Second Kiss

1008 Kata
Rayya’s POV Alde mengganti channel tv berkali-kali. Jelas, amarah dan cemburu yang menguasainya saat berpapasan dengan Derrel masih terbawa sampai rumah. Aku bisa memastikan, saat ini dia sedang tak fokus menonton acara tv di depannya. Pikirannya melayang pada pacarnya. Aku duduk di sebelahnya dan kuletakkan segelas s**u jahe hangat. “Diminum susunya gih, dari tadi cemberut terus.” Alde menatapku sejenak lalu kembali melayangkan pandangannya ke layar tv. “Makasih Ray.” Aku berharap dia bicara lebih banyak dari itu. “Kamu mikirin Derrel?” Alde tak langsung menjawab. Dia menghela napas kemudian memencet remot, televisi pun mati. Dia memiringkan badannya agar bisa duduk behadapan denganku. “Gimana aku bisa tenang.. Gimana bisa aku nggak mikirin dia. Saat ini mungkin dia sedang bersama Martin, mungkin di apartemennya. Mungkin mereka sedang bermesraan.” Kata-katanya masih menyimpan amarah. Kecemburuan itu begitu nyata. “Itulah yang sedang dipikirkan Derrel. Bisa jadi dia juga membayangkan kalau pacarnya sedang bermesraan dengan istrinya.” Ujarku. Alde menaikkan alisnya. “Dia tahu aku nggak tertarik ama perempuan. Dia nggak akan berpikir sejauh itu. Tapi aku punya alasan kuat kenapa aku berpikir mereka sedang bermesraan. Mereka sama-sama gay.” Alde sedikit menekankan kalimat “mereka sama-sama gay”. “Di awal perkataanmu tadi, kamu bicara kata “mungkin” terlalu banyak. Mungkin dia sedang bersama Martin, mungkin di apartemennya, mungkin sedang bermesraan. Itu artinya kamu sendiri juga nggak yakin.” Alde menatap ke salah satu sudut sambil menggigit bibir bawahnya. Bibir Zayn Malik yang mencuri ciuman pertamaku. Kukerjapkan mataku. Tolong Ray, konsen untuk menenangkannya, jangan pikirkan hal lain. “Kenapa kamu nggak kirim WA saja ke dia, atau telpon sekalian?” Aku harap usulanku sedikit menghilangkan kegusarannya. “Udah, tapi nggak dibales. Untuk telpon aku terlalu gengsi. Ngapain coba kalau nggak bales? Mungkin lagi macem-macem sama si Martin.” Ketusnya. Aku berdehem. Menghibur seorang gay yang sedang tersulut cemburu itu memang sulit. “Biarpun Derrel sedang bersama Martin sekalipun, belum tentu mereka macem-macem kan? Aku dan Andriana sering bersama, tapi nggak macem-macem.” Alde tersenyum sinis, “kamu bukan lesbian, kamu SSA. Beda ama Derrel yang gay tulen. Aku lebih paham siapa dia.” Bunyi dan getaran smartphone Alde yang tergeletak di atas meja membuat mata Alde terbelalak. Tanpa ba bi bu, diambilnya smartphone itu, sepertinya Alde memang sudah sangat menunggu balasan Derrel. Alde melihat layar smartphone itu dengan serius lalu menatapku, “Derrel minta aku datang ke apartemennya.” Tiba-tiba aku merasa sedikit sebal. Mungkin Alde akan datang ke sana dan meninggalkanku sendirian di rumah. “Kamu akan datang?” Tanyaku. “Aku nggak tahu kenapa Derrel mengundangku ke sana. Apa di sana ada Martin juga? Shit...Apa dia mengajakku untuk threesome?” Tawa kecil yang menyimbolkan kekesalannya itu sangat tidak enak didengar. “Kenapa kamu selalu berpikir ke arah sana? Apa kehidupan gay memang seliar itu?” Nada bicaraku sedikit meninggi. Alde memasang tampang serius. “Jangan menjudge kami seperti itu Ray. Nggak semua gay mau nglakuin seks bebas.” Intonasi suaranya tak kalah tinggi. “Kamu yang memancingku untuk berpikir seperti itu.” Balasku. Alde mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Hembusan napasnya terdengar berat. “Dalam keadaan seperti ini, aku sering kelepasan kontrol saat bicara. Asal kamu tahu Ray, aku hanya pernah berhubungan seksual dengan Derrel, begitu juga dengannya. Kami berdua bersih. Jadi seandainya suatu saat aku beneran bisa jadi suami buat kamu, kamu nggak perlu takut aku bakal bawa penyakit ke rumah.” Cerocosnya begitu emosional. “Penting ya kamu ngasih tahu hal itu ke aku? Sementara kita nggak pernah ngapa-ngapain selama ini. Atau ada niatan kamu buat bawa hubungan kita ke arah sana?” Alde hendak membuka mulutnya, tapi kemudian terkatup lagi. Dia mungkin bingung untuk menemukan kata yang tepat. “Sejak kamu bilang mau belajar mencintaiku, sebenarnya aku jadi berpikir mungkin suatu saat aku juga harus belajar mencintaimu. I’m just afraid I can’t be a good husband for you.. I’m afraid to hurt you.” Intonasi suaranya sudah terdengar lebih pelan. Tiba-tiba smartphonenya berbunyi lagi. Alde membaca kembali apa yang muncul di layarnya. Aku yakin, itu WA dari Derrel. “Ray, Derrel bilang aku harus ke sana secepatnya. Dia sendirian dan sedang kalut.” Aku bisa melihat raut mukanya terlihat begitu cemas. Jujur, aku tak ingin dia pergi. Tapi aku juga tahu, raganya mungkin ada di sini, bersamaku. Tapi pikiran dan hatinya ada bersama Derrel. “Kalau begitu pergilah.” Alde tampak tersentak. “Kamu nggak apa-apa kalau aku ke sana? Tanyanya dengan kernyitan dahinya, seakan ingin memastikan apa aku serius atau tidak. “Pergilah. Aku tahu hati dan pikiranmu sudah ada di sana.” Kujawab setenang mungkin. Andai dia mau mencoba menatap mataku lebih dekat dan dalam, mungkin dia akan menemukan sesuatu yang lain di sana. Tentang sebuah harapan yang menginginkan dia tetap di sini bersamaku. Tentang keenggananku melepasnya kembali pada pacarnya. Alde meraih kunci mobil yang dia letakkan di atas meja. Dia beranjak, “aku akan pulang secepatnya,” lalu dia berjalan mendekat ke arah pintu. Aku tercenung. Bukan seperti ini yang aku inginkan. Tapi aku juga tak boleh egois. Aku hanya akan membebaninya jika bersikukuh menahannya di sini. Tanpa aku sangka, dia berbalik dan duduk di sebelahku. Apa dia membatalkan niatnya untuk pergi? Alde menggenggam tanganku, “terimakasih Ray atas pengertianmu.” Alde mengusap pipiku dan mendekatkan wajahnya padaku. Aku belum pernah merasa absurd seperti ini. Bagaimana bisa seorang laki-laki membuat jantungku berdebar-debar tak karuan. Aku merasakan degupannya berpacu lebih cepat. Wajah tampan Alde sudah begitu dekat sekarang. Entah kenapa, mataku akhirnya terpejam. Dia mendaratkan bibirnya ke bibirku, sekali lagi. Kali ini aku tak mau kecupan yang singkat. Kubalas ciumannya dan sepertinya ia sedikit terkejut. Alde melepaskan ciumannya setelah beberapa detik bibir kami saling berpagut. Dia tersenyum lembut, “akhirnya kamu bisa membalasnya Ray.” Aku tersipu malu dan ingin sekali menyembunyikan wajahku. Dia berpamitan sekali lagi, dan hatiku tak segundah sebelumnya. Kali ini kulepas kepergiannya dengan hati yang lebih lapang. Bukankah dia berjanji untuk cepat pulang? Aku percaya padanya, dia hanya ingin memastikan Derrel baik-baik saja, tidak lebih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN