Kapas Yang terlepas.

823 Kata
"Selin!" Panggilan itu menggema di antara dinding-dinding ruangan yang sepi. Suara Vasko terdengar dalam dan tenang, namun ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantung Selin mencelos. Ia menegakkan tubuhnya, lalu dengan ragu-ragu berbalik, menatap laki-laki itu dengan ketakutan yang kentara di sorot matanya. Dari sudut matanya, Selin melihat dua lelaki yang tadi menjadi sumber kemarahan Vasko telah menghilang ke dalam lift. Pintu lift menutup perlahan, meninggalkan suara mekanis yang seakan menambah ketegangan di udara. Kini, hanya ada ia dan Vasko di ruangan tengah yang luas, namun terasa mencekam. Ruangan itu seolah dipenuhi oleh keheningan yang berat, seperti jaring laba-laba yang mengikat langkahnya. Napas Selin memburu. Ia merasa seperti seekor rusa yang terjebak di hadapan serigala, menanti saat di mana dirinya akan diterkam. "Maaf, Tuan. Saya telah lancang," ucap Selin dengan suara lirih, mendahului apa pun yang akan dikatakan oleh Vasko. Vasko memiringkan kepalanya, menatapnya tajam dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Memangnya apa kesalahanmu?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari yang Selin bayangkan. Selin menelan ludah, jari-jarinya saling meremas di depan tubuhnya. "Saya mengintip Anda... Saya sungguh minta maaf. Saya hanya penasaran dengan suara pecahan itu." Vasko menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Selin tahu ia telah bersalah, tapi yang membuat laki-laki itu semakin tidak tenang bukanlah rasa lancangnya, melainkan sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat Vasko mengerutkan dahi dan menyipitkan mata. Tatapan laki-laki itu jatuh pada pipi Selin, tepat di bagian yang memerah dan sedikit bengkak. Sudut bibirnya pun tampak pecah, seperti habis menerima tamparan keras. "Apa yang terjadi pada pipimu?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan, tapi menyimpan bara yang siap menyala. Sebelum Selin sempat mundur, tangan Vasko yang besar dan hangat sudah terangkat, menyentuh pipinya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Selin menunduk, seolah ingin menghilang dari pandangan laki-laki itu. "Itu hanya—" "Apakah lelaki itu menamparmu?" Selin membatu. Kata-kata itu begitu lugas, begitu tajam, seakan menelanjangi kebenaran yang mati-matian ingin ia sembunyikan. Ia tidak ingin mengadu. Tidak ingin terlihat lemah. Tapi diamnya justru menjawab segalanya. Mata Vasko semakin gelap. Rahangnya mengeras. Amarah membara di dalam dirinya, tapi ia berusaha menahannya. Dengan gerakan pelan, ia menarik Selin untuk duduk di sofa. Namun, Selin menggeleng, berusaha menolak perhatian yang diberikan kepadanya. "Tuan..." Selin menahan tangan Vasko yang hendak menyentuh wajahnya lagi. "Iya?" Vasko menatapnya dengan sedikit heran. "Saya akan membersihkan dapur. Saya—" "Tidak!" potong Vasko cepat, suaranya tegas. "Biar Karlota saja yang membersihkannya. Kamu duduk dan saya akan melihat luka di bibirmu." Selin terdiam. Ada sesuatu dalam caranya berkata-kata yang membuatnya tidak mampu melawan. Bukan karena ketakutan, tapi karena sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan laki-laki ini. Tidak ingin terbiasa dengan perhatian yang diberikan kepadanya. Karena setiap tatapan Vasko yang tajam dan penuh perhatian itu terasa seperti jerat yang semakin erat membungkus hatinya. Dan ia tidak tahu apakah ia sanggup melepaskannya. "Tapi, Tuan—" "KARLOTA!" Suara Vasko menggema di ruangan, begitu dalam dan penuh perintah hingga membuat Selin mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia memilih untuk diam, menyadari bahwa perlawanan tidak akan ada gunanya. Tak butuh waktu lama, Karlota datang, membungkuk hormat, tapi matanya sekilas melirik ke arah Selin—lirikan tajam yang penuh ketidaksenangan. Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata; Karlota tidak suka bagaimana Vasko memperlakukan Selin. "Bersihkan dapur, dan pastikan tidak ada satu pun pecahan kaca yang tersisa," tegas Vasko, suaranya dingin dan tidak terbantahkan. "Baik, Tuan," jawab Karlota, namun sebelum beranjak, ia kembali melayangkan lirikan sinis ke arah Selin—seakan ingin berkata bahwa gadis itu tidak seharusnya berada di sana. Vasko mengabaikan semua itu. Begitu Karlota pergi, ia kembali mengalihkan perhatiannya pada Selin. Tanpa berkata-kata, ia meraih kotak P3K yang tersimpan di rak terdekat, membukanya, dan mengambil kapas serta sebotol alkohol. "Kamu harus selalu aman," ucapnya pelan, namun ada ketegasan di dalamnya. "Karena hanya kamu yang bisa kuandalkan untuk menjaga kakekku." Selin membeku. Bukan karena alkohol yang menyentuh luka di sudut bibirnya, melainkan karena jemari Vasko yang begitu hati-hati, nyaris lembut, saat membersihkannya. Sentuhan itu tidak sekadar menyentuh kulitnya, tapi juga menembus ke dalam dirinya, menyusup tanpa izin ke dalam hatinya yang selama ini ia jaga rapat-rapat. Ia menatap Vasko—wajahnya yang begitu dekat, mata hitamnya yang dalam seperti lautan malam, rahangnya yang tegas, hidungnya yang sempurna, dan bibirnya— Selin tersentak. Apa yang sedang ia pikirkan? Panik menyergapnya, dan secepat kilat ia menggelengkan kepala, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba muncul. Hatinya berdetak lebih cepat, dan rasa gugup yang melandanya semakin tak tertahankan. "Tuan! Saya harus pergi!" serunya tiba-tiba. Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit berdiri begitu cepat hingga nyaris membuat kapas di tangan Vasko jatuh. Vasko menatapnya dengan sorot mata tidak percaya, lalu berdecak pelan. Ia meletakkan kapas itu kembali ke dalam kotak P3K dengan sedikit kasar. "Apakah dia tidak nyaman berada di dekatku?" gumamnya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun Selin tidak mendengarnya. Ia sudah melangkah pergi, mencoba melarikan diri dari sesuatu yang bahkan tidak bisa ia definisikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN