Selin Pingsan

1091 Kata
--- Kakek tidak banyak bicara sejak mereka duduk bersama. Hanya diam. Menatap cucunya dengan tatapan yang menyelam dalam, seakan sedang membaca lembar demi lembar cerita yang tertulis di wajah Vasko. Vasko menggeliat kecil. Perasaan tidak nyaman menjalari punggungnya seperti kabut yang enggan menghilang. "Ada apa, Kek?" suaranya lirih, nyaris seperti bisikan, pecah di antara kesunyian yang menegang. Kakek tersenyum samar. Senyum yang menyimpan lautan kasih, sekaligus kerinduan yang dalam. Tangan tuanya yang hangat, beraroma minyak kayu putih dan kenangan masa lalu, perlahan mengusap pipi tampan Vasko. “Tidak ada apa-apa. Kakek hanya sedang rindu sama kamu,” jawabnya dengan suara yang berat, seperti keluar dari palung waktu yang panjang. Vasko mengernyit malu, senyum tipis tergambar di wajahnya. “Ada-ada saja, Kakek ini.” Namun senyum itu segera sirna, berubah menjadi keterkejutan, saat sang kakek membuka percakapan yang tak terduga. “Begini, Nak. Bagaimana menurut kamu tentang Selin?” “Hah? Maksud Kakek?” Vasko refleks menegakkan tubuh. Pertanyaan itu menusuknya seperti kilat yang menyambar dari langit biru. Tak biasa. Tak wajar. Dan terasa terlalu pribadi. “Iya. Dia cantik, kan?” suara kakek terdengar tenang, tapi penuh makna. Seolah ada sesuatu yang telah lama ia simpan dan kini pelan-pelan dibuka. “Mmm... iya, cantik... karena dia perempuan. Kalau dia laki-laki, mungkin dia tampan kan?” Vasko mencoba melucu, menutupi kegugupannya. Kakek tertawa pelan, senyumnya merekah seperti bunga tua yang masih setia mekar di musim senja. “Kakek merasa, gadis itu sangatlah malang.” “Malang bagaimana, Kek? Kak aku jamin dia. Aku kasih dia pekerjaan yang bagus. Baju bagus. Bahkan... perhiasan juga.” Wajah kakek tampak sedikit berubah, matanya menyipit. “Kamu kasih dia perhiasan juga?” Pertanyaan itu membuat Vasko tercekat. Lidahnya kelu, pikirannya berhamburan. “Kenapa?” desak kakek. “Bukankah dia hanya seorang pelayan?” Kata-kata itu bagai pukulan lembut yang menyadarkan Vasko dari khayalnya sendiri. Ya, benar. Selin hanya pelayan. Tak ada alasan logis untuk memberi lebih dari sekadar upah dan baju kerja. Tapi ia telah memberinya lebih. Jauh lebih. “Ah, iya... itu karena...” Vasko tergagap. Kata-kata terasa seperti batu di tenggorokan, terlalu berat untuk ditelan, terlalu tajam untuk diucapkan. “Karena apa?” desak kakek dengan nada penuh kesabaran namun menuntut kejujuran. “Karena…” Vasko menunduk. Tatapannya jatuh ke lantai kayu yang mengilap, seakan mencari jawaban di sela retaknya. Kakek mengulurkan tangan, menggenggam erat tangan cucunya yang dingin. “Nak…” ucapnya lembut namun penuh ketegasan. “Kalau kamu suka sama Selin, ada baiknya kamu terus terang… dan jaga dia. Dunia ini terlalu kejam untuk perempuan baik yang dibiarkan menggantung di antara harapan dan ketidakpastian.” “Maksud Kakek apa?” Vasko berbisik, mencoba menyembunyikan ketakutannya di balik kepura-puraan. Kakek menghela napas, dalam dan berat. Matanya memandang cucunya tanpa kedip. “Kamu suka kan sama dia?” tanya kakek, lalu diam sejenak sebelum melanjutkan, “Apa kamu juga pernah menyentuh dia?” Dan di situlah dunia Vasko berhenti berputar. Suasana sekelilingnya mendadak sunyi seperti ruang hampa. Detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya, seolah menghitung waktu yang kini membelenggu hatinya. Ia kehilangan kata, kehilangan arah. Yang tersisa hanyalah diam—diam yang mengandung sejuta pengakuan tak terucap. --- Vasko keluar dari kamar sang kakek dengan langkah gontai. Di lorong yang sepi, cahaya lampu temaram memantul lembut di lantai marmer, menciptakan bayangan panjang di belakang tubuhnya. Hatinya gaduh, penuh tanya, seakan pikirannya tak sanggup merangkai logika dari kata-kata sang kakek tadi. Mengapa tiba-tiba Selin menjadi pusat pembicaraan? Mengapa pertanyaan itu terasa seperti penghakiman—atau justru sebuah peringatan? Langkahnya membawanya ke ruang kerja. Di sana, Tedy—seperti biasa—sudah menunggunya dengan postur tegap dan wajah tenang. Tapi bahkan ketenangan Tedy kali ini terasa tak mampu menyamarkan ketajaman matanya. “Ada apa, Tuan?” tanyanya, suara Tedy terdengar halus namun tajam, seperti pisau yang dibungkus sutra. Vasko duduk. Suara jemarinya yang mengetuk meja terdengar pelan tapi ritmis, seakan ia sedang mengatur detak jantungnya sendiri. “Apa selama ini kamu berpikir kalau aku… suka sama Selin?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi pertanyaan itu menggantung di udara, seperti aroma hujan sebelum badai. Tedy tak langsung menjawab. Ia menatap sang atasan dengan sorot menyelidik, seolah sedang mengukur kedalaman samudra di balik mata Vasko. Kemudian, dengan senyum tipis yang nyaris menggoda, ia mengangguk pelan. “Sepertinya begitu.” Dan Vasko, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, kehilangan keseimbangan emosinya. Kedua mata indahnya membesar, seakan kata-kata itu adalah tamparan lembut yang menjatuhkan semua pertahanan dirinya. “Tuan sangat perhatian pada Nona Selin. Tuan juga sering menatapnya diam-diam… lebih lama dari yang seharusnya,” ujar Tedy pelan, tapi penuh tekanan. “Tuan juga memberi hadiah-hadiah kecil, tanpa alasan yang jelas. Dan yang paling terlihat—Tuan sering cemburu, jika Nona Selin berada terlalu dekat dengan Tuan Langit.” Kata-kata itu meresap perlahan ke dalam d**a Vasko seperti air dingin yang menetes ke batu panas. Ia menghela napas panjang, bahunya merosot, dan wajahnya tertunduk. “Kamu dan Kakek… sama saja,” keluhnya, nyaris seperti anak kecil yang kepergok mencuri kue. “Memang seperti itulah keadaannya, Tuan,” balas Tedy ringan, namun penuh keyakinan. “Keadaan apa? Kalian ini sedang mengada-ada!” suara Vasko meninggi sedikit, tapi terdengar lebih seperti bentuk penyangkalan daripada kemarahan. “Kami tidak sedang mengada-ada, Tuan. Kami—” Suara Tedy terhenti ketika pintu diketuk cepat dari luar, disusul dengan suara napas tersengal dan ketakutan. Seorang pelayan perempuan muncul di ambang pintu, wajahnya pucat dan panik. “Maaf, Tuan… Nona Selin… dia… dia pingsan di dapur. Saya tidak tahu… tiba-tiba saja—” Belum habis kata-kata itu terucap, Vasko sudah bangkit dari duduknya. Ia melesat keluar ruangan seperti badai yang baru saja lepas dari tambatannya. Langkah kakinya menghentak lantai tanpa ragu, seolah hatinya telah melampaui pikirannya. Tanpa sadar, ia menembus ruang demi ruang, tak peduli pada siapa pun, tak peduli pada apa pun. Tedy dan pelayan itu hanya bisa terpaku, menyaksikan sang tuan yang selama ini selalu tenang dan penuh kendali, kini berubah menjadi seseorang yang tak bisa menyembunyikan kepanikannya. “Dia kenapa?” gumam Tedy masih bingung, matanya mengikuti bayangan Vasko yang menghilang di balik koridor. Pelayan itu menggeleng pelan. “Saya juga… tidak tahu.” Di dapur, tubuh Selin terbaring lemah di lantai dingin, dikelilingi aroma masakan yang belum sempat selesai. Cahaya lampu menyinari wajahnya yang pucat, dan hela napasnya nyaris tak terdengar. Tapi bagi Vasko, dunia seolah berhenti saat ia melihat gadis itu tak berdaya. Semua gema tuduhan, segala suara kakek dan Tedy, menguap—meninggalkan satu kebenaran sunyi yang kini bergema di hatinya: Ia tak bisa membiarkannya terluka. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN