanya mencuri pandang ke layar proyektor yang menampilkan grafik laba yang menurun seperti luka menganga. Rindi Riana, CMO yang anggun dan cerdas, kini menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum profesional. Ironisnya, ia memegang jabatan Chief Technology Officer, bukan Marketing, dan entah mengapa, kesalahan itu terus tertulis di daftar resmi perusahaan seperti bisikan takdir yang mengolok-olok kejelasan struktur. Di sisi lain meja, hadir pula CTO, CHRO, dan CIO yang wajah-wajahnya tampak dibekukan oleh ketegangan kolektif, seperti patung-patung yang dipahat dari rasa takut akan kegagalan. Sementara itu, tidak jauh dari tempat Vasko duduk, berdiri Tedy—pengawal setia yang diam-diam menjadi saksi bisu dari segala dinamika di ruang yang penuh ego dan ambisi ini. Matanya mengamati para eksekutif itu satu per satu, dan dalam diamnya ia tahu—tahu betul—bahwa tak satu pun dari mereka benar-benar menghormati Vasko. Kepatuhan mereka hanyalah topeng yang dikenakan dengan paksa, seperti senyuman plastik dalam pesta topeng, menyembunyikan rasa jenuh, dendam tersembunyi, dan bisikan licik yang menunggu waktu untuk menyelinap keluar. Di ruang itu, ketegangan menggantung seperti kabut yang tak mau pecah—diam, berat, dan siap meledak kapan saja. Vasko belum berbicara. Namun semua tahu, saat ia akhirnya membuka mulutnya, kata-katanya bisa menjadi peluru atau bara api yang menghanguskan reputasi siapa pun yang tak siap. --- Vasko mengerutkan keningnya pada menit-menit berikutnya, seperti seseorang yang mencium aroma busuk dalam sebuah taman bunga. Jarinya yang panjang dan kaku menelusuri baris-baris angka yang menari di layar dan kertas, namun tidak menari dalam harmoni yang biasa. Sesuatu terasa janggal, seperti nada sumbang dalam simfoni yang sempurna. Di seberangnya, Senan Liandra duduk dengan punggung tegak namun mata berkedip lebih cepat dari biasanya. Hawa ruang rapat seakan berubah menjadi bilik interogasi ketika suara Vasko yang dalam dan tenang memecah keheningan. "Ada apa, Pak?" tanya Senan, berani, tapi tidak sepenuhnya tenang. Keberaniannya itu bukan lahir dari ketegasan, melainkan dari darah—darah keluarga. Dia adalah anak dari pamannya Vasko, dan garis keturunan itu menjadi satu-satunya tameng yang tersisa dalam detik-detik ini. ''Keuangan kali ini agak berbeda. Apa ada yang salah?" Vasko menatapnya dengan mata seperti belati—tajam, fokus, dan tak kenal ampun. Sorot matanya menyusup ke balik kulit, seolah hendak mengupas lapisan demi lapisan kebenaran yang tersembunyi di balik kata dan laporan. "Berbeda?" Senan mengulang pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, gerakan klasik orang yang sedang berpikir keras atau menahan gelisah. Di dalam hatinya, ia bergumam kasar. Apakah Vasko tidak bisa melihat bahwa dirinya nyaris tak tidur semalam demi menyusun laporan keuangan itu? Tak bisakah laki-laki itu sekadar menghargai usaha, bukan hanya hasil dingin penuh hitung-hitungan? Sungguh menyebalkan. Seketika, Vasko menggeser tubuhnya sedikit ke depan, lalu tanpa ekspresi, melemparkan map laporan itu ke arah Senan. Benda itu terbang rendah dan mendarat di meja dengan bunyi keras, seperti palu vonis yang dijatuhkan di ruang pengadilan. ''Iya. Sebaiknya kamu teliti lagi yang benar," katanya, suaranya sehalus kapas tapi seberat batu nisan. Map itu terbuka sedikit, lembar-lembar data tersebar seperti daun gugur, dan setiap angka di dalamnya seolah mengolok-olok kerja keras Senan. Di bawah meja, Senan mengepalkan kedua tangannya erat—begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, menahan arus amarah yang nyaris meledak seperti gempa kecil di balik lautan diam. Ia tidak bicara. Tak ada pembelaan. Hanya kesunyian yang menggerogoti harga dirinya sedikit demi sedikit, seperti karat yang diam-diam memakan besi. Dan di tengah keheningan itu, waktu berjalan lambat—seolah ruangan itu berada di dalam gelembung yang tertahan, menunggu ledakan berikutnya yang entah akan datang dari mulut, dari tangan, atau dari hati yang sudah retak. -- Meeting berakhir seperti badai yang tiba-tiba mereda—bukan karena angin telah tenang, tapi karena semua orang terlalu letih untuk tetap bertahan. Para eksekutif satu per satu bangkit dari duduk mereka, beberapa dengan helaan napas lega, lainnya dengan wajah yang tetap tak bisa disembunyikan dari bayang ketegangan. Namun, di tengah ruangan yang perlahan-lahan kosong, Senan masih duduk mematung, seperti patung yang ditinggalkan di reruntuhan kuil tua. Matanya menatap meja, kosong dan dingin, seolah berharap meja itu bisa menjawab rasa frustasinya. Pintu besar ruang rapat itu menutup dengan lembut tapi mantap, menandai kepergian sang atasan—Vasko—bersama asistennya yang setia, Tedy. Suara langkah mereka menghilang perlahan, berganti dengan desah napas panjang dari Senan yang akhirnya pecah. Leo, si COO yang lebih sering jadi pengamat dalam diam, menatap Senan dari sisi meja dengan senyuman kecil yang menyimpan rasa geli. "Bukankah dia saudaramu?" tanyanya, nada suara bercampur antara canda dan rasa ingin tahu yang disengaja ditahan. Senan mendelik tajam. Matanya menyala sejenak seperti bara api yang baru saja disentuh udara. Lalu sebuah desahan bergetar keluar bersama kata-kata pedas yang sudah lama tertahan. ''Bukan! Dia anak jurig!" semburnya dengan kesal, menggertakkan giginya seakan tiap huruf itu keluar dari dasar dadanya yang sedang terbakar. Ia bangkit dari kursi seperti badai yang akhirnya meledak, langkahnya cepat dan berat, dan setiap hentakan hak sepatunya menghantam lantai granit dengan keras—seolah ingin meninggalkan jejak luka pada bangunan itu sendiri. Para eksekutif lain yang masih tersisa di dalam ruangan spontan tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena mereka tahu rasa pahit itu, dan siapa yang belum pernah merasakan cengkeraman dingin dari tangan Vasko? Sementara itu, jauh dari ruangan penuh tawa getir itu, Vasko dan Tedy melangkah menyusuri lorong panjang menuju ruang pribadi sang CEO. Cahaya lampu gantung menari-nari di permukaan lantai marmer yang mengilap, memantulkan bayangan tubuh Vasko yang tegap dan jenjang—langkahnya mantap, nyaris seperti irama militer, namun tetap memancarkan pesona seorang pria yang terbiasa memberi perintah dan menelan kebenaran seperti racun yang sudah ia kenal. ''Tuan, sepertinya meeting ini terlalu cepat diakhiri," ujar Tedy dengan suara hati-hati, seperti seseorang yang sedang mengetuk pintu rahasia. "Maksud kamu?" tanya Vasko, tanpa memalingkan wajah. Langkahnya tak pernah melambat, seolah waktu sendiri pun harus menyesuaikan irama dengannya. "Ya, maksud saya… Tuan sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Apakah ini ada hubungannya dengan Nona Selin?" Langkah Vasko tak terhenti, tapi napasnya berubah. Nyaris tak terdengar, tapi cukup terasa bagi Tedy yang sudah mengenal tuannya bertahun-tahun. Sekejap, suasana jadi lebih dingin dari pendingin ruangan itu sendiri. "Selin? Kenapa kamu sebut dia?" Suara Vasko kini sinis, setipis pisau, dan terasa seperti kabut pagi yang membawa tajam embun beku. Tedy langsung menunduk, tubuhnya kaku, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. "Oh… Maaf, Tuan. Sepertinya saya sedang salah bicara." Nada suaranya penuh hormat, tetapi menyimpan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. --- "Jangan bahas Selin di sini," ucap Vasko datar, tapi di balik nada tenangnya, ada sesuatu yang meletup seperti bara kecil yang tersembunyi di bawah abu dingin. Tedy mengangguk cepat, menutup rapat bibirnya seolah baru saja nyaris menyingkap pintu ke jurang yang seharusnya tetap terkunci. Mereka melangkah masuk ke ruang kerja Vasko—sebuah ruangan megah dengan jendela setinggi langit-langit dan furnitur bernuansa gelap yang memancarkan kekuasaan. Pintu tertutup dengan bunyi lembut, namun di luar sana, takdir sedang menulis bab baru pada kisah yang belum selesai. --- Di tempat lain, di sebuah ruangan beraroma kayu lawas dan teh melati, Selin duduk di kursi rotan di samping sang kakek. Sore menyusup perlahan lewat celah jendela, menciptakan bayangan lembut di wajah cantiknya yang tampak pucat. Ia mengusap tengkuk dan keningnya yang basah oleh peluh halus—rasa mual kembali menyerangnya, seperti ombak kecil yang terus datang tanpa peringatan. ''Ada apa, Nak?" tanya sang kakek, suaranya hangat dan penuh perhatian, bagai embun di pagi hari yang menetes di daun-daun tua. Selin menggelengkan kepala lemah, mencoba tersenyum tapi bibirnya hanya bergerak sedikit. ''Saya tidak tahu, Kek. Tapi akhir-akhir ini saya sering merasa mual, perut saya seperti penuh..." Kakek itu terdiam, menatapnya dengan sorot mata yang mengandung kebijaksanaan usia dan intuisi lelaki tua yang telah lama mengamati dunia. Matanya menyisir wajah Selin, membaca setiap garis halus dan bayangan di balik bola matanya. "Apakah kamu pernah punya suami?" tanyanya perlahan. Selin mengangguk, lambat dan nyaris enggan. Dalam hatinya, kenangan pahit mencuat—tentang lelaki yang tak layak disebut suami, yang telah menyerahkannya seperti barang dagangan kepada Vasko, pria penuh misteri yang kini menghantui langkah-langkahnya. Kakek itu menghela napas, sorot matanya meredup oleh beban pemikiran. "Apakah kamu... hamil?" ''Ha-hamil?" Selin memekik pelan, matanya membesar seperti bulan yang baru muncul dari balik awan gelap. Suasana di ruangan itu seketika berubah—udara menjadi lebih berat, dan waktu terasa melambat. ''Iya, Nak," ucap kakek tenang, tapi tajam, seolah kalimat itu datang dari mulut langit sendiri. Selin buru-buru menggeleng keras, rambutnya yang tergerai bergoyang liar mengikuti gerakan kepalanya. "Tidak mungkin, Kek. Itu tidak mungkin." Kakek mengernyitkan dahi, penuh rasa heran. "Kenapa tidak mungkin, Nak?" Diam. Selin terdiam. Suara detak jam dinding terasa nyaring, menggantikan jawabannya yang tertahan di tenggorokan. Ia mengingat jelas—terlalu jelas—bahwa lelaki yang pernah ia panggil suami itu tak pernah menyentuhnya. Tak sekalipun. Pernikahan mereka hanya janji di atas kertas, bukan di dalam tubuh. ''Saya... saya tidak pernah tidur dengan suami saya," jawab Selin akhirnya, lirih, tapi cukup jelas untuk membuat udara di sekeliling mereka berhenti bergerak. Kakek memandangnya lama, dan senyap turun di antara mereka seperti selimut malam. Di balik diamnya, ada tanya yang tak terucap. Jika bukan dari suaminya, lalu... dari siapa? ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN